Aku
masih menangis isak di atas tempat tidurku dengan posisi terlungkup. Betapa
sakitnya hati ini menerima sebuah kenyataan yang tidak pernah aku harapkan
kehadirannya, tapi aku tau bahwa hari seperti hari ini pasti akan terjadi.
Tujuh
panggilan tidak terjawab dari atasanku ku abaikan. Saat ini aku benar-benar
hanya ingin sendirian. Sengaja aku bolos dari kantorku agar seharian ini aku
dapat menangis dengan puas di kamarku.
Trrrtt..
Trrrtt.. Trrrttt..
Hp-ku
kembali bergetar di saku celanaku. Kali ini getarannya lebih pendek, itu
artinya ada pesan masuk.
"Adi?"
gumamku bingung.
Adi
itu adalah salah seorang rekan kerjaku yang terlihat sangat tidak senang
denganku gara-garanya adalah saat pertama kali ia mengajukan sebuah naskah
drama untuk dipentaskan, aku mengeluarkan banyak komentar pedas pada
tulisannya.
***
"Kamu
pikir kamu itu siapa? Jabatan kita sama, jadi kamu jangan sok tau dan seenaknya
saja menghina tulisanku!" ujar Adi penuh amarah. Matanya tajam menatapku
tapi aku tetap bersikap santai dan sok hebat.
"Jabatan
kita memang sama. Tapi coba lihat, naskah siapa yang selalu dipakai untuk
pementasan drama?"
"Jangan
terlalu sombong! Bulan depan akan ada pementasan drama lagi, dan aku pastikan
bahwa naskahkulah yang akan diterima dan saat itu pula aku akan menginjak-injak
naskahmu, Faila!" mulut Adi bergetar dan urat-urat lehernya menegang.
Matanya merah. Jelas saat itu Adi tengah marah besar padaku.
"Kita
lihat saja, naskah siapa yang akan diinjak-injak dan akan aku ludahi."
kataku angkuh melipat tanganku dibawah dada sambil tersenyum sinis.
Adi
yang begitu marahnya meninggalkan aku dengan suara kaki yang terasa seperti
sengaja ia hentakkan dengan keras.
***
Pagi
tadi Pak Dahlan mengirimkan e-mail padaku untuk menyuruhku mempersiapkan semua
kru dalam acara pentas drama yang akan digelar minggu depan. Aku sangat senang
karena berarti aku akan mengetahui naskah siapa yang akan dipakai dalam
pementasan kali ini.
'Adi Batawi'
Nama
itu tercantum di biodata penulis naskah. 'Apa? Namaku tergeser dengan Adi? Ini
tidak mungkin!' Bathinku.
Lalu
aku mengurungkan niatku untuk berangkat ke kantor. Aku tidak ingin meludahi
naskahku sendiri dan aku tak akan tega melihat Adi menginjak-injak naskahku.
Memalukan! Tidak bisa dipercaya.
Kutimang-timang
hp-ku sebelum aku berani membaca sms dari Adi hingga akhirnya hp itu bergetar
lama. Adi meneleponku.
Tadinya
ingin sekali kuabaikan panggilan itu tapi aku tidak ingin semakin terlihat
kalah dan lemah.
"Ya?"
jawabku menebalkan suara agar tidak terdengar suaraku yang baru saja menangis.
"Kamu
baik-baik aja?" tanya Adi dingin.
"Ya,"
"Soal
naskah itu..."
"Kamu
akan menginjaknya besok, di depan mataku dan aku juga akan meludahinya di
depanmu. Saat ini aku lagi kurang enak badan jadi aku tidak bisa mempersiapkan
persiapan untuk pementasan drama itu." kataku memotong kata-kata Adi dan
kemudian aku menangis tersedu setelah aku mematikan sambungan telepon itu
sebelumnya.
Inilah
kenyataannya, aku kalah di atas kesombonganku!
Aku
mengakhiri pembicaran itu dengan menekan tombol merah di hp-ku.
Kembali
aku mengangis tak berirama di dalam kamarku. Yang ada di dalam pikiranku saat
itu adalah bagaimana caranya agar aku bisa lari dari kenyataan ini.
"Fai..
Faila.." suara lembut seorang laki-laki membangunkan aku. Oh, ternyata
tadi aku hanyut bersama air mataku hingga aku tidak sadar telah dibawa ke alam
mimpi.
Perlahan
kubuka mataku, picinganku menangkap wajah Adi. "Bagaimana dia bisa ada di sini? Apa ini hanya ilusi?" pikirku.
Kembali
aku menutup mataku lalu langsung membukanya kembali dengan lebar.
"Kamu?"
tanyaku tak percaya karena ternyata Adi benar-benar berada di dekatku. Dia
tengah duduk di samping kiriku, di atas tempat tidurku. "Sedang apa kamu
di sini? Siapa yang memperbolehkan kamu masuk ke sini?"
"Ibu
kamu. Aku bawain ini buat kamu." ujar Adi santai sambil menyodorkan sebuah
kotak kado besar berukuran 40 x 30 cm.
"Apa
ini?" tanyaku datar tak melepaskan pandanganku dari matanya meskipun saat
ini mataku begitu sembab.
"Buka
aja."
Aku
mengikuti perintahnya yang juga bersamaan dengan hatiku.
Kubuka.
Betapa
sakitnya aku ketika melihat yang Adi berikan itu adalah naskahku. Itu artinya
Adi ingin mengenyahkan naskahku itu sekarang, detik ini juga. Meski begitu
sakitnya hatiku, aku berusaha agar tidak menangis dan terlihat lemah di
depannya.
"Ini!"
kataku sambil mencampakkannya ke lantai. "Injaklah. Itu sama sekali tidak
ada apa-apanya. Naskah itu ku buat secara asal-asalan. Wajar kalau kalah."
"Oh
ya? Lalu kenapa kamu nangis, Fai?"
"Itu
bukan urusanmu!"
Adi
mengambil naskah itu dari lantai.
"Selamat,
kamu memang hebat!" ujar Adi mengulurkan tanyannya.
Tak
kusambut. Hanya menyinisinya.
"Kamu
menang. Kamu memang hebat." ujarnya lagi dan aku tidak mengerti arah
pembicaraan ini. Yang aku tau, Adi tengah menghinaku.
"Seharusnya
kamu yang menang dalam kompetisi ini. Aku kalah.” Katanya dengan nada yang
tenang. “Bos memakai naskahmu dan mengatasnamakan namaku di sana agar kantor
kita lolos seleksi. Itu makanya dari tadi pagi bos menghubungimu. Dan kau tau? Sebenarnya
kontes ini hanya untuk laki-laki. Maafin aku." jelas Adi panjang lebar
membuatku hanya tercengang. Itu artinya aku menang.
Aku
masih melongo tidak mengerti. Apa-apaan ini? Apa maksudnya?
“Bukankah
bos kita udah nyoba menghubungi kamu? Tadinya bos ingin minta persetujuan kamu
untuk ini semua meskipun bos udah lebih dulu mengganti nama pengarang sebelum
mendapat persetujuan dari kamu. Menurut bos, kamu pasti akan menyetujui hal
ini.”
Aku
diam. Aku mulai mengerti arti dari semuanya. Aku memeluk Adi dengan erat. Aku
benar-benar tidak tau apa yang harus aku lakukan sekarang. Rasa haru, senang,
malu, dan entah rasa apa lagi yang aku rasakan saat ini sehingga membuat aku
tidak dapat menghentikan air mata yang keluar dari mataku.
“Berminat
untuk menginjak naskahku” katanya sambil mengipas-ngipaskan naskahnya.
Aku
menggeleng pasti.
Pelajaran
yang berawal dari sebuah naskah sangatlah berharga, mana mungkin aku bisa
menginjaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar