Senin, 20 Februari 2012

Mama, Lihat Aku!


Di depan jendela kamarnya, Citra melamun sedih. Ia menatap purnama dengan kegalauan. Hari ini tak ada segaris senyuman pun yang tergambar di wajahnya.
"Ehem..." suara yang berdehem itu adalah milik Papanya Citra.
Citra menoleh ke belakang sekedar menyapa Papanya dengan tatapan sedih.
"Kamu marah sama Papa?"
"Kecewa aja. Papa gak bisa tepati janji."
"Hmmm... Papa minta maaf. Mungkin belum waktunya, Ta.."
"Belum waktunya? Terus kapan dong waktunya? Sampe kapan Citra harus nunggu?"
"Citra, dewasalah!"
"Yang harus dewasa itu Mama, Pa! Mau sampe kapan Mama nganggap Citra ini gak ada? Sampe Citra mati?" Citra meninggikan suaranya.
Citra merasa begitu kecewa dengan sikap kedua orangtuanya, dengan sikap Mamanya yang demikian tidak pernah menganggap akan kehadiran Citra di dunia dan sikap Papanya yang tidak pernah berusaha tegas untuk memaksa Mama menerima kenyataan.
"Sebenarnya apa sih, Pa, yang buat mama ga pernah nganggap Citra ada? Kesalahan apa yang udah Citra buat?" Tanya Citra penasaran dengan nada tinggi.
"Pelankan suara kamu, Citra! Sudah berkali-kali Papa bilang, sabar, sabar, sabar! Suatu saat nanti semuanya pasti akan terungkap dan kamu bakal tau semua, tapi bukan sekarang."
"Selalu gitu. Pa, Citra udah besar, Pa. Hari ini Citra udah berhasil nginjak umur 17 tahun, dan selama itu Citra ga pernah ngerasain kasih sayang dari Mama, dan..." Citra tidak menyambung kalimatnya ketika mendengar suara dari balik tubuh Papanya.
"Heh!" suara yang besar dan penuh rasa benci itu keluar dari mulut Mama. Dengan tatapan sinis ia menampar wajah manis Citra yang juga sudah diselimuti emosi. "Anak gak tau diuntung! Harusnya kamu bersyukur karena kamu ga mati! Masih berani kamu bentak suamiku?" katanya dengan mata melotot dan berkacak pinggang.
"Mama.."
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Najis! Dasar anak Haram!"
"Tasya! Jaga ucapan kamu!" ujar Papa ikut emosi.
"Kamu liat? Sekarang suamiku ini berani membentak aku. Ini semua gara-gara kamu. Dasar anak haram! Pergi kau dari sini!"
"Tasya, Citra ini anak kita."
"Anak kita? Enak saja! Mas, untuk apa Mas terlalu perduli sama dia? Bapaknya aja ga pernah mau tau tentangnya."
"Tasya, aku menikahi kamu demi menyelamatkan harga diri kamu dan agar Citra tetap mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtuanya. Kalau Roy ga mau bertanggung, bukankah sudah ada aku yang menggantikan?!"
"Walau bagaimanapun, aku dan Roy gak pernah mengharapkan keberadaan anak haram ini, Mas.."
"Citra bukan anak haram! Tapi kalianlah yang melakukan perbuatan yang haram!" Papa semakin geram dan tentu saja bahasanya mulai tidak terkontrol.
Mendengar perdebatan yang seru itu Citra mulai mengerti mengapa Mama sangat membencinya, bahkan tidak pernah melihatnya. Citra adalah anak hasil hubungan di luar pernikahan dan laki-laki yang menghamili Mama Citra tidak melakukan pertanggung jawaban apapun sehingga Papa yang juga sahabat Mama tidak tega melihat kesulitan yang dihadapi oleh mama mengambil alih tanggung jawab Papa.
Citra berlari menghambur keluar kamar dan mengambil kunci motor yang digantung pada gantungan kunci di gudang rumahnya.
Dari dalam rumahnya terdengar Papa terus memanggilnya dengan nada gusar, ia tau akan sangat berbahaya bila seseorang mengemudi dalam keadaan stres. Apalagi sekarang ini sudah malam.
Setibanya Papa di garasi, ia menyadari keterlambatannya. Citra sudah lebih dulu pergi melaju kencang dengan motornya.
Setengah jam kemudian telepon rumah Citra berdering, dengan sigap Papa menyambar gagang teleponnya karena memang Papa tengah menunggu Citra mengubunginya.
"Halo?"
"Halo, benar ini kediaman Bapak Rafi?"
"Iya, benar. Ini dengan siapa?"
Betapa kagetnya Papa mendengar kabar dari ujung telepon sana, apa yang ia khawatirkan kini menjadi kenyataan. Ia segera berlari hendak masuk ke dalam mobilnya, hingga tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat Mama membawa koper berjalan menuju dirinya.
Papa tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya saja pandangannya cukup membuat Mama bisa mengerti ada pertanyaan 'Mau kemana kamu?' di sana.
"Aku mau pergi. Aku udah gak tahan dengan semua ini. Malam ini juga kita bercerai."
"Tasya, sekarang Citra kritis di rumah sakit. Ada baiknya permasalahan ini kita akhiri dulu. Ayo, masuklah!" Papa mencoba untuk tenang.
"Untuk apa ke sana? Lebih baik aku gali kuburan."
"Tasya! Kamu.."
"Mas pergi aja, anak haram itu pasti mati. Aku nunggu kamu pulang dengan mayatnya di sini." ujar Mama menyeringai tidak perduli dengan anaknya kemudian berbalik masuk ke dalam rumahnya.
Papa tak lagi membuang waktunya untuk Mama. Ia segera meluncur ke rumah sakit. Di sana ia terus berdoa sambil menangis.
Perasaan Papa mulai tenang ketika dokter mempersilahkan Papa masuk ke ruang UGD dangan wajah penuh kepasrahan.
"Citra.. kamu baik-baik aja kan?!" tanya Papa yang tidak yakin bahwa Citra akan baik-baik saja setelah kecelakaan hebat yang baru saja dialami putri angkatnya.
Dilihatnya tubuh Citra yang dipenuhi darah dan penuh luka sobekan sangat membuatnya tidak tenang.
"Pa.. pa,... Ma.. ma.... man.. na?" suara Citra berbisik pelan dan tertahan. Tentu saja saat itu Citra tengah menahan rasa sakit.
"Mama... Mama... Mama ada di luar kok, Sayang.." jawab Papa gugup mencoba berbohong.
Citra menggeleng pelan. Ia tau bahwa Papanya tengah berbohong.
"Te.. le.. pon... Mam... ma......"
Tak berpikir panjang, Papa langsung menghubungi Mama dengan telepon genggamnya. Ia tau bahwa Citra tengah sekarat, mungkin nyawanya tidak akan tertolong lagi, itu semua terpikir dalam benak Papa ketika melihat reaksi dokter.
Papa mengaktifkan loudspeker hanphone-nya agar Citra tak perlu bersusah-susah menanyakan apa yang dibicarakan oleh Mamanya.
Namun, belum sempat lagi Papa mengeluarkan suara, Citra menghentikan reaksi mulut papa.
"Ssst..." bisik Citra sambil menutup bibirnya yang pecah akibat benturan dengan jari telunjuknya yang sobek.
Dari seberang telepon sana Mama terus memanggil Papa.
"Ka.. sih... i.. bu... ke.. pada.... be... ta... tak.. terhingga.. se.. panjang.. masa........"
Belum selesai Citra menyanyikan bait lagunya, ia mengalami kejang-kejang. Darah terus keuar dari mulutnya.
Papa begitu takut, ia berlari ke luar UGD untuk memanggil dokter.
Sedangkan mama terus berteriak-teriak memanggil suami dan anaknya. Kali ini ia benar-benar khawatir.
Mama segera mencari nama Citra di rumah sakit terdekat dan langsung menemukan suaminya yang tengah menangis di depan ruang UGD.
"Papa, mana Citra?" tanya Mama sambil menangis begitu bertemu dengan Papa di rumah sakit. Ada perasaan sakit yang begitu mendalam di dadanya.
Papa menggeleng sambil menangis.
Mama menyimpulkan arti gelengan Papa bahwa Citra telah meninggal dunia. MAma tidak percaya dengan hal itu. Ia berlarri masuk ke ruang UGD. Di sana putrinya tengah di mandikan oleh para perawat.
Mama menangis sejadi-jadinya. Ia merasa sangat menyesal dengan apa yang telah terjadi. Putri satu-satunya yang belum pernah ia tetesi dengan sentuhan kasih sayang kini telah pergi meninggalkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar