Jumat, 17 Februari 2012

Cerita Si Miskin


Beratapkan daun rumbia, berbilik bambo dan beralas tanah merah basah, seorang gadis kecil duduk meringkuk kedinginan karena di luar sana hujan turun dengan derasnya. Atap rumbia tah mampu membendung air hujan yang tak henti-hentinya menghujam gubuk kecil itu. Tetesan air merembes membasahi tubuh kecil Dinda, itulah nama gadis kecil itu. Tubuhnya bergetar. Wajahnya pucat. Perutnya kosong kelaparan menanti ibunya yang sudah dua hari ini tidak kunjung pulang. Biasanya si Ibu selalu membawa pulang sedikit makanan, setidaknya ia dapat memakan sebuah ubi dengan potongan kecil yang dicuri ibunya dari pasar.
“Kamu kira mencuri itu gampang, hah? Kalau ibu ketauan mencuri, ibu bisa dipukuli habis-habisan makanya ibu hanya bisa mengambil ubi yang paling kecil agar tidak ketauan.” Ujar ibunya emosi ketika Dinda bertanya mengapa hanya membawa sepotong ubi kecil untuknya sedangkan perutnya sudah sangat kelaparan.
Dinda jadi terpikir akan perkataan ibunya waktu itu. “…Kalau ibu ketauan mencuri, ibu bisa dipukuli habis-habisan…”
“Ibu…” gumamnya mendongkakkan kepala.
Dinda langsung berpikir ada hal yang buruk yang terjadi pada ibunya karena sudah dua hari ini tak kunjung pulang. Meski tubuh kecil itu kedinginan, Dinda memaksakan dirinya untuk mencari ibunya di luar sana.
Pertama-tama Dinda berjalan menuju sebuah kebun ubi, tempat di mana dulu ibunya ketahuan mencuri dan dipukuli oleh orang-orang sekampung.
“Ibu kamu? Mana saya tau? Kalaupun saya melihat ibu kamu itu tentu saya akan segera memukulinya lagi. Atau jangan-jangan kamu ke sini juga untuk mencuri seperti ibumu ya?” Tanya pemilik kebun itu dengan kasarnya.
Dinda berusaha menjelaskan namun usahanya hanyalah sia-sia.
Dinda kembali berjalan menyusuri jalan setapak menuju kota, mencari pasar langganan tempat ibunya beraksi.
“Pak, liat ibu saya gak?” Tanya Dinda dengan lugunya.
“Ah, pura-pura nanya ibu padahal kamu kesini mau mencuri ya? Sana pergi! Atau kamu mau saya teriakin maling ya?” pria hitam bertubuh tambun itu mengusir Dinda juga dengan kasarnya, sama seperti pemilik kebun ubi tadi.
Dinda menangis. Bukan hanya karena ia dihina dan kehilangan ibunya, namun ia juga merasakan sakit erut yang teramat sangat.
Dinda terus menyusuri jalanan dipasar itu tanpa beralaskan sandal dan tanpa diatapi payung meski hujan belum berhenti namun langkahnya tak goyah.
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahu Dinda. Tubuh Dinda berbalik.
“Ibu?” katanya lirih. Bibirnya bergetar.
Dilihat ibunya yang kini sangat mempesona. Tubuhnya dibalut oleh jas hujan dan kepalanya dipayungi oleh payung bening yang cantik. Tangan ibunya memegang tas kecil berwarna merah, seragam dengan gaun yang dikenakannya.
Dinda begitu senang melihat ibunya kini telah ada di depan matanya sebelum ibunya berbisik panjang.
“Nak, ambillah tas ibu lalu kamu lari dengan cepat. Nanti ibu akan meneriakimu copet, orang-orang akan mengejarmu lalu membawamu kesuatu tempat untuk diintrogasi. Nanti kamu bilang kalau kamu hidup sebatang kara. Mereka akan mengasihanimu dan akan mengangkatmu sebagai anak. Lihat ibu, ibu juga mengalami hal yang sama, Nak. Kamu jangan takut. Ibu akan menolongmu bila terjadi apa-apa.” Bisik ibunya begitu yakin di telinga anaknya.
Dinda menggelengkan kepalanya namun ibunya memaksa.
Setelah berpikir, Dinda mengikuti ajaran ibunya. Ia berlari namun tidak dapat berlari kencang karena perutnya yang sakit. Justru langkahnya tertatih, sedangkan ibunya telah meneriaki Dinda dengan sebutan ‘copet’.
Sekerumunan orang-orang mengejar Dinda. Dinda ketakutan. Ia berlari sambil terus melihat kebelakang sehingga ia tidak dapat berkonsentrasi. Tanpa sadar Dinda telah masuk ke jalan raya dan ia berlari menyebrangi jalan itu namun sebuah truk melintas dengan kecepatan tinggi menabrak tubuh mungil Dinda.
Waktu seakan terhenti. Dari kepala Dinda mengalir darah segar yang langsung dibersihkan oleh hujan. Tubuhnya menggelepar dengan tangan yang masih memegang erat dompet ibunya.
Mata ibunya terbuka lebar. Mulutnya menganga tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya tau apa yang telah ia ajarkan pada putinya adalah suatu kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan.
Nasi sudah menjadi bubur. Semua hanya dapat menjadi pelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar