"Bidadari tak bersayap
senyummu masih terukir indah
di kelopak mataku
suaramu yang lembut
terus terngiang di telingaku..."
"Woi!" Tepukan tangan Radit
pada punggung Fandi membuat Fandi terkejut dan segera meremuk kertas putih yang
baru saja diisi dengan sebait puisi. "Apaan, tuh?" tanya Radit
penasaran melihat remukan kertas dalam genggaman Fandi.
Fandi tersenyum kecil memberikan
kertas itu pada Radit. Baginya, Radit bukan hanya sekedar teman atau sahabat,
melainkan seperti keluarganya sendiri.
Awalnya Fandi, Radit dan Bidadari
tinggal bertetangga dan mereka sering main bersama. Pada umur 5 tahun, Radit
ditinggal sebatang kara oleh ibu dan ayahnya yang merasa sudah tidak mampu lagi
menghidupi Radit. Di gubuk reotnya, setiap hari Radit menangis, ia tidak pernah
berbicara lagi meskipun Fandi sudah susah payah menghiburnya. Bahkan Fandi dan
Bidadari yang berkehidupan mewah rela menjadi pengamen atau peminta-minta untuk
memberikan uang dan makanan pada Radit sampai pada akhirnya orang tua Fandi
tahu apa yang dilakukan oleh anak semata wayang mereka dan melarang Fandi untuk
terus mendekati Radit. Karena menurut mereka Radit adalah orang miskin yang
tidak sekelas dengan mereka, begitu pula dengan orangtua Bidadari. Namun itu
tidak membuat kedua sahabat Radit menyerah. Fandi, ia terus menolong Radit
hingga akhirnya orang tuanya pun mulai menyukai Radit dan mengangkat Radit
menjadi anaknya. Sejak itu pula rasa kekeluargaan mereka tidak dapat diragukan
lagi.
Tak lama setelah itu Bidadari dan
keluarganya pindah rumah ke luar kota karena urusan pekerjaan ayahnya.
“Puisi lagi. Untuk bidadari lagi ya?”
Tanya Radit pada Fandi yang sedang berjalan pelan menuju balkon rumahnya.
“Iya. Kalo dipikir-pikir lucu juga
ya, my first love was when I was 5 years old.”
“Hahaha… itu sih kurang lucu. Ada yang lebih lucu daripada itu. Mau
tau?”
“Apa?”
“Yang lebih lucunya itu, mau-maunya aja lo berharap sama si Bida
yang padahal udah menghilang entah kemana. Mungkin aja dia di sana udah merit
atau mungkin juga kalo si Bida tuh udah jadi bidadari beneran. Hahaha…”
Fandi yang tidak terima gurauan Radit segera mengejar Radit untuk
menjitak kepalanya atau memberikan sebuah pukulan kecil seperti saat mereka
masih kecil dulu, itulah yang selalu mereka lakukan untuk melanjutkan gurauan
yang menyebalkan. Radit terus berlari mengitari meja bundar yang berada di
tengah-tengah balkon.
Tiba-tiba Fandi menghentikan lari beserta tawanya. Pandangannya
tertuju pada satu titik di seberang sana. Radit mengikuti tujuan mata Fandi.
Radit mengikuti kemana arah mata Fandi melihat sehingga ia juga
melihat apa yang tengah dilihat oleh sahabatnya itu. Seorang wanita berdiri di
balkon atas ruko.
Radit menjitak pelan kepala Fandi.
“Ugh, kalo cewek aja lo cepet banget nangkepnya.” Ujar Radit
bercanda.
Fandi hanya diam dan terus focus pada pemandangan di ujung sana.
“Kenapa sih, Bro?”
“Coba perhatiin deh, kayaknya tuh cewek mau bunuh diri. Liat, dia
udah berdiri di ujung balkonnya tuh, sambil nanhis lagi. Kita samperin, Bro!” ujar Fandi panic tanpa melihat
sedikitpun kea rah Radit yang bingung kemudian berlari begitu saja hendak
menghampiri gadis di seberang sana.
Meskipun bingung, Radit tetap menuruti perintah Fandi. Ia berlari
seakan mengejar Fandi.
“Hei!” teriak Fandi ketika tiba di atas balkon ruko bertingkat tiga
itu.
Gadis dengan potongan rambut shagy
itu menoleh ke belakang, melihat kedua pemuda yang seperti pahlawan kesiangan
menghampirinya.
“Hei, kamu kenapa? Jangan berdiri disitu, bahaya!” Fandi panic.
Gadis itu tidak menghiraukan kata-kata Fandi. Sekarang ia kembali
membalikan tubuhnya dan menutup kedua matanya seakan pasrah dengan apa yang
akan terjadi selanjutnya. Ketika ia condongkan tubuhnya ke depan, saat itu pula
sebuah tangan menarik kedua bahunya ke belakang.
“Lepasin! Leasin aku!” gadis itu meronta. “Lepasin aku. Biarin aku
mati. Aku gak mau hidup. Aku gak bisa hidup kayak gini. Aku gak bisa!” katanya
menangis kemudian langsung dibawa kedalam pelukan Radit yang tadi menolongnya.
“Menangislah sepuasnya. Karena dengan menangis, beban kita bisa
sedikit berkurang. Menangislah.” Ujar Radit sambil membelai rambut gadis itu.
Setelah suasana tenang, Radit mengajak gadis itu ke rumah Fandi
yang kini juga telah menjadi rumahnya.
“Bro, kita bawa dia ke
rumah aja ya?” Radit meminta persetujuan Fandi.
“Tentu. Yuk!”
Ketika sampai di rumah, Fandi yang sedari tadi penasaran dengan apa
yang telah terjadi pada gadis itu membuka mulutnya.
“Hmmm… nama kamu siapa? Aku Fandi, ini Radit, adik aku.” Aku Fandi
yang diiyakan oleh Radit.
“Bidadari.”
‘Deg!’
Sekalian, dua sekawan itu tidak dapat menyembunyikan rasa penasaran
yang lebih daripada sebelumnya.
“Kamu Bidadari? Bidadari Iradadi?” Tanya Fandi menyebutkan nama
cinta pertamanya dan berharap gadis yang ternyata bernama Bidadari itu menjawab
iya.
Tapi sayang, Bidadari menggeleng. “Emangnya itu nama siapa?”
“Eh.. Oh, nggak. Bukan siapa-siapa.” Jawab Fandi dingin dan agak
kecewa. “Oke, sekarang jelasin, tadi ngapain kamu disana? Beneran pingin bunuh
diri?”
“Iya. Aku sedih banget. Ngerasa ga berguna lagi. Aku diusir dari
rumah dan ga ada satu orang pun saudara yang mau nampung aku di rumahnya.”
Bidadari kembali menangis, sedangkan Fandi dan Radit mendengarkan dengan
seksama dan menunggu kelanjutan ceritanya. “Pagi tadi, aku diperkosa dengan
ayah tiriku. Dia bajingan! Dia bilang ke ibu kalau akulah yang menggoda ayah
dan sayangnya ibu percaya. Aku di usir dengan keadaan telanjang. Tapi aku
sempat menarik selimut yang ada di jemuran baju. Hanya dengan itu.” Bidadari
memutuskan lagi ceritanya.
“Lha, terus ini baju dari mana?”
“Aku nyuri.”
“NYURI?” serempak Radit dan Fandi bingung.
“Iya. Gak mungkin kan aku selimutan sepanjang jalan?! Trus aku
nyopet untuk naik bus atau angkot yang akhirnya bawa aku ke kota ini.”
Radit tertawa geli. “Kamu itu lucu ya. Hahaha…”
“Hus! Kok lo malah ketawa sih? Dasar!” ujar Fandi yang sebenarnya
tengah menahan tawa.
“Eh, Bro, Bidadari
tinggal bareng kita aja, gimana?”
“Nggak. Aku gak mau hidup, Radit!”
“Udah, deh, idup aja.”
“Sekarang tuh enak banget memang. Mau idup atau mati, ditentuin
sama manusia. Harusnya ‘kan gak gitu. Tuhan ngasih kita umur itu udah singkat,
mestinya dijalani dengan sebaik-baiknya, lha, ini malah ingin mempersingkat
setelah melakukan perbuatan jahat.”
Bidadari merenungi kata-kata Fandi. Ia pun akhirnya mengurungkan
niat bunuh dirinya.
“Aku gak jadi mati deh, tapi kalian bantu aku ya?! Tolong simpan
rahasia aku baik-baik. Cukup kita bertiga aja yang tau, ok?!” katanya sambil
mengelap air mata serta ingusnya yang meler.
“Siap, kami janji!” kedua sahabat itu mengangkat dua jarinya dan
membentuk huruf ‘V’.
Seiring berjalannya waktu, keakraban mereka semakin terikat ketat,
dan ada pula cinta segitiga di sana. Awalnya memang Radit tidak menyyadari akan
adanya rasa itu, tapi ketika ia melihat Bidadari dan Fandi tengah bersama, ada
perasaan cemburu di hatinya.
“Iya, kayaknya gue mulai jatuh cinta sama dia.” Ujar Radit ketika
Fandi menanyakan tentang perasaan Radit kepada Bidadari.
“Hahaha… ok, gue setuju. Lo memang harus gebet dia, dia itu asik
lho!”
“Yup. Gue kira lo suka sama Bida..”
“Ah, nggak lah. Meskipun Bidadari itu cantik banget, lucu, unik,
de-el-el, tapi dia ga bisa menggeser posisi Bidadari Iradadi gue. Hehehe…”
Betapa leganya Radit mendengar jawaban Fandi. Sebenarnya tidak
begitu lega karena Radit sangat kecewa dan merasa begitu kasihan denga sikap
Fandi yang sangat menutup hatinya. Radit
merasa cinta Fandi kepada Bidadari sangatlah sia-sia.
***
“Gak di sini, gak di sana, kamar cowok tetep aja jorok.” Bidadari
bergumam saat membersihkan kamar Fandi.
“Apaan nih? Lucu banget.” Katanya lagi saat melihat tumpukan
kertas-kertas kecil dengan puisi-puisi indah yang disusun rapi di wadah khusus
bertuliskan ‘My Angel’.
Iseng, Bidadari membaca beberapa puisi indah itu dan setiap
lembarannya tertuliskan, “Bidadari, love
you…”.
Membaca itu hati bidadari seakan melompat keluar. Ia begitu senang
dan mengambil kotak cantik itu dan menempatkan di kamarnya.
***
“Dit, liat kotak Bidadari ga?”
“Kotak Bidadari? Yang lo isi sama puisi-puisi mellow itu?”
“Iya, mana?”
“Ya mana gue tau. Coba Tanya aja sama si Bida, kan tadi dia yang
bebenah kamar lo.”
“Apa? Ya ampun, bisa gawat kalau sampe Bida liat isi kotak itu!”
Fandi berlari cepat menuju kamar Bidadari di lantai dasar dengan
harapan benar-benar menemukan kotak yang diisi penuh dengan rasa cintanya.
Fandi membuka kamar Bidadari dan memang menemukan kotak itu di
sana. Di tangan Bidadari yang tengah senyum-senyum sendiri.
“Bida, ngapain kamu ambil ini?” wajah Fandi memarah mencoba menahan
emosinya.
“Fandi?” Bidadari bangkit
dari duduknya ketika Fandi mengambil kotak yang tengah dipegangnya. “Love you too… aku gak nyangka kalau
ternyata perasaan kita sama.”
Fandi yang tadinya emosi tingkat tinggi kini hanya bisa terdiam
setelah mendengar kata-kata yang baru saja diucapkan Bidadari.
“Ini semua salah paham.
Bidadari sudah membaca isi kotak itu dan dia ngira kalau aku jatuh cinta sama
dia dan yang lebih parahnya lagi karena Bida bilang kalau dia cinta sama gue.
Apa yang harus gue perbuat? Disatu sisi gue gak tega kalau harus jujur sama Radit
kalau dia tau Bida suka sama gue, sedangkan di sisi lainnya, aku gak ingin Bida
malu dan sakit hati kalau gue bilang bahwa isi kotak itu bukan untuk dia.” Fandi membathin.
“Aku suka sama semua puisi-puisi kamu untuk aku. Makasih ya… hari
ini aku bener-bener senang, Fandi.” Katanya seraya memeluk Fandi.
Radit yang ternyata menyusul Fandi sangat terkejut melihat adegan
itu. Seketika itu pula hatinya hancur. Bahkan Radit tidak hanya melihat mereka
berpelukan, tetapi juga mereka berciuman tanpa mereka tau bahwa sepasang mata
Radit telah memperhatikan mereka sejak tadi.
Fandi yang sedang dilema tidak berusaha menolak kecupan yang
diberikan Bidadari.
“Aku janji akan berusaha untuk jadi yang terbaik buat kamu.” Ucap
Bidadari masih dalam pelukan Fandi.
“Iya, aku juga setuju. Aku senang kalian bisa bersatu.” Ternyata
kedatangan Radit yang tiba-tiba itu membuat Fandi sangat terkejut, begitu pula
Bidadari.
“Eh, Dit, nggak. Ini gak seperti yang lo ikirin kok. Sumpah…”
“Bro, gue bener-bener
senang kok. Suer. Memang udah saatnya lo buka hati lo. Gue rasa Bidadari juga
pastas untuk dicintai.”
“Tapi…”
“Gue gak papa. Sumpah. Asal dengan satu syarat, belajarlah untuk
membuka hati dan terus cintai Bidadari kaya’ lo cinta sama Bidadari lo.”
“Maksudnya?” Bidadari yang sedari tadi diam kini membuka suara.
“Suatu hari nanti pasti kamu ngerti kok.” Ujar Radit berusaha
tegar.
Radit yakin bila suatu hari nanti Fandi akan bisa mencintai
Bidadari seperti layaknya Bidadari. Ia pun merasa sudah waktunya ia memberikan
sesuatu untuk Fandi untuk membalas apa yang telah Fandi dan keluarganya berikan
padanya.
“Dit,…”
“Gue percaya sama lo. Gue cinta keluarga kita. Lo mau kan terima syarat
gue tadi? Ingat, cintai Bidadari layaknya Bidadari.” Kata Radit mengambil kotak
yang dipegang Fandi. “Ini masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar