Selasa, 20 Maret 2012

Store of Corpse - Part I


Manekin-manekin utuh dipajang berjajar di depan toko bercat ungu terang dengan les hitam sangat menarik perhatian. Manekin itu terawat dengan rapi seakan tak ada debu di sana. Mereka dibuat sedemikian mirip dengan peragawan dan pramuniaga toko. Jumlah manekin di toko itu selalu bertambah setiap bulannya karena nyaris setiap bulan toko itu melahirkan model-model busana terbaru.

Tidak ada yang menyangka bila ternyata sebuah mayat laki-laki telah lama mematung di toko milik Janis. Mayat yang dipikir manekin itu mengenakan kemeja biru dengan motif tengkorak di bagian dadanya, juga memakai topi yang sebagian menutupi wajahnya sehingga tiada yang mengira bahwa patung yang berdiri dengan posisi agak membungkuk layaknya pramuniaga yang tengah mempersilahkan para tamu masuk itu adalah sebuah mayat! Mayat itu masih tetap utuh dan tidak mengeluarkan bebauan sama sekali. Kulitnya juga masih sangat kencang, seakan tubuh kaku itu baru saja menjadi mayat.

Pada jari telunjuk tangan kanan mayat itu sudah tergantung sebuah tanda pengenal yang sepertinya memang milik mayat tersebut ketika ia masih hidup. Photo yang tertempel pada mayat itu sama seperti wajah sang mayat. Polisi tengah menyelidiki kasus ini meski tanpa petunjuk sama sekali. Tak ada satu sidik jari pun yang dapat mereka temukan pada tubuh mayat itu. Juga pada kartu tanda pengenal yang ternyata telah di ubah alamat dan nomor serinya sehingga sangat sulit untuk dilacak.

Berjarak beberapa senti dari patung itu telah dilingkari oleh kertas kuning bertuliskan ‘police line’ yang berarti melarang siapapun untuk mengganggu wilayah itu karena sedang dalam kasus. Tak hanya itu, toko milik Janis pun ikut diberi tanda itu dan tentu saja itu semua membuat Janis tidak bisa mengoperasikan lagi tokonya.

Setelah tokonya di segel dan mayat dibawa oleh polisi, ternyata Janis juga harus ikut bersama polisi-polisi itu untuk dimintai keterangan. Tentu saja Janis tidak dapat menolak surat penggilan itu. Bahkan Janis menjadi tersangka atas kasus itu.

“Aku akan mengutuk manusia yang telah menyelipkan mayat busuk itu di tokoku!” umpat Janis penuh amarah.

“Aku merasa beruntung karena status kamu adalah tahanan bebas. Setidaknya kamu masih bisa nemenin aku setelah kedua orangtua kita meninggal. Di dunia ini, aku cuma punya kamu dan kamu cuma punya aku.” Ungkap Cindy tanpa senyum, tentu itu membuat Janis merasa Cindy tengah berpura-pura merasa beruntung dengan keadaan ini.

Janis mengambil tasnya dan segera pergi dari ruang penuh pertanyaan di kantor polisi itu. Ia merasa begitu jengkel dengan keadaan ini.

Janis masuk ke dalam mobil Cindy yang diparkir di seberang jalan di depan kantor polisi, entah apa yang membuat Cindy begitu bodoh dengan memarkirkan mobilnya di sana tanpa takut meninggalkan mobil itu meski mobil itu tidak terkunci.

Janis duduk di samping jok kemudi dan pandangannya nanar ke depan.

Cindy masuk ke dalam mobilnya tanpa ingin menghidupkan mobilnya terlebih dahulu karena melihat mimic wajah Janis masih tak tenang.

“Kamu tau, aku juga bersumpah bila nanti aku tau siapa yang menaruh mayat sialan itu di tokoku, aku akan segera menghabisinya tanpa ampun!” Umpat Janis bersungguh-sungguh.

“Sudahlah, jangan terus mengumpat, berdo’a aja semoga pelakunya segera tertangkap.” Cindy mencoba menenangkan situasi yang tegang itu.

Cindy menstarter mobil matic-nya sesuai dengan perintah Janis kemudian berjalan pelan melintasi jalanan yang sudah gelap. Langit di atas sana mendung. Awan hitam menutupi langit yang tak kalah hitam sehingga dunia seakan mati.

Mobil Cindy melewati taman kota, hanya di sanalah yang terlihat benar-benar ada kehidupan. Taman yang dipenuhi dengan penerangan dan dipenuhi muda-mudi yang lebih tepatnya wanita-wanita pemuas nafsu bersama pasangannya. Ada pula pasangan kekasih yang entah lupa waktu atau mungkin terlalu buta oleh cinta sehingga tak berniat pulang dan malah menghabiskan malamnya di sana meski cuaca sedemikian dinginnya.

Berjarak ±100 meter dari taman kota, mobil bewarna merah cerah itu berbelok masuk ke dalam gapura bertuliskan ‘Perumahan Elitte I’ dan tibalah mereka pada perhentiannya.

Janis keluar dari mobil dengan terburu-buru langsung meninggalkan Cindy tanpa ingin sekedar berbasa-basi lagi. Langkahnya dibuka lebar seakan ingin segera lenyap dari hadapan Cindy. Seorang pembantu yang belum tidur karena menunggu kepulangan majikannya segera membuka lebar pintu utama dengan kepala yang menunduk.

Janis berhenti tepat di depan Fiet dan menelanjangi tubuh tambun itu dengan ekor matanya. Tak lama, masih dalam hitunggan detik, Janis meninggalkan Fiet untuk segera menghamburkan amarah di kamarnya.

Pintu dihujam keras dengan suatu benda lunak. Suara teriakan kesal terdengar dari kamar Janis dan hal itu sudah sangat familiar di telinga Cindy ketika Janis tengah bermasalah dengan apapun, kapanpun, siapapun, tetapi tidak dimanapun. Ia hanya melakukannya disini, di rumah Cindy.

Kemudian masih seperti biasa, Janis menerawang ke atas. Pikirannya kembali pada masa lalunya yang sangat ia benci.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar