Manekin-manekin
utuh dipajang berjajar di depan toko bercat ungu terang dengan les hitam sangat
menarik perhatian. Manekin itu terawat dengan rapi seakan tak ada debu di sana.
Mereka dibuat sedemikian mirip dengan peragawan dan pramuniaga toko. Jumlah
manekin di toko itu selalu bertambah setiap bulannya karena nyaris setiap bulan
toko itu melahirkan model-model busana terbaru.
Tidak
ada yang menyangka bila ternyata sebuah mayat laki-laki telah lama mematung di
toko milik Janis. Mayat yang dipikir manekin itu mengenakan kemeja biru dengan
motif tengkorak di bagian dadanya, juga memakai topi yang sebagian menutupi
wajahnya sehingga tiada yang mengira bahwa patung yang berdiri dengan posisi
agak membungkuk layaknya pramuniaga yang tengah mempersilahkan para tamu masuk
itu adalah sebuah mayat! Mayat itu masih tetap utuh dan tidak mengeluarkan
bebauan sama sekali. Kulitnya juga masih sangat kencang, seakan tubuh kaku itu
baru saja menjadi mayat.
Pada
jari telunjuk tangan kanan mayat itu sudah tergantung sebuah tanda pengenal
yang sepertinya memang milik mayat tersebut ketika ia masih hidup. Photo yang
tertempel pada mayat itu sama seperti wajah sang mayat. Polisi tengah
menyelidiki kasus ini meski tanpa petunjuk sama sekali. Tak ada satu sidik jari
pun yang dapat mereka temukan pada tubuh mayat itu. Juga pada kartu tanda
pengenal yang ternyata telah di ubah alamat dan nomor serinya sehingga sangat
sulit untuk dilacak.
Berjarak
beberapa senti dari patung itu telah dilingkari oleh kertas kuning bertuliskan
‘police line’ yang berarti melarang
siapapun untuk mengganggu wilayah itu karena sedang dalam kasus. Tak hanya itu,
toko milik Janis pun ikut diberi tanda itu dan tentu saja itu semua membuat
Janis tidak bisa mengoperasikan lagi tokonya.
Setelah
tokonya di segel dan mayat dibawa oleh polisi, ternyata Janis juga harus ikut
bersama polisi-polisi itu untuk dimintai keterangan. Tentu saja Janis tidak
dapat menolak surat penggilan itu. Bahkan Janis menjadi tersangka atas kasus
itu.
“Aku
akan mengutuk manusia yang telah menyelipkan mayat busuk itu di tokoku!” umpat
Janis penuh amarah.
“Aku
merasa beruntung karena status kamu adalah tahanan bebas. Setidaknya kamu masih
bisa nemenin aku setelah kedua orangtua kita meninggal. Di dunia ini, aku cuma punya
kamu dan kamu cuma punya aku.” Ungkap Cindy tanpa senyum, tentu itu membuat
Janis merasa Cindy tengah berpura-pura merasa beruntung dengan keadaan ini.
Janis
mengambil tasnya dan segera pergi dari ruang penuh pertanyaan di kantor polisi
itu. Ia merasa begitu jengkel dengan keadaan ini.
Janis
masuk ke dalam mobil Cindy yang diparkir di seberang jalan di depan kantor
polisi, entah apa yang membuat Cindy begitu bodoh dengan memarkirkan mobilnya
di sana tanpa takut meninggalkan mobil itu meski mobil itu tidak terkunci.
Janis
duduk di samping jok kemudi dan pandangannya nanar ke depan.
Cindy
masuk ke dalam mobilnya tanpa ingin menghidupkan mobilnya terlebih dahulu
karena melihat mimic wajah Janis masih tak tenang.
“Kamu
tau, aku juga bersumpah bila nanti aku tau siapa yang menaruh mayat sialan itu
di tokoku, aku akan segera menghabisinya tanpa ampun!” Umpat Janis
bersungguh-sungguh.
“Sudahlah,
jangan terus mengumpat, berdo’a aja semoga pelakunya segera tertangkap.” Cindy
mencoba menenangkan situasi yang tegang itu.
Cindy
menstarter mobil matic-nya sesuai dengan perintah Janis kemudian berjalan pelan
melintasi jalanan yang sudah gelap. Langit di atas sana mendung. Awan hitam
menutupi langit yang tak kalah hitam sehingga dunia seakan mati.
Mobil
Cindy melewati taman kota, hanya di sanalah yang terlihat benar-benar ada
kehidupan. Taman yang dipenuhi dengan penerangan dan dipenuhi muda-mudi yang lebih
tepatnya wanita-wanita pemuas nafsu bersama pasangannya. Ada pula pasangan
kekasih yang entah lupa waktu atau mungkin terlalu buta oleh cinta sehingga tak
berniat pulang dan malah menghabiskan malamnya di sana meski cuaca sedemikian
dinginnya.
Berjarak
±100 meter dari taman kota, mobil bewarna merah cerah itu berbelok masuk ke
dalam gapura bertuliskan ‘Perumahan Elitte I’ dan tibalah mereka pada
perhentiannya.
Janis
keluar dari mobil dengan terburu-buru langsung meninggalkan Cindy tanpa ingin
sekedar berbasa-basi lagi. Langkahnya dibuka lebar seakan ingin segera lenyap
dari hadapan Cindy. Seorang pembantu yang belum tidur karena menunggu
kepulangan majikannya segera membuka lebar pintu utama dengan kepala yang
menunduk.
Janis
berhenti tepat di depan Fiet dan menelanjangi tubuh tambun itu dengan ekor
matanya. Tak lama, masih dalam hitunggan detik, Janis meninggalkan Fiet untuk
segera menghamburkan amarah di kamarnya.
Pintu
dihujam keras dengan suatu benda lunak. Suara teriakan kesal terdengar dari
kamar Janis dan hal itu sudah sangat familiar di telinga Cindy ketika Janis
tengah bermasalah dengan apapun, kapanpun, siapapun, tetapi tidak dimanapun. Ia
hanya melakukannya disini, di rumah Cindy.
Kemudian
masih seperti biasa, Janis menerawang ke atas. Pikirannya kembali pada masa
lalunya yang sangat ia benci.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar