Semua
orang dapat melihat betapa kontrasnya rumah Dinda yang berdiri megah dan mewah
sedangkan rumah Dido yang beratapkan terpal dan berdindingkan rajutan bamboo
tipis yang kala hujan rumah itu seakan tak beratap dan berbilik, hanya
beralaskan tanah yang basah akibat hujan.
Dido,
ia adalah seorang yang teramat kekurangan dalam berbagai hal. Ia seorang
laki-laki yang tidak bisa berjalan karena kakinya lumpuh, demikian pula matanya
yang tidak bisa melihat. Ia hanya mampu mendengar dan berbicara. Ia juga tidak
memiliki kursi roda untuk mengganti kakinya agar ia bisa membantu ibunya
mencari uang atau mungkin untuk saat ini ia akan menggunakan kursi roda itu
untuk mencari uang untuk biaya pengobatan ibunya yang sudah tiga hari ini
terbaring di atas tempat tidur, hanya ada sebuah papan beroda yang mirip dengan
papan skateboard yang dapat ia gunakan untuk berjalan menyusuri rumahnya karena
sangatlah sulit ia berjalan dengan papan roda itu di jalanan yang berbatu
seperti jalan di sekitar rumahnya.
Dodi,
di depan rumahnya, ia hanya dapat menangis. Ingin sekali ia berjalan untuk
mencari recehan dari orang-orang kaya yang tinggal di sekitar tempat tinggalnya
seperti, Dinda namun ia tak mampu meski ia berusaha.
Dari
balkon rumahnya, Dinda melihat Dodi yang tengah menangis dengan sendu. Tak ada
ekspresi khusus yang ditunjukannya namun pikirannya menuju ke suatu titik.
Dinda
turun dari balkon kemudian mengambil payung lalu berjalan dan sengaja melewati
rumah Dodi. Dodi berteriak memanggil-manggil dinda dengan beberapa sebutan.
Dinda berhenti dan memperkenalkan namanya. Setelah Dinda mendengar curhatan
Dodi, ia merasa akan mendapatkan keuntungan atas kejadian ini. Dengan keadaan
Dodi yang tidak mampu berbuat apa-apa, pasti Dodi akan menerima permintaan
Dinda.
“Aku
akan membawa ibumu ke rumah sakit asalkan kamu mau menukarnya dengan jantungmu.
Aku punya penyakit jantung yang sudah akut dan harus segera dioperasi.
Bagaimana?” Tanya Dinda kala itu.
Dodi
yang sudah tidak dapat berpikir lagi akhirnya mengiyakan permintaan Dinda. Tak
lama setelah percakapan itu Dinda pulang untuk mengambil mobilnya lalu
menjemput Dodi untuk dibawa ke Rumah Sakit agar dapat menandatangani surat
persetujuan transplantasi jantung.
Dodi
menurut. Ia ikut dengan Dinda.
Sepulangnya
dari Rumah Sakit, seperti apa yang dijanjikan oleh Dinda, Dodi langsung
menjumpai ibunya yang ternyata telah tak bernyawa lagi. Dodi
menggoyang-goyangkan tubuh ibunya, namun tak ada reaksi apapun dari sang ibu.
Ia juga mencari hidung ibunya agar dapat merasakan napas di sana namun sayang,
Tuhan benar-benar telah mengambil ibunya. Kembali ia menangis sejadi-jadinya.
Dinda yang melihat kejadian itu masih diam tak menunjukan reaksi apa-apa.
Dodi
mendekati Dinda, ia memohon kepada Dinda agar dapat membantunya mengurus
pemakaman ibunya.
“Boleh,
tapi kita lakukan transplantasi jantung terlebih dahulu. Aku tidak bisa percaya
sepenuhnya padamu.” Ujar Dinda dengan angkuh.
Dodi
tidak tau harus melakukan apa. Bila ia melakukan transplantasi jantung tentulah
itu akan membuat acara penguburan ibunya tertunda beberapa hari atau bahkan
beberapa minggu dan belum tentu pada saat itu Dodi masih hidup.
“Setidaknya
tutuplah tubuh ibu saya dengan kafan, Mbak.”
“Kamu
beli kafan itu dengan jantung kamu, sekarang atau tidak selamanya!” tegas
Dinda.
Akhirnya
Dodi menuruti permintaan Dinda dan membiarkan ibunya tetap di atas tempat
tidurnya tanpa ada selembar kain penutup di sana.
***
Operasi
telah dilakukan dan tidak berjalan lancar. Dodi dan Dinda meninggal pada waktu
yang bersamaan.
Ibu..
ia masih tetap dalam gubuk kecilnya. Mayat itu menati untuk segera dikuburkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar