Sore ini langit tampak begitu
bersahabat membuatku akhirnya memenuhi permintaan Surya untuk bertemu di taman
dekat dengan sekolahku.
“Kamu di mana?” tanyaku pada
Surya melalui telepon selularku.
“Di belakangmu.” Ujar Surya
kemudian mematikan sambungan teleponku.
“Dwar!” Surya berteriak agak
keras mengejutkan aku dari belakang.
“Kamu!? Ugh!!!” kataku kesal
melihat tindakannya yang suka mengagetkan aku.
Surya tertawa terkekeh melihat
ekspresi wajahku lalu mengacak-acak kepalaku yang tertutup kerudung namun
langsung ku tepis tangannya yang menjuntai kurus di atas kepalaku.
“Surya! Sopan dikit dong! Enak
aja kamu megang-megang aku. Kita ‘kan bukan muhrim!”
“Gitu aja ngambeeek…” katanya
usil menarik hidungku yang sudah mancung membuatku semakin merasa kesal.
“Suryaaa!!! Jangan sentuh aku!
Sekali lagi kamu nyentuh aku, aku janji ga akan pernah lagi mau kenal sama
kamu!” ancamku penuh emosi.
Surya tertawa geli melihat raut
wajahku yang emosinal. “Habisnya kamu ngegemesin banget sih, mana tahan aku
ngeliat kamu, Na.”
Aku merasa tidak lagi leluasa
bila harus lebih lama berdua-duaan dengan Surya. Selain aku takut terjadinya
fitnah, aku juga takut akan tertinggal banyak pelajaran sastra di sekolah
khusus menulis itu.
“Ada apa sih ngajak ketemuan
dadakan gini?”
“Aku pingin sesuatu.”
Sesuatu? Huh, selalu saja ia
berkata seperti itu. Sejak awal aku mengenalnya, Surya selalu mengucapkan
kata-kata itu dan 99%-nya sudah aku kabulkan. Dari permintaannya meminta nomor
ponselku sampai sekarang tiba-tiba ia ada di sini, Aceh kota asalku.
“Apa lagi? Ngajak pacaran lagi?”
tanyaku sok tau karena sepertinya nyaris setiap hari Surya menodongku dengan
pertanyaan yang sama, “Kamu mau ya jadi
pacar aku?!”. Ah! Permintaan yang menyebalkan, karena aku benar-benar tidak
berniat untuk menghabiskan masa mudaku dengan berpacaran.
“Yeee,.. nggak. Kali ini beda.”
“Hm.. terus apa?”
“Aku ingin masuk ke sekolahan
kamu. Kamu bantu aku masuk ke sana ya? Kamu ‘kan punya akses untuk gampang
masukin aku ke sekolah itu.”
Apa??? Yang benar saja, Surya ingin
satu sekolahan denganku? Setauku dia itu sangat membenci kegiatanku di sekolah
itu karena lebih banyak menghabiskan waktu uintuk menulis di depan computer
atau menikmati pelajaran yang menurutnya pelajaran anak TK karena, “menulis aja pake acara belajar segala. Kita
itu udah gede, udah pinter nulis. Buat apa lagi kita belajar nulis? Buang-buang
waktu aja!” katanya kala itu.
“Kok kamu ga jawab?” tanya Surya
mengalihkan lamunanku.
“Eh, iya,.. hmmm, aneh aja gitu…”
“Aneh gimana? Karena bertentangan
dengan kata-kataku yang dulu ya?” tanya Surya yang sepertinya memahami
pikiranku.
Aku mengangguk.
“Jangan heran! Tujuanku itu cuma satu.”
“Tujuan? Tujuan apa?”
“Aku ingin coba ngerasain apa sih
enaknya sekolah yang selalu kamu bangga-banggain itu.” Ujar Surya dengan wajah
yang terlalu serius membuatku tertawa geli.
Akhirnya dia tertarik juga dengan
sekolah ajaib itu. Sekolah paling unik yang pernah ada. Aku yakin kalau nanti
Surya berada di sana, dia pasti akan sangat kebingungan dengan materi-materi
yang di ajarkan oleh guru-guru muda dan keren di sekolah itu.
“Hei, senyam-senyum mulu! Gimana,
bisa ‘kan?!” tanya Surya yang sepertinya mendesakku.
Setelah beberapa waktu berpikir
akhirnya aku menyetujui permintaan Surya. Ya, apa sih yang enggak buat Surya???
Kalau di pikir-pikir memang lebih baik menerima permintaan itu sekarang
daripada nantinya dia akan terus menerus menerorku seperti tempo hari saat dia
memintaku menjadi pacarnya. Oh, tidaaaaakkk!!!
“Okei, sekarang kamu ikut aku ke
sekolah yuk!”
Surya mengangguk lalu mengikuti
langkah kakiku menuju sekolahan.
Sesampainya di sekolah sepertinya
tidak ada yang memperhatikan kami, mungkin karena aku termasuk salah seorang
siswi yang tidak terlalu eksis dan juga unproductive
untuk menghasilkan karya.
“Kamu tunggu di sini. Aku mau
bicara dulu sama Bu Tietie!” kataku setengah berbisik pada Surya di depan ruang
dewan guru.
Sambil berdiri tegap, Surya
mengangguk lalu membiarkan aku meninggalkannya.
Tak lama kemudian aku kembali
menemui Surya dengan perasaan yang begitu senang karena Bu Tietie akan memberi
kesempatan pada Surya untuk bersekolah di sini.
Kudapati Surya yang tadinya
berdiri kini tengah duduk bersila si lantai sambil memainkan sebuah sedotan
kecil di mulutnya.
“Surya, bangun!” kataku dengan
suara lantang membuat seorang guru bimpen bernama Divin menghampiri kami.
Bu Divin mendekati Surya yang
sudah berdiri kecut.
“Murid baru ya?” tanya Bu Divin
pada Surya sambil menurunkan kaca matanya.
“Iya, Bu.”
Sekarang wajah Bu Divin berpaling
padaku.
“Itna, ini temanmu?”
Aku mengangguk segan.
“Lihat dia. Apa dia pantas
bersekolah di sini dengan berpakaian seperti itu? Lihat juga, apa dia memakai
sepatu? Lihat rambutnya!” kata Bu Divin menatap geli pada Surya. “Bimbing dia.
Kamu punya tanggung jawab yang besar setelah memasukkan dia ke sini!” ujar Bu
Divin yang kemudian meninggalkan aku dan Surya di depan pintu kantor.
Ah! Belum apa-apa Surya sudah
membuatku di tegur oleh Bu Divin, si guru killer. Tapi semuanya sudah
terlanjur, aku memang harus membimbing Surya agar tidak lagi memakai baju
oblong ke sekolah, juga tidak lagi memakai sandal jepit dan memotong rambutnya
yang terurai panjang. Sebenarnya tampilannya itu jauh lebih buruk daripada anak
jalanan yang tidak terurus. Seharusnya sudah dari awal tadi aku memperhatikan
penampilannya.
Sepulang dari sekolah, aku
mengikuti langkah Surya menuju rumahnya yang tak jauh dari rumahku.
“Kamu mau kerumahku ya?” tanya
Surya yang terlihat bahagia.
Aku menggangguk.
“Ingin aku kenalin sebagai pacar
atau calon istri? Hehehe…” tanyanya terkekeh geli.
Aku manyun. Selalu saja dia
bercanda seperti itu dan membuatku kesal. Aku menghentikan langkahku.
“Eh, ngambek lagi. Aku cuma bercanda
kok. Entar aku kenalain kamu sebagai temenku deh,”
“Ga perlu di kenalin juga orang
tua kamu udah kenal sama aku. Keluarga kamu itu bisa tiba di Aceh ini juga ‘kan
karena kamunya ngebet banget ingin tetap dekat sama aku dan dengan gampangnya
orang tua kamu ngabulin semua permintaan kamu. Dasar anak manja!” kataku sewot.
Lagi-lagi Surya tertawa geli
melihat wajahku yang penuh guratan kesal.
“Lalu tujan kamu kerumahku itu
apa sih?” tanya Surya penasaran di tengah perjalanan kami.
“Aku ingin ngurusin keperluan
sekolah kamu besok. Aku gak mau kalo harus di tegur lagi gara-gara penampilan
kamu yang kontras banget melenceng dari peraturan sekolah.”
Surya mengangguk mengerti.
Setibanya di rumah Surya, aku
langsung menyiapkan keperluan Surya untuk bersekolah di sekolah unik itu. Aku
juga memberi tau pada Surya tentang banyaknya peraturan yang memang tidak boleh
dilanggar oleh siapapun termasuk oleh guru sekalipun.
Setelah menjelaskan semuanya pada
Surya yang tampaknya sudah mulai mengerti, akhirnya aku pulang dengan hati lega
seakan tidak lagi menenteng beban/
“Semoga Surya tidak membuatku
malu.” Gumamku.
Sudah dua bulan lamanya Surya
mengikuti pelajaran di sekolah itu tapi tampaknya tidak ada ketertarikan
sedikitpun pada dirinya.
“Hei, keliatannya suntuk banget.”
Sapaku menghampiri Surya di kantin yang sedang menyeruput cendol.
“Hei, iya. Suntuk.”
Tak seperti biasanya, Surya
terasa begitu dingin padaku.
“Kenapa? Lagi ada masalah ya?”
Surya mengangguk. “Herman itu
siapa? Nauf juga siapa? Si Doel, Rifky dan masih banyak lagi yang lain itu
siapa?”
What??? Seteliti itukah Surya? Dia
bisa menghafal semua nama teman laki-lakiku yang pernah berbincang padaku walau
hanya sekali saja. Bagaimana bisa? Lagian emangnya dia itu siapa sehingga aku
harus memberi tau padanya siapa teman-temanku itu? Bukan pacarku aja belagui,
apalagi kalau aku menerimanya menjadi pacarku? Oh, no!!!
“Aku tanya sama Rumy, sahabatmu.
Tapi dia ga ngasi jawaban apa-apa. Aku mau kamu yang jujur.” Tanya Surya
padaku. Matanya terasa begitu tajam menusuk mataku. Seketika itupun aku
membencinya.
“Siapapun mereka, itu bukan
urusanmu. Maaf!” kataku seraya meninggalkan Surya.
Sejak saat itu rasanya sudah
cukuplah kesabaranku berbaik hati padaya. Dibaikin malah gitu, kesannya di
kasih hati malah minta jantung!
Keesokan harinya saat pagi masih
menyimpan embun, aku telah tiba di sekolah untuk melaksanakan tugas piket
harianku. Di tengah asiknya aku menyapu lantai kelasku yang berada di atas
ruangan dewan guru, tiba-tiba ada suara yang begitu menarik untuk tidak aku
dengarkan.
“Saya cuma ingin membimbing kamu
menjadi murid teladan.” kata suara itu lembut dan aku tau itu adalah suara Bu
Tietie.
“Kesalahan saya itu di mana, Bu?
Saya ke sekolah pake seragam, sepatu, rambut saya juga udah oke. Salah saya di
mana?” jawab suara seorang laki-laki yang tak lain adalah Surya.
“Iya, tapi lihat pakaianmu.
Kenapa tidak dikancing? Sepatumu juga bewarna merah dan apa-apaan itu rambut
kamu di cat kuning?”
“Ini namanya gaya, Bu! Kalau ibu
gak mau keliatan tua, coba deh pake gaya kaya’ gini!”
“Kamu itu ya, kalau dibilangin
sama orang tua mestinya dengerin, jangan ngeyel!”
“Heh, kamu murid baru harus
ngikutin peraturan sekolah!”
“Udah-udah, Surya, baju kamu
dikancing dulu deh!”
“Murid kaya’ gitu udah semestinya
di DO!”
“Iya, DO aja!”
Suara dari lantai bawah semakin
ramai. Ku tinggalkan pekerjaanku lalu menghampiri mereka yang ternyata tengah
mengerumuni Surya.
Ya, Tuhan! Apa yang ku lihat?
Surya! Betapa noraknya dia dengan penampilan seperti itu. Inikah tujuannya
memohon padaku agar aku memasukkannya ke sekolah ini yang ternyata hanya ingin
membuatku malu? Memalukan!
“Surya!” seruku membentak sebuah
nama anak manusia yang membuatku kesal itu.
“Akhirnya kamu datang juga.”
Aku melihat Bu Tietie tengah
menangis tersedu dan beberapa murid mencoba menenangkannya.
“Kamu…”
“Siapa yang masukin murid nakal
itu ke sekolah ini? Jawab!” sebuah suara melengking dari balik kerumunan murid
memotong perkataanku.
Deg!
Aku tersentak kaget mendengar
pertanyaan itu. Ya, siapa yang memasukkan Surya ke sekolah ini? Itu aku bukan?
Dan siapa yang patut disalahkan atas kejadian ini? Surya? Tentu bukan. Itu aku!
Akulah sumber masalah ini. Aku yang memasukkan Surya ke sini dan sudah
semestinya aku bertanggung jawab atas kejadian ini.
“A-a-aku,” jawabku gugup. Semua
terdiam dan menatap tak percaya padaku. Sungguh aku merasa malu menghadapi situasi
ini, tapi ini adalah saatnya aku mempertanggung jawabkan kesalahanku. “A-aku
min-ta maaf. A-aku… aku..”
“Hei, Putri! Nggak seharusnya
kamu bicara seperti itu. Kamu kok malah nyalahin Itna?” tanya Citra pada wanita
yang bersuara melengking itu dan baru aku ketahui namanya dalah Putri.
“Yeee… siapa juga yang nyalahin
Itna. Aku ‘kan cuma nanya siapa yang masukin murid baru yang kurang ajar ini!”
“Iya, tapi…”
“Stop! Cukup!” kataku sambil
menagis menahan rasa sakit karena kecewa pada Surya yang sekarang malah tertawa
geli melihat aksiku dan teman-teman.
“Mulai detik ini, aku dan Surya
keluar dari sekolah ini!” kataku tegas sambil menarik lengan baju Surya dan
membawanya pergi dari kerumunan murid tanpa sempat mengungkapkan betapa besar
rasa penyesalanku karena telah berbuat salah pada semua murid dan terutama pada
Bu Tietie, guruku yang paling aku cintai karena kebaikannya yang terasa begitu
sempurna. Sempat ku lihat wajah Bu Tietie terperangha kaget mendengar
keputusanku, tapi apa ada hal lain yang dapat kulakukan selain hal ini? Tidak!
Karena emosi, aku berjalan begitu
cepatnya dan tidak lagi menghiraukan perkataan teman-teman yang sempat
melarangku pergi. Gurauan Surya yang tidak merasa bersalah membuatku semakin
emosi.
“Hei, Na. katamu sekolah itu
sekolah penulis. Guru-gurunya juga penulis terkenal, tapi kenapa aku ga kenal
sama semua nama guru di sana? Kamu bohong ya?” kata Surya menyergah langkahku
ketika sampai di depan pintu gerbang sekolah.
“Terserah apa katamu! Yang pasti
kamu ga kenal sama mereka semua bukan karena mereka ga terkenal tapi karena
kamu yang ga suka baca!”
“Oh ya? Aku juga ga suka nonton.
Aku Cuma hobi balapan motor, tapi aku kenal sama Sahrukh Khan, Brad Pitt, Kelly
Clarkson dan masih banyak lagi. Itu contoh sekaligus bukti orang-orang
terkenal. Ga kaya’ Bu Tietie Surya, Putra Gara, Moyoko Aiko, Wiwien Wintarto dan
siapa lagi entahlah. Aku sama sekali ga kenal sama mereka. Terus orang yang
kaya’ gitu kamu bilang tokoh terkenal? Sinting kamu, Na!” oceh Surya panjang
lebar mencari-cari celah kesalahanku.
“Surya, kamu tuh makin lama
semakin aneh aja tau?! Dan itu artinya membuat aku semakin merasa muak sama
kamu!”
“Oh ya? Sekarang kamu pikir deh,
Na. Liat aku, aku pake semua yang diwajibkan sama sekolahan tapi liat lagi tuh
penulis-penulis aneh, aku tetap di salahin atas penampilanku. Bahkan aku, kita,
di DO atas dasar yang ga kongkrit. Aneh ‘kan?!”
“Ralat, bukan kita! Tapi cukup
kamu aja yang di DO. Aku keluar dari sekolahan itu bukan karena di DO tapi
lebih karena kamu. Karena kamu udah bikin aku malu!” kataku sambil
menunjuk-nunjuk dadanya yang bidang.
“Kamu jangan sok jadi pahlawan.
Bilang aja kalau memang udah niat kamu nyari muka di depan para penulis itu
supaya mereka semua kenal sama kamu yang ga seberapa ini. Iya ‘kan?! Dasar
munafik!”
Kata-kata yang keluar dari mulut
Surya sungguh menyakitkan hati. Inikah orang yang selama ini mengejar-ngejar
aku? Diakah orang yang katanya sangat mencintai aku? Dan diakah orang yang
sepertinya tulus mengorbankan apa saja demi seorang Itna? Tapi mana buktinya?
Hanya sekedar menuruti permintaanku untuk bersikap baik saja dia tidak mampu.
Lalu apa arti semuanya yang telah dia lakukan? Apa gunanya ia tinggalkan pulau
jawa kalau ternyata hasilnya seperti ini?
Aku merasa begitu kesal. Aku
menangis lalu berlari pergi meninggalkan Surya yang masih penuh emosi di depan
gerbang sekolah. Aku berlari tanpa mau memperdulikan lagi teriakan Surya yang
mencegahku menyebrangi jalan besar tanpa melihat kanan-kiri.
“Itna, awas!” teriak Surya
mendorong tubuhku ke badan jalan. Suara hantaman keras dari mobil truk membuat
aku berpikir bahwa yang tadi mendorong tubuhku bukanlah Surya, tapi mobil truk
itu. Sejenak aku masih tidak mengerti apa yang terjadi hingga aku melihat
kerumunan orang banyak di dekatku.
Aku menghampiri kerumunan itu
meski tubuhku bergetar menahan rasa sakit karena terpelanting.
Apa yang ku lihat? Tubuh Surya
berselimutkan darah merah segar dan kental. Inikah laki-laki yang baru saja
menghujam jantungku dengan kata-kata menyakitkannya? Tadi memang aku sempat
berpikir bahwa dia adalah laki-laki yang paling aku benci di dunia ini, tapi
lihatlah sekarang! Dia rela mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan aku. Ku
raba denyut nadi dari tangan milik Surya dan tidak lagi aku dapatkan denyut
kehidupan itu. Kini ia telah pergi selamanya meninggalkan aku.
Aku menangis isak penuh
penyesalan. Emosiku membawa banyak masalah. Penyesalanku memang tak akan
membuatnya kembali ke dunia ini, tapi setidaknya satu pelajaran telah aku
terima dari semua musibah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar