Senin, 05 Maret 2012

Penulis Nomor Satu


Aku masih menangis isak di atas tempat tidurku dengan posisi terlungkup. Betapa sakitnya hati ini menerima sebuah kenyataan yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya, tapi aku tau bahwa hari seperti hari ini pasti akan terjadi.
Tujuh panggilan tidak terjawab dari atasanku ku abaikan. Saat ini aku benar-benar hanya ingin sendirian. Sengaja aku bolos dari kantorku agar seharian ini aku dapat menangis dengan puas di kamarku.
Trrrtt.. Trrrtt.. Trrrttt..
Hp-ku kembali bergetar di saku celanaku. Kali ini getarannya lebih pendek, itu artinya ada pesan masuk.
"Adi?" gumamku bingung.
Adi itu adalah salah seorang rekan kerjaku yang terlihat sangat tidak senang denganku gara-garanya adalah saat pertama kali ia mengajukan sebuah naskah drama untuk dipentaskan, aku mengeluarkan banyak komentar pedas pada tulisannya.
***
"Kamu pikir kamu itu siapa? Jabatan kita sama, jadi kamu jangan sok tau dan seenaknya saja menghina tulisanku!" ujar Adi penuh amarah. Matanya tajam menatapku tapi aku tetap bersikap santai dan sok hebat.
"Jabatan kita memang sama. Tapi coba lihat, naskah siapa yang selalu dipakai untuk pementasan drama?"
"Jangan terlalu sombong! Bulan depan akan ada pementasan drama lagi, dan aku pastikan bahwa naskahkulah yang akan diterima dan saat itu pula aku akan menginjak-injak naskahmu, Faila!" mulut Adi bergetar dan urat-urat lehernya menegang. Matanya merah. Jelas saat itu Adi tengah marah besar padaku.
"Kita lihat saja, naskah siapa yang akan diinjak-injak dan akan aku ludahi." kataku angkuh melipat tanganku dibawah dada sambil tersenyum sinis.
Adi yang begitu marahnya meninggalkan aku dengan suara kaki yang terasa seperti sengaja ia hentakkan dengan keras.
***
Pagi tadi Pak Dahlan mengirimkan e-mail padaku untuk menyuruhku mempersiapkan semua kru dalam acara pentas drama yang akan digelar minggu depan. Aku sangat senang karena berarti aku akan mengetahui naskah siapa yang akan dipakai dalam pementasan kali ini.
'Adi Batawi'
Nama itu tercantum di biodata penulis naskah. 'Apa? Namaku tergeser dengan Adi? Ini tidak mungkin!' Bathinku.
Lalu aku mengurungkan niatku untuk berangkat ke kantor. Aku tidak ingin meludahi naskahku sendiri dan aku tak akan tega melihat Adi menginjak-injak naskahku. Memalukan! Tidak bisa dipercaya.
Kutimang-timang hp-ku sebelum aku berani membaca sms dari Adi hingga akhirnya hp itu bergetar lama. Adi meneleponku.
Tadinya ingin sekali kuabaikan panggilan itu tapi aku tidak ingin semakin terlihat kalah dan lemah.
"Ya?" jawabku menebalkan suara agar tidak terdengar suaraku yang baru saja menangis.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Adi dingin.
"Ya,"
"Soal naskah itu..."
"Kamu akan menginjaknya besok, di depan mataku dan aku juga akan meludahinya di depanmu. Saat ini aku lagi kurang enak badan jadi aku tidak bisa mempersiapkan persiapan untuk pementasan drama itu." kataku memotong kata-kata Adi dan kemudian aku menangis tersedu setelah aku mematikan sambungan telepon itu sebelumnya.
Inilah kenyataannya, aku kalah di atas kesombonganku!
Aku mengakhiri pembicaran itu dengan menekan tombol merah di hp-ku.
Kembali aku mengangis tak berirama di dalam kamarku. Yang ada di dalam pikiranku saat itu adalah bagaimana caranya agar aku bisa lari dari kenyataan ini.
"Fai.. Faila.." suara lembut seorang laki-laki membangunkan aku. Oh, ternyata tadi aku hanyut bersama air mataku hingga aku tidak sadar telah dibawa ke alam mimpi.
Perlahan kubuka mataku, picinganku menangkap wajah Adi. "Bagaimana dia bisa ada di sini? Apa ini hanya ilusi?" pikirku.
Kembali aku menutup mataku lalu langsung membukanya kembali dengan lebar.
"Kamu?" tanyaku tak percaya karena ternyata Adi benar-benar berada di dekatku. Dia tengah duduk di samping kiriku, di atas tempat tidurku. "Sedang apa kamu di sini? Siapa yang memperbolehkan kamu masuk ke sini?"
"Ibu kamu. Aku bawain ini buat kamu." ujar Adi santai sambil menyodorkan sebuah kotak kado besar berukuran 40 x 30 cm.
"Apa ini?" tanyaku datar tak melepaskan pandanganku dari matanya meskipun saat ini mataku begitu sembab.
"Buka aja."
Aku mengikuti perintahnya yang juga bersamaan dengan hatiku.
Kubuka.
Betapa sakitnya aku ketika melihat yang Adi berikan itu adalah naskahku. Itu artinya Adi ingin mengenyahkan naskahku itu sekarang, detik ini juga. Meski begitu sakitnya hatiku, aku berusaha agar tidak menangis dan terlihat lemah di depannya.
"Ini!" kataku sambil mencampakkannya ke lantai. "Injaklah. Itu sama sekali tidak ada apa-apanya. Naskah itu ku buat secara asal-asalan. Wajar kalau kalah."
"Oh ya? Lalu kenapa kamu nangis, Fai?"
"Itu bukan urusanmu!"
Adi mengambil naskah itu dari lantai.
"Selamat, kamu memang hebat!" ujar Adi mengulurkan tanyannya.
Tak kusambut. Hanya menyinisinya.
"Kamu menang. Kamu memang hebat." ujarnya lagi dan aku tidak mengerti arah pembicaraan ini. Yang aku tau, Adi tengah menghinaku.
"Seharusnya kamu yang menang dalam kompetisi ini. Aku kalah.” Katanya dengan nada yang tenang. “Bos memakai naskahmu dan mengatasnamakan namaku di sana agar kantor kita lolos seleksi. Itu makanya dari tadi pagi bos menghubungimu. Dan kau tau? Sebenarnya kontes ini hanya untuk laki-laki. Maafin aku." jelas Adi panjang lebar membuatku hanya tercengang. Itu artinya aku menang.
Aku masih melongo tidak mengerti. Apa-apaan ini? Apa maksudnya?
“Bukankah bos kita udah nyoba menghubungi kamu? Tadinya bos ingin minta persetujuan kamu untuk ini semua meskipun bos udah lebih dulu mengganti nama pengarang sebelum mendapat persetujuan dari kamu. Menurut bos, kamu pasti akan menyetujui hal ini.”
Aku diam. Aku mulai mengerti arti dari semuanya. Aku memeluk Adi dengan erat. Aku benar-benar tidak tau apa yang harus aku lakukan sekarang. Rasa haru, senang, malu, dan entah rasa apa lagi yang aku rasakan saat ini sehingga membuat aku tidak dapat menghentikan air mata yang keluar dari mataku.
“Berminat untuk menginjak naskahku” katanya sambil mengipas-ngipaskan naskahnya.
Aku menggeleng pasti.
Pelajaran yang berawal dari sebuah naskah sangatlah berharga, mana mungkin aku bisa menginjaknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar