Di
depan jendela kamarnya, Citra melamun sedih. Ia menatap purnama dengan
kegalauan. Hari ini tak ada segaris senyuman pun yang tergambar di wajahnya.
"Ehem..."
suara yang berdehem itu adalah milik Papanya Citra.
Citra
menoleh ke belakang sekedar menyapa Papanya dengan tatapan sedih.
"Kamu
marah sama Papa?"
"Kecewa
aja. Papa gak bisa tepati janji."
"Hmmm...
Papa minta maaf. Mungkin belum waktunya, Ta.."
"Belum
waktunya? Terus kapan dong waktunya? Sampe kapan Citra harus nunggu?"
"Citra,
dewasalah!"
"Yang
harus dewasa itu Mama, Pa! Mau sampe kapan Mama nganggap Citra ini gak ada?
Sampe Citra mati?" Citra meninggikan suaranya.
Citra
merasa begitu kecewa dengan sikap kedua orangtuanya, dengan sikap Mamanya yang
demikian tidak pernah menganggap akan kehadiran Citra di dunia dan sikap
Papanya yang tidak pernah berusaha tegas untuk memaksa Mama menerima kenyataan.
"Sebenarnya
apa sih, Pa, yang buat mama ga pernah nganggap Citra ada? Kesalahan apa yang
udah Citra buat?" Tanya Citra penasaran dengan nada tinggi.
"Pelankan
suara kamu, Citra! Sudah berkali-kali Papa bilang, sabar, sabar, sabar! Suatu
saat nanti semuanya pasti akan terungkap dan kamu bakal tau semua, tapi bukan
sekarang."
"Selalu
gitu. Pa, Citra udah besar, Pa. Hari ini Citra udah berhasil nginjak umur 17
tahun, dan selama itu Citra ga pernah ngerasain kasih sayang dari Mama,
dan..." Citra tidak menyambung kalimatnya ketika mendengar suara dari
balik tubuh Papanya.
"Heh!"
suara yang besar dan penuh rasa benci itu keluar dari mulut Mama. Dengan
tatapan sinis ia menampar wajah manis Citra yang juga sudah diselimuti emosi.
"Anak gak tau diuntung! Harusnya kamu bersyukur karena kamu ga mati! Masih
berani kamu bentak suamiku?" katanya dengan mata melotot dan berkacak
pinggang.
"Mama.."
"Jangan
panggil aku dengan sebutan itu! Najis! Dasar anak Haram!"
"Tasya!
Jaga ucapan kamu!" ujar Papa ikut emosi.
"Kamu
liat? Sekarang suamiku ini berani membentak aku. Ini semua gara-gara kamu.
Dasar anak haram! Pergi kau dari sini!"
"Tasya,
Citra ini anak kita."
"Anak
kita? Enak saja! Mas, untuk apa Mas terlalu perduli sama dia? Bapaknya aja ga
pernah mau tau tentangnya."
"Tasya,
aku menikahi kamu demi menyelamatkan harga diri kamu dan agar Citra tetap
mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtuanya. Kalau Roy ga mau
bertanggung, bukankah sudah ada aku yang menggantikan?!"
"Walau
bagaimanapun, aku dan Roy gak pernah mengharapkan keberadaan anak haram ini,
Mas.."
"Citra
bukan anak haram! Tapi kalianlah yang melakukan perbuatan yang haram!"
Papa semakin geram dan tentu saja bahasanya mulai tidak terkontrol.
Mendengar
perdebatan yang seru itu Citra mulai mengerti mengapa Mama sangat membencinya,
bahkan tidak pernah melihatnya. Citra adalah anak hasil hubungan di luar
pernikahan dan laki-laki yang menghamili Mama Citra tidak melakukan pertanggung
jawaban apapun sehingga Papa yang juga sahabat Mama tidak tega melihat
kesulitan yang dihadapi oleh mama mengambil alih tanggung jawab Papa.
Citra
berlari menghambur keluar kamar dan mengambil kunci motor yang digantung pada
gantungan kunci di gudang rumahnya.
Dari
dalam rumahnya terdengar Papa terus memanggilnya dengan nada gusar, ia tau akan
sangat berbahaya bila seseorang mengemudi dalam keadaan stres. Apalagi sekarang
ini sudah malam.
Setibanya
Papa di garasi, ia menyadari keterlambatannya. Citra sudah lebih dulu pergi
melaju kencang dengan motornya.
Setengah
jam kemudian telepon rumah Citra berdering, dengan sigap Papa menyambar gagang
teleponnya karena memang Papa tengah menunggu Citra mengubunginya.
"Halo?"
"Halo,
benar ini kediaman Bapak Rafi?"
"Iya,
benar. Ini dengan siapa?"
Betapa
kagetnya Papa mendengar kabar dari ujung telepon sana, apa yang ia khawatirkan
kini menjadi kenyataan. Ia segera berlari hendak masuk ke dalam mobilnya, hingga
tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat Mama membawa koper berjalan menuju
dirinya.
Papa
tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya saja pandangannya cukup membuat Mama
bisa mengerti ada pertanyaan 'Mau kemana kamu?' di sana.
"Aku
mau pergi. Aku udah gak tahan dengan semua ini. Malam ini juga kita
bercerai."
"Tasya,
sekarang Citra kritis di rumah sakit. Ada baiknya permasalahan ini kita akhiri
dulu. Ayo, masuklah!" Papa mencoba untuk tenang.
"Untuk
apa ke sana? Lebih baik aku gali kuburan."
"Tasya!
Kamu.."
"Mas
pergi aja, anak haram itu pasti mati. Aku nunggu kamu pulang dengan mayatnya di
sini." ujar Mama menyeringai tidak perduli dengan anaknya kemudian
berbalik masuk ke dalam rumahnya.
Papa
tak lagi membuang waktunya untuk Mama. Ia segera meluncur ke rumah sakit. Di
sana ia terus berdoa sambil menangis.
Perasaan
Papa mulai tenang ketika dokter mempersilahkan Papa masuk ke ruang UGD dangan
wajah penuh kepasrahan.
"Citra..
kamu baik-baik aja kan?!" tanya Papa yang tidak yakin bahwa Citra akan
baik-baik saja setelah kecelakaan hebat yang baru saja dialami putri angkatnya.
Dilihatnya
tubuh Citra yang dipenuhi darah dan penuh luka sobekan sangat membuatnya tidak
tenang.
"Pa..
pa,... Ma.. ma.... man.. na?" suara Citra berbisik pelan dan tertahan.
Tentu saja saat itu Citra tengah menahan rasa sakit.
"Mama...
Mama... Mama ada di luar kok, Sayang.." jawab Papa gugup mencoba
berbohong.
Citra
menggeleng pelan. Ia tau bahwa Papanya tengah berbohong.
"Te..
le.. pon... Mam... ma......"
Tak
berpikir panjang, Papa langsung menghubungi Mama dengan telepon genggamnya. Ia
tau bahwa Citra tengah sekarat, mungkin nyawanya tidak akan tertolong lagi, itu
semua terpikir dalam benak Papa ketika melihat reaksi dokter.
Papa
mengaktifkan loudspeker hanphone-nya agar Citra tak perlu bersusah-susah
menanyakan apa yang dibicarakan oleh Mamanya.
Namun,
belum sempat lagi Papa mengeluarkan suara, Citra menghentikan reaksi mulut
papa.
"Ssst..."
bisik Citra sambil menutup bibirnya yang pecah akibat benturan dengan jari
telunjuknya yang sobek.
Dari
seberang telepon sana Mama terus memanggil Papa.
"Ka..
sih... i.. bu... ke.. pada.... be... ta... tak.. terhingga.. se.. panjang..
masa........"
Belum
selesai Citra menyanyikan bait lagunya, ia mengalami kejang-kejang. Darah terus
keuar dari mulutnya.
Papa
begitu takut, ia berlari ke luar UGD untuk memanggil dokter.
Sedangkan
mama terus berteriak-teriak memanggil suami dan anaknya. Kali ini ia
benar-benar khawatir.
Mama
segera mencari nama Citra di rumah sakit terdekat dan langsung menemukan
suaminya yang tengah menangis di depan ruang UGD.
"Papa,
mana Citra?" tanya Mama sambil menangis begitu bertemu dengan Papa di
rumah sakit. Ada perasaan sakit yang begitu mendalam di dadanya.
Papa
menggeleng sambil menangis.
Mama
menyimpulkan arti gelengan Papa bahwa Citra telah meninggal dunia. MAma tidak
percaya dengan hal itu. Ia berlarri masuk ke ruang UGD. Di sana putrinya tengah
di mandikan oleh para perawat.
Mama
menangis sejadi-jadinya. Ia merasa sangat menyesal dengan apa yang telah
terjadi. Putri satu-satunya yang belum pernah ia tetesi dengan sentuhan kasih
sayang kini telah pergi meninggalkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar