Rabu, 07 Maret 2012

Jantung untuk Kafan


Semua orang dapat melihat betapa kontrasnya rumah Dinda yang berdiri megah dan mewah sedangkan rumah Dido yang beratapkan terpal dan berdindingkan rajutan bamboo tipis yang kala hujan rumah itu seakan tak beratap dan berbilik, hanya beralaskan tanah yang basah akibat hujan.
Dido, ia adalah seorang yang teramat kekurangan dalam berbagai hal. Ia seorang laki-laki yang tidak bisa berjalan karena kakinya lumpuh, demikian pula matanya yang tidak bisa melihat. Ia hanya mampu mendengar dan berbicara. Ia juga tidak memiliki kursi roda untuk mengganti kakinya agar ia bisa membantu ibunya mencari uang atau mungkin untuk saat ini ia akan menggunakan kursi roda itu untuk mencari uang untuk biaya pengobatan ibunya yang sudah tiga hari ini terbaring di atas tempat tidur, hanya ada sebuah papan beroda yang mirip dengan papan skateboard yang dapat ia gunakan untuk berjalan menyusuri rumahnya karena sangatlah sulit ia berjalan dengan papan roda itu di jalanan yang berbatu seperti jalan di sekitar rumahnya.
Dodi, di depan rumahnya, ia hanya dapat menangis. Ingin sekali ia berjalan untuk mencari recehan dari orang-orang kaya yang tinggal di sekitar tempat tinggalnya seperti, Dinda namun ia tak mampu meski ia berusaha.
Dari balkon rumahnya, Dinda melihat Dodi yang tengah menangis dengan sendu. Tak ada ekspresi khusus yang ditunjukannya namun pikirannya menuju ke suatu titik.
Dinda turun dari balkon kemudian mengambil payung lalu berjalan dan sengaja melewati rumah Dodi. Dodi berteriak memanggil-manggil dinda dengan beberapa sebutan. Dinda berhenti dan memperkenalkan namanya. Setelah Dinda mendengar curhatan Dodi, ia merasa akan mendapatkan keuntungan atas kejadian ini. Dengan keadaan Dodi yang tidak mampu berbuat apa-apa, pasti Dodi akan menerima permintaan Dinda.
“Aku akan membawa ibumu ke rumah sakit asalkan kamu mau menukarnya dengan jantungmu. Aku punya penyakit jantung yang sudah akut dan harus segera dioperasi. Bagaimana?” Tanya Dinda kala itu.
Dodi yang sudah tidak dapat berpikir lagi akhirnya mengiyakan permintaan Dinda. Tak lama setelah percakapan itu Dinda pulang untuk mengambil mobilnya lalu menjemput Dodi untuk dibawa ke Rumah Sakit agar dapat menandatangani surat persetujuan transplantasi jantung.
Dodi menurut. Ia ikut dengan Dinda.
Sepulangnya dari Rumah Sakit, seperti apa yang dijanjikan oleh Dinda, Dodi langsung menjumpai ibunya yang ternyata telah tak bernyawa lagi. Dodi menggoyang-goyangkan tubuh ibunya, namun tak ada reaksi apapun dari sang ibu. Ia juga mencari hidung ibunya agar dapat merasakan napas di sana namun sayang, Tuhan benar-benar telah mengambil ibunya. Kembali ia menangis sejadi-jadinya. Dinda yang melihat kejadian itu masih diam tak menunjukan reaksi apa-apa.
Dodi mendekati Dinda, ia memohon kepada Dinda agar dapat membantunya mengurus pemakaman ibunya.
“Boleh, tapi kita lakukan transplantasi jantung terlebih dahulu. Aku tidak bisa percaya sepenuhnya padamu.” Ujar Dinda dengan angkuh.
Dodi tidak tau harus melakukan apa. Bila ia melakukan transplantasi jantung tentulah itu akan membuat acara penguburan ibunya tertunda beberapa hari atau bahkan beberapa minggu dan belum tentu pada saat itu Dodi masih hidup.
“Setidaknya tutuplah tubuh ibu saya dengan kafan, Mbak.”
“Kamu beli kafan itu dengan jantung kamu, sekarang atau tidak selamanya!” tegas Dinda.
Akhirnya Dodi menuruti permintaan Dinda dan membiarkan ibunya tetap di atas tempat tidurnya tanpa ada selembar kain penutup di sana.
***
Operasi telah dilakukan dan tidak berjalan lancar. Dodi dan Dinda meninggal pada waktu yang bersamaan.
Ibu.. ia masih tetap dalam gubuk kecilnya. Mayat itu menati untuk segera dikuburkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar