Selasa, 20 Maret 2012

Burong Tujoh


Tadi, baru saja hujan turun dengan derasnya, kemudian rintik itu berganti menjadi gerimis. Langit masih tampak begitu gelap tak bersahabat. Aku melirik jam dinding di atas pintu depan rumah Kay. Jarum penddeknya seakan tak bergerak menunjukkan angka enam dan jarum panjang yang besar bergetar-getar ingin segera menyentuh angka tujuh sedangkan jarum kecil yang juga tak kalah panjang begitu bergeriliya berjalan santai dan seakan menampakkan kesombongannya bahwa ia-lah yang terhebat dan tercepat bila dibandingkan dengan dua jarum yang tertinggal di belakangnya.
Karin yang duduk di sampingku sudah mulai terlihat gusar. Sesekali ia melihat mobilnya yang diperkir di depan rumah Kay, dari gelagatnya aku tau ia ingin aku segera mengajaknya pulang. Dan benar saja, Karin langsung mengangguk ketika akku mengajaknya pulang tapi Kay memohon agar aku tetap tinggal, wajahnya memelas, ia memohon dengan sungguh-sungguh tapi aku benar-benar tidak bisa menemaninya karena beberapa alasan dan alasan yang paling kuat adalah karena tidak mungkin aku membiarkan Karin pulang sendirian dengan mobil x-over silver miliknya.
Aku memberikan pengertian pada Kay agar ia tak lagi berat hati melepasku, karena masih ada hari esok yang mungkin bisa membawaku kembali ke sini tanpa harus menunggunya jatuh sakit.
Entah ada apa dengan Karin, sejak tadi kami tiba di rumah Kay, ia tidak mengeluarkan sepatah katapun. Aku berpikir ia marah padaku karena membiarkannya melihat aku dan Kay bermesra-mesraan di depannya.
Ku coba berbasa-bai padanya namun Karin menjawab kata-katku hanya dengan berdehem sekenanya.
Aku melihat Karin yang tengah menyetir. Pandangannya lurus, seakan ia menyetir dengan tatapan kosong. Bibirnya tertutup rapat dan garis wajahnya mencerminkan ada yang lain dari dirinya.
Tercium aroma busuk di dalam mobil yang padahal sudah tertutup rapat oleh kaca-kaca jendela.
“Ih, bau busuk!” kataku mengeluh. “Kecium ga, Rin?” tanyaku seperti berbasa-basi.
Karin diam tak menyaut. Reaksinya masih sama.
Aku curiga sesuatu telah terjadi padanya. Aku sedikit membungkukkan tubuhku condong ke depan untuk melihat wajah Karin tampak depan.
Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada Karin? Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar. Bahkan dari sudut bibir kanannya telah mengalir darah hingga menetes di bajunya.
“Karin! Kamu kenapa?” tanyaku panic.
Mata Karin melotot, nyaris keluar dari kelopak matanya.
“Karin, berhentiin dulu mobilnya. Ayo kepinggirin!” aku member perintah layaknya seorang bos namun Karin acuh.
“Jangan main-main, Karin.”
Hiiiiiittt..
Mobil berhenti secara mendadak, untunglah jalan di sini agak sepi, jalan dari perumahan ujung bate ke kota memang kurang banyak dilalui penduduk apalagi pada saat magrib seperti ini.
“Kamu kenapa, Karin? Mobilnya dipinggirin dulu lah…” kataku mencoba tenang.
“Aku bukan Karin!” ujarnya untuk pertama kali membuka suara setelah daritadi bertingkah aneh.
Ia juga memperlihatkan mulutnya yyang penuh dengan darah. Ia menggigit giginya sendiri dengan cara menekan antara gigi atasnya dengan gigi bawah. Ia seakan tengah geram pada sesuatu.
“Karin, kamu baik baik aja ‘kan?!”
“Hahaha.. kamu takut ya?” tanyanya seraya mendekatkan wajahnya padaku dengan mata yang masih sama seperti tadi, melotot.
Aku membawa badanku mundur dan menyandar pada pintu.
Adzan berkumandang, bibirkupun tak berhenti menyebut-nyebut nama Allah. Aku terus membaca do’a yang aku bisa. Aku yakin setan telah merasuki tubuh Karin.
“Stop! Stop! Cukup!” katanya berteriak. “Jangan baca lagi.. aku panas.” Sambungnya sambil menutup telinganya dengan kedua tangannya. Anehnya tiba-tiba saja sosok yang merasuki tubuh Karin berubah menjadi sosok yang manis.
“Aku cuma mau numpang sebentar. Nanti kalau udah sampai tujuan, aku pasti turun dan gak ganggu kalian lagi. Janji.” Katanya lagi meyakinkanku.
Awalnya aku tidak percaya, tapi wajah itu memohon, aku tidak tega untuk menolaknya dan setauku terkadang mereka memang suka begitu, hanya menumpang, lalu menghilang setelah mereka tiba di tempat tujannya.
Aku mencoba tenang saat sang setan mengemudi mobil secara kebut-kebutan sambil tertawa melengking. Aku lebih suka ia tertawa seperti itu daripada ia menyakiti tubuh temanku dengan caranya yang seperti tadi.
“Kau takut sama aku, hah?” tanyanya lagi sambil melotot padaku.
“Nggak. Aku Cuma takut sama Tuhan, Allah!” kataku pasti.
“Hei, lancing sekali mulutmu. Kau tau siapa aku? Aku, Burong Tujoh! Hahaha…” katanya dengan suara yang agak ia tebalkan dan ada suara serak pula seiring dengan ucapannya itu.
Aku tau Karin sudah dirasuki setan yang amat mengerikan. Sekarang aku benar-benar merasa takut karena ia terus membawa mobil Karin secara ugal-ugalan.
“Kau tau, tidak ada yang lebih hebat daripada aku! Kau takut padaku?” tanyanya lagi.
“Tidak!”
Kecepatan mobil semakin tinggi dan sengaja ia tabrakkan mobil itu pada bundaran kota, di tugu simpang lima. Mobil berhenti. Aku turun dan berteriak-teriak memohon pertolongan. Banyak orang mengerumuniku. Aku menceritakan apa yang terjadi. Seorang yang mengeku bisa mengatasi hal ini membawa aku dan tubuh Karin ke sebuah kafe yang kira-kira hanya berjarak lima meter dari tempat kejadian. Sedangkan mobil yang tersangkut di bundaran itu sedang menunggu mobil lain untuk menggereknya.
“Iya.. iya, aku akan keluar. Biar aku keluar sendiri dari tubuh ini.” Ujar sosok dalam tubuh Karin.
Orang yang sedari tadi memegang jempol kaki Karin berhenti membaca hafalan surat Al-Qur’an.
Karin membuka matanya lemah, pelan.
“Aya, ada apa ini?” Tanya Karin begitu sadar.
“Alhamdulillah, Karin, akhirnya kamu sadar juga. tadi kamu…”
Belum sempat lagi aku menghabiskan kata-kataku, Karin kembali berteriak-teriak, tubuhnya meronta akibat kakinya kembali disentuh oleh orang tadi.
“Ampuuun.. aampuuunn.. sakit.” Teriak Karin.
“Jangan berpura-pura lagi atau akan kuhanguskan kau!” ujar seorang lelaki agak botak yang nyatanya memang mampu mengobati Karin.
“Iya, iya, aku keluar tapi aku mau rokok..”
“Tidak. Keluar sekarang atau mati?”
“Iya, aku keluar sendiri.” Karin menyelipkan tangannya antara leher dan bahunya. Ia mencekik lehernya sendiri. Lidahnya menjulur keluar.
“Pegang tangannya. Cepat!” perintah orang tadi.
Aku beserta orang-orang disekitarku memegang tangan Karin yang ternyata mempunyai tenaga ekstra kuat.
Tiba-tiba tenaga itu hilang dengan sendirinya. Karin pingsan. Aku dan beberapa orang membawanya ke rumah sakit terdekat. Aku bersyukur semua telah berakhir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar