Selasa, 06 Maret 2012

Bilik Hati


Sore ini langit tampak begitu bersahabat membuatku akhirnya memenuhi permintaan Surya untuk bertemu di taman dekat dengan sekolahku.
“Kamu di mana?” tanyaku pada Surya melalui telepon selularku.
“Di belakangmu.” Ujar Surya kemudian mematikan sambungan teleponku.
“Dwar!” Surya berteriak agak keras mengejutkan aku dari belakang.
“Kamu!? Ugh!!!” kataku kesal melihat tindakannya yang suka mengagetkan aku.
Surya tertawa terkekeh melihat ekspresi wajahku lalu mengacak-acak kepalaku yang tertutup kerudung namun langsung ku tepis tangannya yang menjuntai kurus di atas kepalaku.
“Surya! Sopan dikit dong! Enak aja kamu megang-megang aku. Kita ‘kan bukan muhrim!”
“Gitu aja ngambeeek…” katanya usil menarik hidungku yang sudah mancung membuatku semakin merasa kesal.
“Suryaaa!!! Jangan sentuh aku! Sekali lagi kamu nyentuh aku, aku janji ga akan pernah lagi mau kenal sama kamu!” ancamku penuh emosi.
Surya tertawa geli melihat raut wajahku yang emosinal. “Habisnya kamu ngegemesin banget sih, mana tahan aku ngeliat kamu, Na.”
Aku merasa tidak lagi leluasa bila harus lebih lama berdua-duaan dengan Surya. Selain aku takut terjadinya fitnah, aku juga takut akan tertinggal banyak pelajaran sastra di sekolah khusus menulis itu.
“Ada apa sih ngajak ketemuan dadakan gini?”
“Aku pingin sesuatu.”
Sesuatu? Huh, selalu saja ia berkata seperti itu. Sejak awal aku mengenalnya, Surya selalu mengucapkan kata-kata itu dan 99%-nya sudah aku kabulkan. Dari permintaannya meminta nomor ponselku sampai sekarang tiba-tiba ia ada di sini, Aceh kota asalku.
“Apa lagi? Ngajak pacaran lagi?” tanyaku sok tau karena sepertinya nyaris setiap hari Surya menodongku dengan pertanyaan yang sama, “Kamu mau ya jadi pacar aku?!”. Ah! Permintaan yang menyebalkan, karena aku benar-benar tidak berniat untuk menghabiskan masa mudaku dengan berpacaran.
“Yeee,.. nggak. Kali ini beda.”
“Hm.. terus apa?”
“Aku ingin masuk ke sekolahan kamu. Kamu bantu aku masuk ke sana ya? Kamu ‘kan punya akses untuk gampang masukin aku ke sekolah itu.”
Apa??? Yang benar saja, Surya ingin satu sekolahan denganku? Setauku dia itu sangat membenci kegiatanku di sekolah itu karena lebih banyak menghabiskan waktu uintuk menulis di depan computer atau menikmati pelajaran yang menurutnya pelajaran anak TK karena, “menulis aja pake acara belajar segala. Kita itu udah gede, udah pinter nulis. Buat apa lagi kita belajar nulis? Buang-buang waktu aja!” katanya kala itu.
“Kok kamu ga jawab?” tanya Surya mengalihkan lamunanku.
“Eh, iya,.. hmmm, aneh aja gitu…”
“Aneh gimana? Karena bertentangan dengan kata-kataku yang dulu ya?” tanya Surya yang sepertinya memahami pikiranku.
Aku mengangguk.
“Jangan heran! Tujuanku itu cuma satu.”
“Tujuan? Tujuan apa?”
“Aku ingin coba ngerasain apa sih enaknya sekolah yang selalu kamu bangga-banggain itu.” Ujar Surya dengan wajah yang terlalu serius membuatku tertawa geli.
Akhirnya dia tertarik juga dengan sekolah ajaib itu. Sekolah paling unik yang pernah ada. Aku yakin kalau nanti Surya berada di sana, dia pasti akan sangat kebingungan dengan materi-materi yang di ajarkan oleh guru-guru muda dan keren di sekolah itu.
“Hei, senyam-senyum mulu! Gimana, bisa ‘kan?!” tanya Surya yang sepertinya mendesakku.
Setelah beberapa waktu berpikir akhirnya aku menyetujui permintaan Surya. Ya, apa sih yang enggak buat Surya??? Kalau di pikir-pikir memang lebih baik menerima permintaan itu sekarang daripada nantinya dia akan terus menerus menerorku seperti tempo hari saat dia memintaku menjadi pacarnya. Oh, tidaaaaakkk!!!
“Okei, sekarang kamu ikut aku ke sekolah yuk!”
Surya mengangguk lalu mengikuti langkah kakiku menuju sekolahan.
Sesampainya di sekolah sepertinya tidak ada yang memperhatikan kami, mungkin karena aku termasuk salah seorang siswi yang tidak terlalu eksis dan juga unproductive untuk menghasilkan karya.
“Kamu tunggu di sini. Aku mau bicara dulu sama Bu Tietie!” kataku setengah berbisik pada Surya di depan ruang dewan guru.
Sambil berdiri tegap, Surya mengangguk lalu membiarkan aku meninggalkannya.
Tak lama kemudian aku kembali menemui Surya dengan perasaan yang begitu senang karena Bu Tietie akan memberi kesempatan pada Surya untuk bersekolah di sini.
Kudapati Surya yang tadinya berdiri kini tengah duduk bersila si lantai sambil memainkan sebuah sedotan kecil di mulutnya.
“Surya, bangun!” kataku dengan suara lantang membuat seorang guru bimpen bernama Divin menghampiri kami.
Bu Divin mendekati Surya yang sudah berdiri kecut.
“Murid baru ya?” tanya Bu Divin pada Surya sambil menurunkan kaca matanya.
“Iya, Bu.”
Sekarang wajah Bu Divin berpaling padaku.
“Itna, ini temanmu?”
Aku mengangguk segan.
“Lihat dia. Apa dia pantas bersekolah di sini dengan berpakaian seperti itu? Lihat juga, apa dia memakai sepatu? Lihat rambutnya!” kata Bu Divin menatap geli pada Surya. “Bimbing dia. Kamu punya tanggung jawab yang besar setelah memasukkan dia ke sini!” ujar Bu Divin yang kemudian meninggalkan aku dan Surya di depan pintu kantor.
Ah! Belum apa-apa Surya sudah membuatku di tegur oleh Bu Divin, si guru killer. Tapi semuanya sudah terlanjur, aku memang harus membimbing Surya agar tidak lagi memakai baju oblong ke sekolah, juga tidak lagi memakai sandal jepit dan memotong rambutnya yang terurai panjang. Sebenarnya tampilannya itu jauh lebih buruk daripada anak jalanan yang tidak terurus. Seharusnya sudah dari awal tadi aku memperhatikan penampilannya.
Sepulang dari sekolah, aku mengikuti langkah Surya menuju rumahnya yang tak jauh dari rumahku.
“Kamu mau kerumahku ya?” tanya Surya yang terlihat bahagia.
Aku menggangguk.
“Ingin aku kenalin sebagai pacar atau calon istri? Hehehe…” tanyanya terkekeh geli.
Aku manyun. Selalu saja dia bercanda seperti itu dan membuatku kesal. Aku menghentikan langkahku.
“Eh, ngambek lagi. Aku cuma bercanda kok. Entar aku kenalain kamu sebagai temenku deh,”
“Ga perlu di kenalin juga orang tua kamu udah kenal sama aku. Keluarga kamu itu bisa tiba di Aceh ini juga ‘kan karena kamunya ngebet banget ingin tetap dekat sama aku dan dengan gampangnya orang tua kamu ngabulin semua permintaan kamu. Dasar anak manja!” kataku sewot.
Lagi-lagi Surya tertawa geli melihat wajahku yang penuh guratan kesal.
“Lalu tujan kamu kerumahku itu apa sih?” tanya Surya penasaran di tengah perjalanan kami.
“Aku ingin ngurusin keperluan sekolah kamu besok. Aku gak mau kalo harus di tegur lagi gara-gara penampilan kamu yang kontras banget melenceng dari peraturan sekolah.”
Surya mengangguk mengerti.
Setibanya di rumah Surya, aku langsung menyiapkan keperluan Surya untuk bersekolah di sekolah unik itu. Aku juga memberi tau pada Surya tentang banyaknya peraturan yang memang tidak boleh dilanggar oleh siapapun termasuk oleh guru sekalipun.
Setelah menjelaskan semuanya pada Surya yang tampaknya sudah mulai mengerti, akhirnya aku pulang dengan hati lega seakan tidak lagi menenteng beban/
“Semoga Surya tidak membuatku malu.” Gumamku.
Sudah dua bulan lamanya Surya mengikuti pelajaran di sekolah itu tapi tampaknya tidak ada ketertarikan sedikitpun pada dirinya.
“Hei, keliatannya suntuk banget.” Sapaku menghampiri Surya di kantin yang sedang menyeruput cendol.
“Hei, iya. Suntuk.”
Tak seperti biasanya, Surya terasa begitu dingin padaku.
“Kenapa? Lagi ada masalah ya?”
Surya mengangguk. “Herman itu siapa? Nauf juga siapa? Si Doel, Rifky dan masih banyak lagi yang lain itu siapa?”
What??? Seteliti itukah Surya? Dia bisa menghafal semua nama teman laki-lakiku yang pernah berbincang padaku walau hanya sekali saja. Bagaimana bisa? Lagian emangnya dia itu siapa sehingga aku harus memberi tau padanya siapa teman-temanku itu? Bukan pacarku aja belagui, apalagi kalau aku menerimanya menjadi pacarku? Oh, no!!!
“Aku tanya sama Rumy, sahabatmu. Tapi dia ga ngasi jawaban apa-apa. Aku mau kamu yang jujur.” Tanya Surya padaku. Matanya terasa begitu tajam menusuk mataku. Seketika itupun aku membencinya.
“Siapapun mereka, itu bukan urusanmu. Maaf!” kataku seraya meninggalkan Surya.
Sejak saat itu rasanya sudah cukuplah kesabaranku berbaik hati padaya. Dibaikin malah gitu, kesannya di kasih hati malah minta jantung!
Keesokan harinya saat pagi masih menyimpan embun, aku telah tiba di sekolah untuk melaksanakan tugas piket harianku. Di tengah asiknya aku menyapu lantai kelasku yang berada di atas ruangan dewan guru, tiba-tiba ada suara yang begitu menarik untuk tidak aku dengarkan.
“Saya cuma ingin membimbing kamu menjadi murid teladan.” kata suara itu lembut dan aku tau itu adalah suara Bu Tietie.
“Kesalahan saya itu di mana, Bu? Saya ke sekolah pake seragam, sepatu, rambut saya juga udah oke. Salah saya di mana?” jawab suara seorang laki-laki yang tak lain adalah Surya.
“Iya, tapi lihat pakaianmu. Kenapa tidak dikancing? Sepatumu juga bewarna merah dan apa-apaan itu rambut kamu di cat kuning?”
“Ini namanya gaya, Bu! Kalau ibu gak mau keliatan tua, coba deh pake gaya kaya’ gini!”
“Kamu itu ya, kalau dibilangin sama orang tua mestinya dengerin, jangan ngeyel!”
“Heh, kamu murid baru harus ngikutin peraturan sekolah!”
“Udah-udah, Surya, baju kamu dikancing dulu deh!”
“Murid kaya’ gitu udah semestinya di DO!”
“Iya, DO aja!”
Suara dari lantai bawah semakin ramai. Ku tinggalkan pekerjaanku lalu menghampiri mereka yang ternyata tengah mengerumuni Surya.
Ya, Tuhan! Apa yang ku lihat? Surya! Betapa noraknya dia dengan penampilan seperti itu. Inikah tujuannya memohon padaku agar aku memasukkannya ke sekolah ini yang ternyata hanya ingin membuatku malu? Memalukan!
“Surya!” seruku membentak sebuah nama anak manusia yang membuatku kesal itu.
“Akhirnya kamu datang juga.”
Aku melihat Bu Tietie tengah menangis tersedu dan beberapa murid mencoba menenangkannya.
“Kamu…”
“Siapa yang masukin murid nakal itu ke sekolah ini? Jawab!” sebuah suara melengking dari balik kerumunan murid memotong perkataanku.
Deg!
Aku tersentak kaget mendengar pertanyaan itu. Ya, siapa yang memasukkan Surya ke sekolah ini? Itu aku bukan? Dan siapa yang patut disalahkan atas kejadian ini? Surya? Tentu bukan. Itu aku! Akulah sumber masalah ini. Aku yang memasukkan Surya ke sini dan sudah semestinya aku bertanggung jawab atas kejadian ini.
“A-a-aku,” jawabku gugup. Semua terdiam dan menatap tak percaya padaku. Sungguh aku merasa malu menghadapi situasi ini, tapi ini adalah saatnya aku mempertanggung jawabkan kesalahanku. “A-aku min-ta maaf. A-aku… aku..”
“Hei, Putri! Nggak seharusnya kamu bicara seperti itu. Kamu kok malah nyalahin Itna?” tanya Citra pada wanita yang bersuara melengking itu dan baru aku ketahui namanya dalah Putri.
“Yeee… siapa juga yang nyalahin Itna. Aku ‘kan cuma nanya siapa yang masukin murid baru yang kurang ajar ini!”
“Iya, tapi…”
“Stop! Cukup!” kataku sambil menagis menahan rasa sakit karena kecewa pada Surya yang sekarang malah tertawa geli melihat aksiku dan teman-teman.
“Mulai detik ini, aku dan Surya keluar dari sekolah ini!” kataku tegas sambil menarik lengan baju Surya dan membawanya pergi dari kerumunan murid tanpa sempat mengungkapkan betapa besar rasa penyesalanku karena telah berbuat salah pada semua murid dan terutama pada Bu Tietie, guruku yang paling aku cintai karena kebaikannya yang terasa begitu sempurna. Sempat ku lihat wajah Bu Tietie terperangha kaget mendengar keputusanku, tapi apa ada hal lain yang dapat kulakukan selain hal ini? Tidak!
Karena emosi, aku berjalan begitu cepatnya dan tidak lagi menghiraukan perkataan teman-teman yang sempat melarangku pergi. Gurauan Surya yang tidak merasa bersalah membuatku semakin emosi.
“Hei, Na. katamu sekolah itu sekolah penulis. Guru-gurunya juga penulis terkenal, tapi kenapa aku ga kenal sama semua nama guru di sana? Kamu bohong ya?” kata Surya menyergah langkahku ketika sampai di depan pintu gerbang sekolah.
“Terserah apa katamu! Yang pasti kamu ga kenal sama mereka semua bukan karena mereka ga terkenal tapi karena kamu yang ga suka baca!”
“Oh ya? Aku juga ga suka nonton. Aku Cuma hobi balapan motor, tapi aku kenal sama Sahrukh Khan, Brad Pitt, Kelly Clarkson dan masih banyak lagi. Itu contoh sekaligus bukti orang-orang terkenal. Ga kaya’ Bu Tietie Surya, Putra Gara, Moyoko Aiko, Wiwien Wintarto dan siapa lagi entahlah. Aku sama sekali ga kenal sama mereka. Terus orang yang kaya’ gitu kamu bilang tokoh terkenal? Sinting kamu, Na!” oceh Surya panjang lebar mencari-cari celah kesalahanku.
“Surya, kamu tuh makin lama semakin aneh aja tau?! Dan itu artinya membuat aku semakin merasa muak sama kamu!”
“Oh ya? Sekarang kamu pikir deh, Na. Liat aku, aku pake semua yang diwajibkan sama sekolahan tapi liat lagi tuh penulis-penulis aneh, aku tetap di salahin atas penampilanku. Bahkan aku, kita, di DO atas dasar yang ga kongkrit. Aneh ‘kan?!”
“Ralat, bukan kita! Tapi cukup kamu aja yang di DO. Aku keluar dari sekolahan itu bukan karena di DO tapi lebih karena kamu. Karena kamu udah bikin aku malu!” kataku sambil menunjuk-nunjuk dadanya yang bidang.
“Kamu jangan sok jadi pahlawan. Bilang aja kalau memang udah niat kamu nyari muka di depan para penulis itu supaya mereka semua kenal sama kamu yang ga seberapa ini. Iya ‘kan?! Dasar munafik!”
Kata-kata yang keluar dari mulut Surya sungguh menyakitkan hati. Inikah orang yang selama ini mengejar-ngejar aku? Diakah orang yang katanya sangat mencintai aku? Dan diakah orang yang sepertinya tulus mengorbankan apa saja demi seorang Itna? Tapi mana buktinya? Hanya sekedar menuruti permintaanku untuk bersikap baik saja dia tidak mampu. Lalu apa arti semuanya yang telah dia lakukan? Apa gunanya ia tinggalkan pulau jawa kalau ternyata hasilnya seperti ini?
Aku merasa begitu kesal. Aku menangis lalu berlari pergi meninggalkan Surya yang masih penuh emosi di depan gerbang sekolah. Aku berlari tanpa mau memperdulikan lagi teriakan Surya yang mencegahku menyebrangi jalan besar tanpa melihat kanan-kiri.
“Itna, awas!” teriak Surya mendorong tubuhku ke badan jalan. Suara hantaman keras dari mobil truk membuat aku berpikir bahwa yang tadi mendorong tubuhku bukanlah Surya, tapi mobil truk itu. Sejenak aku masih tidak mengerti apa yang terjadi hingga aku melihat kerumunan orang banyak di dekatku.
Aku menghampiri kerumunan itu meski tubuhku bergetar menahan rasa sakit karena terpelanting.
Apa yang ku lihat? Tubuh Surya berselimutkan darah merah segar dan kental. Inikah laki-laki yang baru saja menghujam jantungku dengan kata-kata menyakitkannya? Tadi memang aku sempat berpikir bahwa dia adalah laki-laki yang paling aku benci di dunia ini, tapi lihatlah sekarang! Dia rela mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan aku. Ku raba denyut nadi dari tangan milik Surya dan tidak lagi aku dapatkan denyut kehidupan itu. Kini ia telah pergi selamanya meninggalkan aku.
Aku menangis isak penuh penyesalan. Emosiku membawa banyak masalah. Penyesalanku memang tak akan membuatnya kembali ke dunia ini, tapi setidaknya satu pelajaran telah aku terima dari semua musibah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar