Beratapkan
daun rumbia, berbilik bambo dan beralas tanah merah basah, seorang gadis kecil
duduk meringkuk kedinginan karena di luar sana hujan turun dengan derasnya. Atap
rumbia tah mampu membendung air hujan yang tak henti-hentinya menghujam gubuk
kecil itu. Tetesan air merembes membasahi tubuh kecil Dinda, itulah nama gadis
kecil itu. Tubuhnya bergetar. Wajahnya pucat. Perutnya kosong kelaparan menanti
ibunya yang sudah dua hari ini tidak kunjung pulang. Biasanya si Ibu selalu
membawa pulang sedikit makanan, setidaknya ia dapat memakan sebuah ubi dengan
potongan kecil yang dicuri ibunya dari pasar.
“Kamu
kira mencuri itu gampang, hah? Kalau ibu ketauan mencuri, ibu bisa dipukuli
habis-habisan makanya ibu hanya bisa mengambil ubi yang paling kecil agar tidak
ketauan.” Ujar ibunya emosi ketika Dinda bertanya mengapa hanya membawa
sepotong ubi kecil untuknya sedangkan perutnya sudah sangat kelaparan.
Dinda
jadi terpikir akan perkataan ibunya waktu itu. “…Kalau ibu ketauan mencuri, ibu
bisa dipukuli habis-habisan…”
“Ibu…”
gumamnya mendongkakkan kepala.
Dinda
langsung berpikir ada hal yang buruk yang terjadi pada ibunya karena sudah dua
hari ini tak kunjung pulang. Meski tubuh kecil itu kedinginan, Dinda memaksakan
dirinya untuk mencari ibunya di luar sana.
Pertama-tama
Dinda berjalan menuju sebuah kebun ubi, tempat di mana dulu ibunya ketahuan
mencuri dan dipukuli oleh orang-orang sekampung.
“Ibu
kamu? Mana saya tau? Kalaupun saya melihat ibu kamu itu tentu saya akan segera
memukulinya lagi. Atau jangan-jangan kamu ke sini juga untuk mencuri seperti
ibumu ya?” Tanya pemilik kebun itu dengan kasarnya.
Dinda
berusaha menjelaskan namun usahanya hanyalah sia-sia.
Dinda
kembali berjalan menyusuri jalan setapak menuju kota, mencari pasar langganan
tempat ibunya beraksi.
“Pak,
liat ibu saya gak?” Tanya Dinda dengan lugunya.
“Ah,
pura-pura nanya ibu padahal kamu kesini mau mencuri ya? Sana pergi! Atau kamu
mau saya teriakin maling ya?” pria hitam bertubuh tambun itu mengusir Dinda
juga dengan kasarnya, sama seperti pemilik kebun ubi tadi.
Dinda
menangis. Bukan hanya karena ia dihina dan kehilangan ibunya, namun ia juga
merasakan sakit erut yang teramat sangat.
Dinda
terus menyusuri jalanan dipasar itu tanpa beralaskan sandal dan tanpa diatapi
payung meski hujan belum berhenti namun langkahnya tak goyah.
Tiba-tiba
sebuah tangan menyentuh bahu Dinda. Tubuh Dinda berbalik.
“Ibu?”
katanya lirih. Bibirnya bergetar.
Dilihat
ibunya yang kini sangat mempesona. Tubuhnya dibalut oleh jas hujan dan
kepalanya dipayungi oleh payung bening yang cantik. Tangan ibunya memegang tas
kecil berwarna merah, seragam dengan gaun yang dikenakannya.
Dinda
begitu senang melihat ibunya kini telah ada di depan matanya sebelum ibunya
berbisik panjang.
“Nak,
ambillah tas ibu lalu kamu lari dengan cepat. Nanti ibu akan meneriakimu copet,
orang-orang akan mengejarmu lalu membawamu kesuatu tempat untuk diintrogasi.
Nanti kamu bilang kalau kamu hidup sebatang kara. Mereka akan mengasihanimu dan
akan mengangkatmu sebagai anak. Lihat ibu, ibu juga mengalami hal yang sama,
Nak. Kamu jangan takut. Ibu akan menolongmu bila terjadi apa-apa.” Bisik ibunya
begitu yakin di telinga anaknya.
Dinda
menggelengkan kepalanya namun ibunya memaksa.
Setelah
berpikir, Dinda mengikuti ajaran ibunya. Ia berlari namun tidak dapat berlari
kencang karena perutnya yang sakit. Justru langkahnya tertatih, sedangkan
ibunya telah meneriaki Dinda dengan sebutan ‘copet’.
Sekerumunan
orang-orang mengejar Dinda. Dinda ketakutan. Ia berlari sambil terus melihat
kebelakang sehingga ia tidak dapat berkonsentrasi. Tanpa sadar Dinda telah
masuk ke jalan raya dan ia berlari menyebrangi jalan itu namun sebuah truk
melintas dengan kecepatan tinggi menabrak tubuh mungil Dinda.
Waktu
seakan terhenti. Dari kepala Dinda mengalir darah segar yang langsung
dibersihkan oleh hujan. Tubuhnya menggelepar dengan tangan yang masih memegang
erat dompet ibunya.
Mata
ibunya terbuka lebar. Mulutnya menganga tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya tau
apa yang telah ia ajarkan pada putinya adalah suatu kesalahan terbesar yang
pernah ia lakukan.
Nasi
sudah menjadi bubur. Semua hanya dapat menjadi pelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar