Senin, 05 Maret 2012

Bidadari Tak Bersayap


"Bidadari tak bersayap
senyummu masih terukir indah
di kelopak mataku
suaramu yang lembut
terus terngiang di telingaku..."
"Woi!" Tepukan tangan Radit pada punggung Fandi membuat Fandi terkejut dan segera meremuk kertas putih yang baru saja diisi dengan sebait puisi. "Apaan, tuh?" tanya Radit penasaran melihat remukan kertas dalam genggaman Fandi.
Fandi tersenyum kecil memberikan kertas itu pada Radit. Baginya, Radit bukan hanya sekedar teman atau sahabat, melainkan seperti keluarganya sendiri.
Awalnya Fandi, Radit dan Bidadari tinggal bertetangga dan mereka sering main bersama. Pada umur 5 tahun, Radit ditinggal sebatang kara oleh ibu dan ayahnya yang merasa sudah tidak mampu lagi menghidupi Radit. Di gubuk reotnya, setiap hari Radit menangis, ia tidak pernah berbicara lagi meskipun Fandi sudah susah payah menghiburnya. Bahkan Fandi dan Bidadari yang berkehidupan mewah rela menjadi pengamen atau peminta-minta untuk memberikan uang dan makanan pada Radit sampai pada akhirnya orang tua Fandi tahu apa yang dilakukan oleh anak semata wayang mereka dan melarang Fandi untuk terus mendekati Radit. Karena menurut mereka Radit adalah orang miskin yang tidak sekelas dengan mereka, begitu pula dengan orangtua Bidadari. Namun itu tidak membuat kedua sahabat Radit menyerah. Fandi, ia terus menolong Radit hingga akhirnya orang tuanya pun mulai menyukai Radit dan mengangkat Radit menjadi anaknya. Sejak itu pula rasa kekeluargaan mereka tidak dapat diragukan lagi.
Tak lama setelah itu Bidadari dan keluarganya pindah rumah ke luar kota karena urusan pekerjaan ayahnya.
“Puisi lagi. Untuk bidadari lagi ya?” Tanya Radit pada Fandi yang sedang berjalan pelan menuju balkon rumahnya.
“Iya. Kalo dipikir-pikir lucu juga ya, my first love was when I was 5 years old.
“Hahaha… itu sih kurang lucu. Ada yang lebih lucu daripada itu. Mau tau?”
“Apa?”
“Yang lebih lucunya itu, mau-maunya aja lo berharap sama si Bida yang padahal udah menghilang entah kemana. Mungkin aja dia di sana udah merit atau mungkin juga kalo si Bida tuh udah jadi bidadari beneran. Hahaha…”
Fandi yang tidak terima gurauan Radit segera mengejar Radit untuk menjitak kepalanya atau memberikan sebuah pukulan kecil seperti saat mereka masih kecil dulu, itulah yang selalu mereka lakukan untuk melanjutkan gurauan yang menyebalkan. Radit terus berlari mengitari meja bundar yang berada di tengah-tengah balkon.
Tiba-tiba Fandi menghentikan lari beserta tawanya. Pandangannya tertuju pada satu titik di seberang sana. Radit mengikuti tujuan mata Fandi.
Radit mengikuti kemana arah mata Fandi melihat sehingga ia juga melihat apa yang tengah dilihat oleh sahabatnya itu. Seorang wanita berdiri di balkon atas ruko.
Radit menjitak pelan kepala Fandi.
“Ugh, kalo cewek aja lo cepet banget nangkepnya.” Ujar Radit bercanda.
Fandi hanya diam dan terus focus pada pemandangan di ujung sana.
“Kenapa sih, Bro?
“Coba perhatiin deh, kayaknya tuh cewek mau bunuh diri. Liat, dia udah berdiri di ujung balkonnya tuh, sambil nanhis lagi. Kita samperin, Bro!” ujar Fandi panic tanpa melihat sedikitpun kea rah Radit yang bingung kemudian berlari begitu saja hendak menghampiri gadis di seberang sana.
Meskipun bingung, Radit tetap menuruti perintah Fandi. Ia berlari seakan mengejar Fandi.
“Hei!” teriak Fandi ketika tiba di atas balkon ruko bertingkat tiga itu.
Gadis dengan potongan rambut shagy itu menoleh ke belakang, melihat kedua pemuda yang seperti pahlawan kesiangan menghampirinya.
“Hei, kamu kenapa? Jangan berdiri disitu, bahaya!” Fandi panic.
Gadis itu tidak menghiraukan kata-kata Fandi. Sekarang ia kembali membalikan tubuhnya dan menutup kedua matanya seakan pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika ia condongkan tubuhnya ke depan, saat itu pula sebuah tangan menarik kedua bahunya ke belakang.
“Lepasin! Leasin aku!” gadis itu meronta. “Lepasin aku. Biarin aku mati. Aku gak mau hidup. Aku gak bisa hidup kayak gini. Aku gak bisa!” katanya menangis kemudian langsung dibawa kedalam pelukan Radit yang tadi menolongnya.
“Menangislah sepuasnya. Karena dengan menangis, beban kita bisa sedikit berkurang. Menangislah.” Ujar Radit sambil membelai rambut gadis itu.
Setelah suasana tenang, Radit mengajak gadis itu ke rumah Fandi yang kini juga telah menjadi rumahnya.
Bro, kita bawa dia ke rumah aja ya?” Radit meminta persetujuan Fandi.
“Tentu. Yuk!”
Ketika sampai di rumah, Fandi yang sedari tadi penasaran dengan apa yang telah terjadi pada gadis itu membuka mulutnya.
“Hmmm… nama kamu siapa? Aku Fandi, ini Radit, adik aku.” Aku Fandi yang diiyakan oleh Radit.
“Bidadari.”
‘Deg!’
Sekalian, dua sekawan itu tidak dapat menyembunyikan rasa penasaran yang lebih daripada sebelumnya.
“Kamu Bidadari? Bidadari Iradadi?” Tanya Fandi menyebutkan nama cinta pertamanya dan berharap gadis yang ternyata bernama Bidadari itu menjawab iya.
Tapi sayang, Bidadari menggeleng. “Emangnya itu nama siapa?”
“Eh.. Oh, nggak. Bukan siapa-siapa.” Jawab Fandi dingin dan agak kecewa. “Oke, sekarang jelasin, tadi ngapain kamu disana? Beneran pingin bunuh diri?”
“Iya. Aku sedih banget. Ngerasa ga berguna lagi. Aku diusir dari rumah dan ga ada satu orang pun saudara yang mau nampung aku di rumahnya.” Bidadari kembali menangis, sedangkan Fandi dan Radit mendengarkan dengan seksama dan menunggu kelanjutan ceritanya. “Pagi tadi, aku diperkosa dengan ayah tiriku. Dia bajingan! Dia bilang ke ibu kalau akulah yang menggoda ayah dan sayangnya ibu percaya. Aku di usir dengan keadaan telanjang. Tapi aku sempat menarik selimut yang ada di jemuran baju. Hanya dengan itu.” Bidadari memutuskan lagi ceritanya.
“Lha, terus ini baju dari mana?”
“Aku nyuri.”
“NYURI?” serempak Radit dan Fandi bingung.
“Iya. Gak mungkin kan aku selimutan sepanjang jalan?! Trus aku nyopet untuk naik bus atau angkot yang akhirnya bawa aku ke kota ini.”
Radit tertawa geli. “Kamu itu lucu ya. Hahaha…”
“Hus! Kok lo malah ketawa sih? Dasar!” ujar Fandi yang sebenarnya tengah menahan tawa.
“Eh, Bro, Bidadari tinggal bareng kita aja, gimana?”
“Nggak. Aku gak mau hidup, Radit!”
“Udah, deh, idup aja.”
“Sekarang tuh enak banget memang. Mau idup atau mati, ditentuin sama manusia. Harusnya ‘kan gak gitu. Tuhan ngasih kita umur itu udah singkat, mestinya dijalani dengan sebaik-baiknya, lha, ini malah ingin mempersingkat setelah melakukan perbuatan jahat.”
Bidadari merenungi kata-kata Fandi. Ia pun akhirnya mengurungkan niat bunuh dirinya.
“Aku gak jadi mati deh, tapi kalian bantu aku ya?! Tolong simpan rahasia aku baik-baik. Cukup kita bertiga aja yang tau, ok?!” katanya sambil mengelap air mata serta ingusnya yang meler.
“Siap, kami janji!” kedua sahabat itu mengangkat dua jarinya dan membentuk huruf ‘V’.
Seiring berjalannya waktu, keakraban mereka semakin terikat ketat, dan ada pula cinta segitiga di sana. Awalnya memang Radit tidak menyyadari akan adanya rasa itu, tapi ketika ia melihat Bidadari dan Fandi tengah bersama, ada perasaan cemburu di hatinya.
“Iya, kayaknya gue mulai jatuh cinta sama dia.” Ujar Radit ketika Fandi menanyakan tentang perasaan Radit kepada Bidadari.
“Hahaha… ok, gue setuju. Lo memang harus gebet dia, dia itu asik lho!”
“Yup. Gue kira lo suka sama Bida..”
“Ah, nggak lah. Meskipun Bidadari itu cantik banget, lucu, unik, de-el-el, tapi dia ga bisa menggeser posisi Bidadari Iradadi gue. Hehehe…”
Betapa leganya Radit mendengar jawaban Fandi. Sebenarnya tidak begitu lega karena Radit sangat kecewa dan merasa begitu kasihan denga sikap Fandi yang sangat menutup hatinya.  Radit merasa cinta Fandi kepada Bidadari sangatlah sia-sia.
***
“Gak di sini, gak di sana, kamar cowok tetep aja jorok.” Bidadari bergumam saat membersihkan kamar Fandi.
“Apaan nih? Lucu banget.” Katanya lagi saat melihat tumpukan kertas-kertas kecil dengan puisi-puisi indah yang disusun rapi di wadah khusus bertuliskan ‘My Angel’.
Iseng, Bidadari membaca beberapa puisi indah itu dan setiap lembarannya tertuliskan, “Bidadari, love you…”.
Membaca itu hati bidadari seakan melompat keluar. Ia begitu senang dan mengambil kotak cantik itu dan menempatkan di kamarnya.
***
“Dit, liat kotak Bidadari ga?”
“Kotak Bidadari? Yang lo isi sama puisi-puisi mellow itu?”
“Iya, mana?”
“Ya mana gue tau. Coba Tanya aja sama si Bida, kan tadi dia yang bebenah kamar lo.”
“Apa? Ya ampun, bisa gawat kalau sampe Bida liat isi kotak itu!”
Fandi berlari cepat menuju kamar Bidadari di lantai dasar dengan harapan benar-benar menemukan kotak yang diisi penuh dengan rasa cintanya.
Fandi membuka kamar Bidadari dan memang menemukan kotak itu di sana. Di tangan Bidadari yang tengah senyum-senyum sendiri.
“Bida, ngapain kamu ambil ini?” wajah Fandi memarah mencoba menahan emosinya.
 “Fandi?” Bidadari bangkit dari duduknya ketika Fandi mengambil kotak yang tengah dipegangnya. “Love you too… aku gak nyangka kalau ternyata perasaan kita sama.”
Fandi yang tadinya emosi tingkat tinggi kini hanya bisa terdiam setelah mendengar kata-kata yang baru saja diucapkan Bidadari.
“Ini semua salah paham. Bidadari sudah membaca isi kotak itu dan dia ngira kalau aku jatuh cinta sama dia dan yang lebih parahnya lagi karena Bida bilang kalau dia cinta sama gue. Apa yang harus gue perbuat? Disatu sisi gue gak tega kalau harus jujur sama Radit kalau dia tau Bida suka sama gue, sedangkan di sisi lainnya, aku gak ingin Bida malu dan sakit hati kalau gue bilang bahwa isi kotak itu bukan untuk dia.” Fandi membathin.
“Aku suka sama semua puisi-puisi kamu untuk aku. Makasih ya… hari ini aku bener-bener senang, Fandi.” Katanya seraya memeluk Fandi.
Radit yang ternyata menyusul Fandi sangat terkejut melihat adegan itu. Seketika itu pula hatinya hancur. Bahkan Radit tidak hanya melihat mereka berpelukan, tetapi juga mereka berciuman tanpa mereka tau bahwa sepasang mata Radit telah memperhatikan mereka sejak tadi.
Fandi yang sedang dilema tidak berusaha menolak kecupan yang diberikan Bidadari.
“Aku janji akan berusaha untuk jadi yang terbaik buat kamu.” Ucap Bidadari masih dalam pelukan Fandi.
“Iya, aku juga setuju. Aku senang kalian bisa bersatu.” Ternyata kedatangan Radit yang tiba-tiba itu membuat Fandi sangat terkejut, begitu pula Bidadari.
“Eh, Dit, nggak. Ini gak seperti yang lo ikirin kok. Sumpah…”
Bro, gue bener-bener senang kok. Suer. Memang udah saatnya lo buka hati lo. Gue rasa Bidadari juga pastas untuk dicintai.”
“Tapi…”
“Gue gak papa. Sumpah. Asal dengan satu syarat, belajarlah untuk membuka hati dan terus cintai Bidadari kaya’ lo cinta sama Bidadari lo.”
“Maksudnya?” Bidadari yang sedari tadi diam kini membuka suara.
“Suatu hari nanti pasti kamu ngerti kok.” Ujar Radit berusaha tegar.
Radit yakin bila suatu hari nanti Fandi akan bisa mencintai Bidadari seperti layaknya Bidadari. Ia pun merasa sudah waktunya ia memberikan sesuatu untuk Fandi untuk membalas apa yang telah Fandi dan keluarganya berikan padanya.
“Dit,…”
“Gue percaya sama lo. Gue cinta keluarga kita. Lo mau kan terima syarat gue tadi? Ingat, cintai Bidadari layaknya Bidadari.” Kata Radit mengambil kotak yang dipegang Fandi. “Ini masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar