'Pletak!'
Terdengar suara sepatu
hak tinggi milik Sashi menghujam keras di dinding kamarnya. Sashi kembali
teringat kejadian di pesta kecil-kecilan yang diadakan oleh Roni tadi.
***
"Malam ini gue
bakal umumin sama teman-teman sekalian siapa cewek yang akhirnya bisa
menggelitik hati gue," ujar Roni di tenggah kerumunan
teman-temannya."Pesta malam ini adalah pesta khusus untuk gue dan do'i.
Dan malam ini gue bakal ngelamar dia di hadapan kalian semua," ujarnya
lagi di sambut tepuk tangan yang meriah dari kerabatnya.
Roni melambaikan
tangannya pada Divin, sahabat Sashi. Divin mendekat. Sekarang semua mata
tertuju pada dua insan tersebut. Hati Sashi mulai panas, ia terbakar api
cemburu. Sashi melangkah cepat ingin segera meninggalkan pesta itu. Dari sudut
matanya keluar air bening penuh kesedihan.
'Bruk!'
Sashi terjatuh. Gaun
yang dipakainya terinjak oleh kakinya sendiri yang kurang seimbang memakai
sepatu hak tinggi. Serentak semua mata tertuju padanya dan semua tertawa
terkekeh melihat pertunjukan itu.
Sashi malu. Wajahnya
memerah nyaris menyaingi gaun pestanya. Ia segera bangkit seperti Cinderella,
gaun pestanya diangkat setinggi lutut dan berusaha berjalan meskipun rasa nyeri
di lututnya membuat Sashi melangkah setengah pincang.
***
Kini air mata itu
kembali mengalir dari sudut matanya yang terpejam.
"Sepatu
sialan!" Caci Sashi dari atas tempat tidurnya.
Sejenak ia memandang
sepatu yang baru saja lemparnya lalu melirik sisi bawah gaunnya.
"Robek.."
Mulutnya manyun mengasihani dirinya sendiri.
Ring
tone Gwen Stephani di hp-nya membuat Shasi bangkit dari
duduknya.
"Ah!
Aduuuuuhhh.." Sashi meringis kesakitan ketika ia baru saja ingin
melangkahkan kakinya.
Sashi yang manja
mengurungkan niatnya untuk menggambil hp-nya.
"Palingan juga itu
telepon dari Divin." Katanya setengah menggerutu.
Suara Gwen Stephani
dari hp-nya kini sudah berhenti.
"Tapi dimana
hp-ku???" Sashi mengitari pandangannya tapi tidak menemukan hp-nya. Ia
menggerogoh tas pesta di sampingnya, juga tidak ada.
Meski Sashi mengaduh
kesakitan tapi hasrat untuk mencari hp-nya jauh lebih besar.
HP itu kembali
berbunyi.
Sashi mengobrak-abrik
meja komputernya. Tapi tidak ada hp-nya di sana. Di lemarinya. Juga tidak ada.
Meja rias. Bahkan rasanya tak ada tempat yang luput dari gerakan stresnya itu.
Hp itu terus berdering.
Sekarang Shasi mencari di atas tempat tidurnya. Bantal, guling, boneka, sprai
dan bed cover yang tadinya tertata
rapi di tempat tidur kini berserakan di lantai. Dan jelas sekarang kamar itu
persis seperti baru saja terkenang bom atom yang meledak.
'Tonet..' suara hp
Shasi menandakan bahwa keadaannya sudah mulai drop. Hp itu akan segera padam
karena kehabisan batrai.
"Ya Tuhan..Hp-ku
di mana? Jangan biarin tuh hp mati sebelum aku ketemuin dong!" Sashi yang
panik berbicara sendiri sambil terus mengacak-acak kamarnya.
Sashi mulai stres.
Terlalu banyak yang ia pikirkan. Roni, Divin, hp, dan sekarang kamarnya.
"Kalo mama ngeliat
ini kamar pasti Mama bakal pingsan," ujar Sashi setengah merengek sambil
mengusap ingusnya dengan seprai yang tengah di dudukinya.
Tak lama kemudian hp
itu kembali berdering seakan mengejek Sashi yang merasa sudah setengah mati
mencarinya.
"Suaranya ada di
dekat sini, tapi di mana?" tanyanya lagi pada saksi bisu di kamarnya
dengan intonasi yang masih sama dengan yang tadi.
'BRAAAKK!!!'
Pinggul Sashi yang
seksi menabrak sesuatu yang tak lain adalah radio super canggih dan baru dua
hari yang lalu di belikan oleh Mamanya karena Sashi sangat menginginkannya dan
tensu saja itu semua ia dapatkan setelah ia berhasil menangis hingga membanjiri
rumahnya.
Radio yang tadinya di
lengkapi dengan dua speaker di kanan dan kirinya kini terbagi menjadi tiga
bagian.
"Sashi! Suara apa
itu?" terdengar teriakan Bu Nessa, Mamanya Sashi dari lantai dasar.
Sashi bertambah panik.
Sebisa mungkin ia mengembalikan radio itu ke bentuknya yang semula.
Suara langkah Bu Nessa
menaiki anak tangga semakin dekat. Tangan Sashipun berusaha semakin cepat
menyatukan dua speaker yang
tergeletak di lantai ke badan radio.
"Semoga gak
ketahuan." bisik Sashi pada radio yang sudah kembali di letakkan di atas
meja.
Pintu terbuka lebar.
Wajah Bu Nessa muncul dari sana.
"SASHI, APA-APAAN
INI???" Bu Nessa terperangah kaget ketika melihat kamar putri bungsunya. Seketika
itu wajahnya langsung memerah akibat menahan amarah.
Sashi diam dan berusaha
menyengir untuk menurunkan emosi Mamanya.
"Kamu ini sudah
gila ya?" tiba-tiba Betsy, kakaknya berkata nyolot sambil bertopang
pinggang di belakang Bu Nessa.
"Anu, Mbak..
HP-ku... Ilang... Eh.. Anu..."
"Ilang gimana? Barusan
Mbak denger suara HP kamu." Kening Betsy mengerenyit seolah dua alisnya
telah menyatu.
"Justru itu,
mestinya ada. Dari tadi aku nyariin asal suaranya tapi sampe sekarang belum
ketemu juga,"
"Lha gimana mau
ketemu. Liat aja ini kamar kamu kayak kapal pecah gini," Betsy terus
menyemprot adiknya dengan kata-kata tanpa ampun.
'BRAAAKKK!'
Lagi-lagi radio mewah
itu terjatuh. Kali ini bukan karena senggolan Sashi akan tetapi karena posisi
radio itu kurang seimbang.
"Eh..."
'BRUK!'
Bu Nessa jatuh pingsan
sebelum sempat berkata apa-apa lagi.
"Mama!!!"
spontan kedua putrinya berteriak dan menghampiri Bu Nessa.
"Minggir
kamu!" sergah Betsy menepis tangan Sashi yang hendak merengkuh Mamanya.
Wajah Sashi merasa
begitu bersalah. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
"Mbak Betsy, Non
Sashi, ibu kenapa, Mbak?" Anya, pembantu mereka yang baik hati, seumuran
dengan Sashi dan sama sekali tidak terlihat seperti pembantu itu datang dengan
wajah panik.
Tanpa menunggu
perintah, Anya langsung membantu Betsy menggotong tubuh Bu Nessa yang langsing
karena pintar menjaga badan. Anya merawat Bu Nessa layaknya merawat ibu
kandungnya sendiri, mungkin itu adalah caranya untuk membalas kebaikan Bu Nessa
yang juga majikannya sejak tiga tahun silam. Ketika ia datang ke rumah ini
dengan lingangan air mata dan memohon dengan sangat untuk di beri pekerjaan,
meskipun harus menjadi pembantu di usia remajanya.
Kamar Sashi kembali
sunyi. Yang tersisa hanyalah rasa sesal di dalam hati Sashi. Wajahnya masih
menunduk di depan pintu dengan kaki yang terlipat ke belakang.
Ia berdiri kemudian
melangkah gontai menuju tempat tidurnya. Sashi merebahkan badannya yang telah
terlalu lelah menghadapi cobaan hari ini. Dari sudut matanya yang sembab
kembali meneteskan air mata. Air mata itu mengalir melewati celah telinganya
yang tertempel di tempat tidurnya.
'Tonet..'
Kembali terdengar suara
HP yang akan padam. Suara HP itu terdengar jelas di telinga Sashi.
"Jangan-jangan..."
Sashi melompat dari tempat tidurnya dan langsung menyenter kolong tempat tidur
dengan matanya. Ya! Sebuah cahaya petak terlihat dari sana. Itu adalah HP milik
Sashi.
"Arh, kenapa ga
bilang dari tadi. Kalo aku tau dari tadi mungkin kejadiannya ga kaya'
gini!!!" Sashi mengomel pada HP-nya yang baru saja di raih.
Sashi langsung membuka
tiolet yang tadi ikut di acak-acakinya untuk mengambil chas HP yang tergulung
rapi.
Charge..
17
miss calls.
Lihat. 13 dari Divin
dan 4 laginya adalah panggilan dari Roni.
Mulut Sashi mengerucut.
Lagi-lagi ia terbayang kejadian di pesta tadi.
"Tega-teganya
Divin motong langgahku. Tiga tahun ngegebet Roni, eh... Tau-taunya sahabat
sendiri yang makan.Ugh, kesel!" kata Sashi menangis tersedu menatap layar
HP.
Dering Moonlight Sonata
dari HP Sashi menandakan ada SMS yang masuk.
'1
message from Divin'
-Shi, keluar donk. Gw
di depan pintu nih!-
"Ng?" Sashi
melirik jam di dindingnya yang bercat ungu muda. "Masih jam 9 kok udah
pada bubar ya?" gumamnya.
Reply.
-Langsung masuk aja. Gw
di kamar-
Send...
Sashi menyeka air
matanya dengan sprei yang dari tadi di gunakan untuk mengelap air mata dan
ingusnya. Dandanannya sudah berartakan, begitu pula dengan rambut yang tadi di
beri pengeras kini sudah acak-acakan seperti rambut singa jantan.
"Sashi??? Lo gak
papa?" dari depan pintu kamar Sashi, Divin berlari langsung memeluk
sahabatnya yang terlihat seperti orang gila tak terawat yang biasa mereka temui
di jalanan. "Lo kenapa sih, Shi? Liat deh dandanan lo udah ancur
gini..." ujarnya mengangkat wajah sembab Sashi dengan tangan menempel di
pipi chuby kanan dan kiri sahabatnya
itu.
Sashi masih tak
berkutik sampai sebuah suara mengejutkannya."Dia ga papa?"
Mata Sashi tertarik
untuk melihat ke arah asal suara itu.
Roni! Ya, suara cool
itu adalah milik Roni. 'Kok dia bisa ada di sini?' pikir Sashi heran.
"Ga tau. Sashi, lo
ga kenapa-kenapa 'kan?" Divin meyakinkan hatinya. "Sashi, please deh..Kalo ada apa-apa tuh cerita.
Trus tadi kenapa coba lo lari tergesa-gesa gitu dari pesta? Pake acara jatuh
pulaaa.. Lo ga ingin dengar ya siapa orang yang berhasil bikin Roni ngelupain
cinta pertamanya yang ga jelas itu? Lo.."
"Gue udah
tau!" jawab Sashi pasti memotong ocehan Divin.
Roni mengerutkan
dahinya.
"Trus, kenapa lo
pergi?" Divin bingung.
"Ga papa. Gue ...
Cuma aja gue ..."
"Ya.. Kamu kenapa,
Shi?" tanya Roni penasaran menunggu jawaban super lamban dari Sashi.
Sashi berdiri dari
duduknya.Ia mendekatkan dirip ada Roni yang menatap mata Saship seakan ingin
tau apa yang tengah di rasakan oleh temannya itu.
"Aku tau semuanya,
Ron." ujar Sashi dengan lembut.
"Tau? Tau
apa?"
Sashi mengambil tangan
Divin lalu menyatukannya dengan tangan Roni.
Roni mengangkat alisnya
menandakan bahwa ia bingung.
"Apa-apaan sih
kamu, Shi. Jangan aneh deh!" Divin cemberut tak senang dengan perlakuan
Sashi.
"Aku ikhlas
kok." Sashi tersenyum polos kepada Divin, sahabatnya dan Roni, lelaki yang
ia cintai.
Spontan Divin menjitak
kepala Sashi, "Ga nyangka deh, ternyata ada manusia yang geblek banget
kaya' kamu. Ngeselin!"
"Kenapa?"
"Kenapa..
Kenapa..Kamu tuh jangan kepinteran ngambil kesimpulan deh. Kamu pikir cewek
yang udah bikin Roni tergila-gila itu aku 'kan?! Mustahil tau, ga?"
"Lha..Terus?
Bukannya waktu di pesta tadi..."
"Hei, tadi aku
manggil Divin karena dia adalah sahabat dari orang yang aku maksud. Orang yang
ingin aku kenalin ke semua orang." Roni yang bersungguh-sungguh membuat
Sashi terperangah kaget beserta senang yang begitu membuncah di dadanya.
"Jadi..."
"Jadi pikiran
bodoh kamu itu salah besar tau!" sambung Divin mengetuk-ngetuk dahi Sashi.
Tak dapat menahan rasa
bahagiannya, Sashi langsung mendekap erat tubuh Roni yang sudah merentangkan
tangannya pertanda ia siap untuk dipeluk. Pelukan itu diiringi dengan tepuk
tangan Divin yang turut bahagia.
"Permisiii.."
suara Anya mengagetkan tiga orang yang ada di ruangan kecil yang tak rapi itu.
Pelukan mesra Roni dan
Sashi pun terlepas.
"Anya! Kalo mau
masuk tuh ketuk pintu dulu donk! Serasa rumah sendiri ya?" kata-kata ketus
keluar lancar dari mulut Sashi membuat Roni tertarik melihat sang pembantu
bersuara lembut itu.
Seketika itu pula wajah
Roni terlihat begitu tegang. Matanya seakan membundar sempurna.
"Ibe?" kata
Roni mengucapkan sesuatu yang aneh.
Apa itu?
"Bebe?" jawab
Anya yang merasa dipanggil sambil meletakkan minuman yang dibawanya tadi di
atas meja komputer milik Sashi.
Seperti kesetanan, Roni
berlari menuju Anya dan kemudian memeluknya begitu erat. Jauh lebih erat dan
mesra daripada pelukannya kepada Sashi tadi. Sesekali Roni mengecup dahi Anya
dengan penuh perasaan cinta.
"Ibe, kamu kemana
aja? Aku.." Roni menangis haru sambil terus mendekap Anya tanpa bisa
meneruskan kata-katanya, begitu juga Anya. Ia hanya menangis tersedu. Air
matanya membasahi kemeja Roni.
"Anya!"
bentak Sashi yang cemburu sambil melepaskan pelukan Anya dan Roni.
Anya hanya diam menunduk
tapi terus menangis.
"Roni, tolong
jelasin apa maksud semua ini?" tanya Sashi penuh amarah.
Roni mendekat sambil
menggandeng lengan Anya yang terlihat enggan mengikuti langkah Roni.
"Aku minta
maaf.." Roni memperlihatkan genggaman tangannya pada tangan Anya kepada
Sashi untuk menjelaskan apa yang terjadi.
"Jadi dia yang
selama ini bikin kamu nutup hati kamu? Bukannya tadi kamu bilang.."
Belum sempat lagi
berkata apa-apa, Roni memotong kata-kata Sashi. "Maaf.. Tadinya aku kira
aku bisa, tapi maaf.."
Roni
menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian kembali menunduk pasrah.
'Plak!'
Sebuah tamparan
mendarat di pipi Roni.
Roni tersenyum.
"Tampar aku lagi
kalau itu bisa buat kamu senang dan jauh lebih tenang. Maki aku! Caci! Tapi
maaf, aku terlalu cinta sama Anya. Dia adalah cewek yang slama ini bikin aku
gila, bahkan aku ga nyangka dia bisa jadi pembantu kamu, Shi, entah gimana
ceritanya dia bisa kayak gini tapi..ah!"
Sunyi.Ruangan itu
menjadi begitu sunyi. Hanya napas-napas kosong yang berbicara.
"Fine,
it's over! Semua udah jelas. Tinggalin aku sendiri di
sini!" lirih suara Sashi mengantar pandangan padanya.
"Non..."
"Ssstt! Pergilah,
aku gapapa kok. Aku cuma butuh waktu buat tenangin diri,"
Tak ingin mempersulit
pikiran Sashi yang tengah dilanda rasa sedih, Divin mengajak Roni dan Anya
keluar dari kamar.
Mereka mengikuti.
Kembali lagi, Sashi
menangis sejadi-jadinya. Tak ingin lagi ia mengenal cinta, yang ia tau adalah
cinta itu begitu menyakitkan. Tidak akan ada yang lebih
menyakitkan daripada itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar