Berbagi cerita, curhatan hati dengan niat akan dapat menghasilkan sesuatu yang baru yang jauh lebih bagus daripada sebelumnya... curhatan yang terbingkai dalam puisi, narasi dan deskripsi... dengan uraian kata-kata yang sengaja terukir indah dan diikuti oleh kiasan-kiasan cinta dalam setiap kata-katanya... salam cinta, Itnayivon Ikzir
Senin, 20 Februari 2012
Kehidupan Jiwa
Hidup adalah drama dunia
Yang dipenuhi laci-laci penuh rahasia
Ada cinta juga benci
Ada amarah, ada pula bahagia
Hidup ini seperti drama
Tak ada yang tau siapa yang tengah menjadi wayang
Siapa yang menjadi dalang
Semua seakan tengah berlakon
Hidup ini penuh sandiwara
Ada air mata buaya
Ada senyum yang menusuk
Dan semuanya buta untuk melihat
Dan kita..
Adalah jiwa yang tersakiti
Jiwa yang menyakiti
Jiwa yang berperan…
Siklus Dunia
Bundar
Bulat
Lingkaran..
Tak berpenghujung
Masing-masing sisi terus mengitari
Terkadang lelah bila terus tertekan di bawah
Terkadang kedinginan di sisi kanan
Atau merasa gerah di sisi kiri
Dan kadang sisi atas tergelincir jatuh ke bawah
Terus berjalan
Berputar
Bulat
Lingkaran..
Tak berpenghujung
Masing-masing sisi terus mengitari
Terkadang lelah bila terus tertekan di bawah
Terkadang kedinginan di sisi kanan
Atau merasa gerah di sisi kiri
Dan kadang sisi atas tergelincir jatuh ke bawah
Terus berjalan
Berputar
Mengitari
Mencari ujung untuk bertepi
Adakah?
Mencari ujung untuk bertepi
Adakah?
Ocehan Rakyat
Mereka lupa
Mungkin sengaja
Hanya berpura-pura
Seperti tidak tau apa-apa
Rakyat menangis
Mengalami nasib tragis
Hati teriris
Gambaran yang tak layak dilukis
Mereka senang
Merasa menang
Atas kehidupan rakyat yang tak tenang
Dan air mata yang berlinang
Mama, Lihat Aku!
Di
depan jendela kamarnya, Citra melamun sedih. Ia menatap purnama dengan
kegalauan. Hari ini tak ada segaris senyuman pun yang tergambar di wajahnya.
"Ehem..."
suara yang berdehem itu adalah milik Papanya Citra.
Citra
menoleh ke belakang sekedar menyapa Papanya dengan tatapan sedih.
"Kamu
marah sama Papa?"
"Kecewa
aja. Papa gak bisa tepati janji."
"Hmmm...
Papa minta maaf. Mungkin belum waktunya, Ta.."
"Belum
waktunya? Terus kapan dong waktunya? Sampe kapan Citra harus nunggu?"
"Citra,
dewasalah!"
"Yang
harus dewasa itu Mama, Pa! Mau sampe kapan Mama nganggap Citra ini gak ada?
Sampe Citra mati?" Citra meninggikan suaranya.
Citra
merasa begitu kecewa dengan sikap kedua orangtuanya, dengan sikap Mamanya yang
demikian tidak pernah menganggap akan kehadiran Citra di dunia dan sikap
Papanya yang tidak pernah berusaha tegas untuk memaksa Mama menerima kenyataan.
"Sebenarnya
apa sih, Pa, yang buat mama ga pernah nganggap Citra ada? Kesalahan apa yang
udah Citra buat?" Tanya Citra penasaran dengan nada tinggi.
"Pelankan
suara kamu, Citra! Sudah berkali-kali Papa bilang, sabar, sabar, sabar! Suatu
saat nanti semuanya pasti akan terungkap dan kamu bakal tau semua, tapi bukan
sekarang."
"Selalu
gitu. Pa, Citra udah besar, Pa. Hari ini Citra udah berhasil nginjak umur 17
tahun, dan selama itu Citra ga pernah ngerasain kasih sayang dari Mama,
dan..." Citra tidak menyambung kalimatnya ketika mendengar suara dari
balik tubuh Papanya.
"Heh!"
suara yang besar dan penuh rasa benci itu keluar dari mulut Mama. Dengan
tatapan sinis ia menampar wajah manis Citra yang juga sudah diselimuti emosi.
"Anak gak tau diuntung! Harusnya kamu bersyukur karena kamu ga mati! Masih
berani kamu bentak suamiku?" katanya dengan mata melotot dan berkacak
pinggang.
"Mama.."
"Jangan
panggil aku dengan sebutan itu! Najis! Dasar anak Haram!"
"Tasya!
Jaga ucapan kamu!" ujar Papa ikut emosi.
"Kamu
liat? Sekarang suamiku ini berani membentak aku. Ini semua gara-gara kamu.
Dasar anak haram! Pergi kau dari sini!"
"Tasya,
Citra ini anak kita."
"Anak
kita? Enak saja! Mas, untuk apa Mas terlalu perduli sama dia? Bapaknya aja ga
pernah mau tau tentangnya."
"Tasya,
aku menikahi kamu demi menyelamatkan harga diri kamu dan agar Citra tetap
mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtuanya. Kalau Roy ga mau
bertanggung, bukankah sudah ada aku yang menggantikan?!"
"Walau
bagaimanapun, aku dan Roy gak pernah mengharapkan keberadaan anak haram ini,
Mas.."
"Citra
bukan anak haram! Tapi kalianlah yang melakukan perbuatan yang haram!"
Papa semakin geram dan tentu saja bahasanya mulai tidak terkontrol.
Mendengar
perdebatan yang seru itu Citra mulai mengerti mengapa Mama sangat membencinya,
bahkan tidak pernah melihatnya. Citra adalah anak hasil hubungan di luar
pernikahan dan laki-laki yang menghamili Mama Citra tidak melakukan pertanggung
jawaban apapun sehingga Papa yang juga sahabat Mama tidak tega melihat
kesulitan yang dihadapi oleh mama mengambil alih tanggung jawab Papa.
Citra
berlari menghambur keluar kamar dan mengambil kunci motor yang digantung pada
gantungan kunci di gudang rumahnya.
Dari
dalam rumahnya terdengar Papa terus memanggilnya dengan nada gusar, ia tau akan
sangat berbahaya bila seseorang mengemudi dalam keadaan stres. Apalagi sekarang
ini sudah malam.
Setibanya
Papa di garasi, ia menyadari keterlambatannya. Citra sudah lebih dulu pergi
melaju kencang dengan motornya.
Setengah
jam kemudian telepon rumah Citra berdering, dengan sigap Papa menyambar gagang
teleponnya karena memang Papa tengah menunggu Citra mengubunginya.
"Halo?"
"Halo,
benar ini kediaman Bapak Rafi?"
"Iya,
benar. Ini dengan siapa?"
Betapa
kagetnya Papa mendengar kabar dari ujung telepon sana, apa yang ia khawatirkan
kini menjadi kenyataan. Ia segera berlari hendak masuk ke dalam mobilnya, hingga
tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat Mama membawa koper berjalan menuju
dirinya.
Papa
tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya saja pandangannya cukup membuat Mama
bisa mengerti ada pertanyaan 'Mau kemana kamu?' di sana.
"Aku
mau pergi. Aku udah gak tahan dengan semua ini. Malam ini juga kita
bercerai."
"Tasya,
sekarang Citra kritis di rumah sakit. Ada baiknya permasalahan ini kita akhiri
dulu. Ayo, masuklah!" Papa mencoba untuk tenang.
"Untuk
apa ke sana? Lebih baik aku gali kuburan."
"Tasya!
Kamu.."
"Mas
pergi aja, anak haram itu pasti mati. Aku nunggu kamu pulang dengan mayatnya di
sini." ujar Mama menyeringai tidak perduli dengan anaknya kemudian
berbalik masuk ke dalam rumahnya.
Papa
tak lagi membuang waktunya untuk Mama. Ia segera meluncur ke rumah sakit. Di
sana ia terus berdoa sambil menangis.
Perasaan
Papa mulai tenang ketika dokter mempersilahkan Papa masuk ke ruang UGD dangan
wajah penuh kepasrahan.
"Citra..
kamu baik-baik aja kan?!" tanya Papa yang tidak yakin bahwa Citra akan
baik-baik saja setelah kecelakaan hebat yang baru saja dialami putri angkatnya.
Dilihatnya
tubuh Citra yang dipenuhi darah dan penuh luka sobekan sangat membuatnya tidak
tenang.
"Pa..
pa,... Ma.. ma.... man.. na?" suara Citra berbisik pelan dan tertahan.
Tentu saja saat itu Citra tengah menahan rasa sakit.
"Mama...
Mama... Mama ada di luar kok, Sayang.." jawab Papa gugup mencoba
berbohong.
Citra
menggeleng pelan. Ia tau bahwa Papanya tengah berbohong.
"Te..
le.. pon... Mam... ma......"
Tak
berpikir panjang, Papa langsung menghubungi Mama dengan telepon genggamnya. Ia
tau bahwa Citra tengah sekarat, mungkin nyawanya tidak akan tertolong lagi, itu
semua terpikir dalam benak Papa ketika melihat reaksi dokter.
Papa
mengaktifkan loudspeker hanphone-nya agar Citra tak perlu bersusah-susah
menanyakan apa yang dibicarakan oleh Mamanya.
Namun,
belum sempat lagi Papa mengeluarkan suara, Citra menghentikan reaksi mulut
papa.
"Ssst..."
bisik Citra sambil menutup bibirnya yang pecah akibat benturan dengan jari
telunjuknya yang sobek.
Dari
seberang telepon sana Mama terus memanggil Papa.
"Ka..
sih... i.. bu... ke.. pada.... be... ta... tak.. terhingga.. se.. panjang..
masa........"
Belum
selesai Citra menyanyikan bait lagunya, ia mengalami kejang-kejang. Darah terus
keuar dari mulutnya.
Papa
begitu takut, ia berlari ke luar UGD untuk memanggil dokter.
Sedangkan
mama terus berteriak-teriak memanggil suami dan anaknya. Kali ini ia
benar-benar khawatir.
Mama
segera mencari nama Citra di rumah sakit terdekat dan langsung menemukan
suaminya yang tengah menangis di depan ruang UGD.
"Papa,
mana Citra?" tanya Mama sambil menangis begitu bertemu dengan Papa di
rumah sakit. Ada perasaan sakit yang begitu mendalam di dadanya.
Papa
menggeleng sambil menangis.
Mama
menyimpulkan arti gelengan Papa bahwa Citra telah meninggal dunia. MAma tidak
percaya dengan hal itu. Ia berlarri masuk ke ruang UGD. Di sana putrinya tengah
di mandikan oleh para perawat.
Mama
menangis sejadi-jadinya. Ia merasa sangat menyesal dengan apa yang telah
terjadi. Putri satu-satunya yang belum pernah ia tetesi dengan sentuhan kasih
sayang kini telah pergi meninggalkannya.
I HateYou
'Pletak!'
Terdengar suara sepatu
hak tinggi milik Sashi menghujam keras di dinding kamarnya. Sashi kembali
teringat kejadian di pesta kecil-kecilan yang diadakan oleh Roni tadi.
***
"Malam ini gue
bakal umumin sama teman-teman sekalian siapa cewek yang akhirnya bisa
menggelitik hati gue," ujar Roni di tenggah kerumunan
teman-temannya."Pesta malam ini adalah pesta khusus untuk gue dan do'i.
Dan malam ini gue bakal ngelamar dia di hadapan kalian semua," ujarnya
lagi di sambut tepuk tangan yang meriah dari kerabatnya.
Roni melambaikan
tangannya pada Divin, sahabat Sashi. Divin mendekat. Sekarang semua mata
tertuju pada dua insan tersebut. Hati Sashi mulai panas, ia terbakar api
cemburu. Sashi melangkah cepat ingin segera meninggalkan pesta itu. Dari sudut
matanya keluar air bening penuh kesedihan.
'Bruk!'
Sashi terjatuh. Gaun
yang dipakainya terinjak oleh kakinya sendiri yang kurang seimbang memakai
sepatu hak tinggi. Serentak semua mata tertuju padanya dan semua tertawa
terkekeh melihat pertunjukan itu.
Sashi malu. Wajahnya
memerah nyaris menyaingi gaun pestanya. Ia segera bangkit seperti Cinderella,
gaun pestanya diangkat setinggi lutut dan berusaha berjalan meskipun rasa nyeri
di lututnya membuat Sashi melangkah setengah pincang.
***
Kini air mata itu
kembali mengalir dari sudut matanya yang terpejam.
"Sepatu
sialan!" Caci Sashi dari atas tempat tidurnya.
Sejenak ia memandang
sepatu yang baru saja lemparnya lalu melirik sisi bawah gaunnya.
"Robek.."
Mulutnya manyun mengasihani dirinya sendiri.
Ring
tone Gwen Stephani di hp-nya membuat Shasi bangkit dari
duduknya.
"Ah!
Aduuuuuhhh.." Sashi meringis kesakitan ketika ia baru saja ingin
melangkahkan kakinya.
Sashi yang manja
mengurungkan niatnya untuk menggambil hp-nya.
"Palingan juga itu
telepon dari Divin." Katanya setengah menggerutu.
Suara Gwen Stephani
dari hp-nya kini sudah berhenti.
"Tapi dimana
hp-ku???" Sashi mengitari pandangannya tapi tidak menemukan hp-nya. Ia
menggerogoh tas pesta di sampingnya, juga tidak ada.
Meski Sashi mengaduh
kesakitan tapi hasrat untuk mencari hp-nya jauh lebih besar.
HP itu kembali
berbunyi.
Sashi mengobrak-abrik
meja komputernya. Tapi tidak ada hp-nya di sana. Di lemarinya. Juga tidak ada.
Meja rias. Bahkan rasanya tak ada tempat yang luput dari gerakan stresnya itu.
Hp itu terus berdering.
Sekarang Shasi mencari di atas tempat tidurnya. Bantal, guling, boneka, sprai
dan bed cover yang tadinya tertata
rapi di tempat tidur kini berserakan di lantai. Dan jelas sekarang kamar itu
persis seperti baru saja terkenang bom atom yang meledak.
'Tonet..' suara hp
Shasi menandakan bahwa keadaannya sudah mulai drop. Hp itu akan segera padam
karena kehabisan batrai.
"Ya Tuhan..Hp-ku
di mana? Jangan biarin tuh hp mati sebelum aku ketemuin dong!" Sashi yang
panik berbicara sendiri sambil terus mengacak-acak kamarnya.
Sashi mulai stres.
Terlalu banyak yang ia pikirkan. Roni, Divin, hp, dan sekarang kamarnya.
"Kalo mama ngeliat
ini kamar pasti Mama bakal pingsan," ujar Sashi setengah merengek sambil
mengusap ingusnya dengan seprai yang tengah di dudukinya.
Tak lama kemudian hp
itu kembali berdering seakan mengejek Sashi yang merasa sudah setengah mati
mencarinya.
"Suaranya ada di
dekat sini, tapi di mana?" tanyanya lagi pada saksi bisu di kamarnya
dengan intonasi yang masih sama dengan yang tadi.
'BRAAAKK!!!'
Pinggul Sashi yang
seksi menabrak sesuatu yang tak lain adalah radio super canggih dan baru dua
hari yang lalu di belikan oleh Mamanya karena Sashi sangat menginginkannya dan
tensu saja itu semua ia dapatkan setelah ia berhasil menangis hingga membanjiri
rumahnya.
Radio yang tadinya di
lengkapi dengan dua speaker di kanan dan kirinya kini terbagi menjadi tiga
bagian.
"Sashi! Suara apa
itu?" terdengar teriakan Bu Nessa, Mamanya Sashi dari lantai dasar.
Sashi bertambah panik.
Sebisa mungkin ia mengembalikan radio itu ke bentuknya yang semula.
Suara langkah Bu Nessa
menaiki anak tangga semakin dekat. Tangan Sashipun berusaha semakin cepat
menyatukan dua speaker yang
tergeletak di lantai ke badan radio.
"Semoga gak
ketahuan." bisik Sashi pada radio yang sudah kembali di letakkan di atas
meja.
Pintu terbuka lebar.
Wajah Bu Nessa muncul dari sana.
"SASHI, APA-APAAN
INI???" Bu Nessa terperangah kaget ketika melihat kamar putri bungsunya. Seketika
itu wajahnya langsung memerah akibat menahan amarah.
Sashi diam dan berusaha
menyengir untuk menurunkan emosi Mamanya.
"Kamu ini sudah
gila ya?" tiba-tiba Betsy, kakaknya berkata nyolot sambil bertopang
pinggang di belakang Bu Nessa.
"Anu, Mbak..
HP-ku... Ilang... Eh.. Anu..."
"Ilang gimana? Barusan
Mbak denger suara HP kamu." Kening Betsy mengerenyit seolah dua alisnya
telah menyatu.
"Justru itu,
mestinya ada. Dari tadi aku nyariin asal suaranya tapi sampe sekarang belum
ketemu juga,"
"Lha gimana mau
ketemu. Liat aja ini kamar kamu kayak kapal pecah gini," Betsy terus
menyemprot adiknya dengan kata-kata tanpa ampun.
'BRAAAKKK!'
Lagi-lagi radio mewah
itu terjatuh. Kali ini bukan karena senggolan Sashi akan tetapi karena posisi
radio itu kurang seimbang.
"Eh..."
'BRUK!'
Bu Nessa jatuh pingsan
sebelum sempat berkata apa-apa lagi.
"Mama!!!"
spontan kedua putrinya berteriak dan menghampiri Bu Nessa.
"Minggir
kamu!" sergah Betsy menepis tangan Sashi yang hendak merengkuh Mamanya.
Wajah Sashi merasa
begitu bersalah. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
"Mbak Betsy, Non
Sashi, ibu kenapa, Mbak?" Anya, pembantu mereka yang baik hati, seumuran
dengan Sashi dan sama sekali tidak terlihat seperti pembantu itu datang dengan
wajah panik.
Tanpa menunggu
perintah, Anya langsung membantu Betsy menggotong tubuh Bu Nessa yang langsing
karena pintar menjaga badan. Anya merawat Bu Nessa layaknya merawat ibu
kandungnya sendiri, mungkin itu adalah caranya untuk membalas kebaikan Bu Nessa
yang juga majikannya sejak tiga tahun silam. Ketika ia datang ke rumah ini
dengan lingangan air mata dan memohon dengan sangat untuk di beri pekerjaan,
meskipun harus menjadi pembantu di usia remajanya.
Kamar Sashi kembali
sunyi. Yang tersisa hanyalah rasa sesal di dalam hati Sashi. Wajahnya masih
menunduk di depan pintu dengan kaki yang terlipat ke belakang.
Ia berdiri kemudian
melangkah gontai menuju tempat tidurnya. Sashi merebahkan badannya yang telah
terlalu lelah menghadapi cobaan hari ini. Dari sudut matanya yang sembab
kembali meneteskan air mata. Air mata itu mengalir melewati celah telinganya
yang tertempel di tempat tidurnya.
'Tonet..'
Kembali terdengar suara
HP yang akan padam. Suara HP itu terdengar jelas di telinga Sashi.
"Jangan-jangan..."
Sashi melompat dari tempat tidurnya dan langsung menyenter kolong tempat tidur
dengan matanya. Ya! Sebuah cahaya petak terlihat dari sana. Itu adalah HP milik
Sashi.
"Arh, kenapa ga
bilang dari tadi. Kalo aku tau dari tadi mungkin kejadiannya ga kaya'
gini!!!" Sashi mengomel pada HP-nya yang baru saja di raih.
Sashi langsung membuka
tiolet yang tadi ikut di acak-acakinya untuk mengambil chas HP yang tergulung
rapi.
Charge..
17
miss calls.
Lihat. 13 dari Divin
dan 4 laginya adalah panggilan dari Roni.
Mulut Sashi mengerucut.
Lagi-lagi ia terbayang kejadian di pesta tadi.
"Tega-teganya
Divin motong langgahku. Tiga tahun ngegebet Roni, eh... Tau-taunya sahabat
sendiri yang makan.Ugh, kesel!" kata Sashi menangis tersedu menatap layar
HP.
Dering Moonlight Sonata
dari HP Sashi menandakan ada SMS yang masuk.
'1
message from Divin'
-Shi, keluar donk. Gw
di depan pintu nih!-
"Ng?" Sashi
melirik jam di dindingnya yang bercat ungu muda. "Masih jam 9 kok udah
pada bubar ya?" gumamnya.
Reply.
-Langsung masuk aja. Gw
di kamar-
Send...
Sashi menyeka air
matanya dengan sprei yang dari tadi di gunakan untuk mengelap air mata dan
ingusnya. Dandanannya sudah berartakan, begitu pula dengan rambut yang tadi di
beri pengeras kini sudah acak-acakan seperti rambut singa jantan.
"Sashi??? Lo gak
papa?" dari depan pintu kamar Sashi, Divin berlari langsung memeluk
sahabatnya yang terlihat seperti orang gila tak terawat yang biasa mereka temui
di jalanan. "Lo kenapa sih, Shi? Liat deh dandanan lo udah ancur
gini..." ujarnya mengangkat wajah sembab Sashi dengan tangan menempel di
pipi chuby kanan dan kiri sahabatnya
itu.
Sashi masih tak
berkutik sampai sebuah suara mengejutkannya."Dia ga papa?"
Mata Sashi tertarik
untuk melihat ke arah asal suara itu.
Roni! Ya, suara cool
itu adalah milik Roni. 'Kok dia bisa ada di sini?' pikir Sashi heran.
"Ga tau. Sashi, lo
ga kenapa-kenapa 'kan?" Divin meyakinkan hatinya. "Sashi, please deh..Kalo ada apa-apa tuh cerita.
Trus tadi kenapa coba lo lari tergesa-gesa gitu dari pesta? Pake acara jatuh
pulaaa.. Lo ga ingin dengar ya siapa orang yang berhasil bikin Roni ngelupain
cinta pertamanya yang ga jelas itu? Lo.."
"Gue udah
tau!" jawab Sashi pasti memotong ocehan Divin.
Roni mengerutkan
dahinya.
"Trus, kenapa lo
pergi?" Divin bingung.
"Ga papa. Gue ...
Cuma aja gue ..."
"Ya.. Kamu kenapa,
Shi?" tanya Roni penasaran menunggu jawaban super lamban dari Sashi.
Sashi berdiri dari
duduknya.Ia mendekatkan dirip ada Roni yang menatap mata Saship seakan ingin
tau apa yang tengah di rasakan oleh temannya itu.
"Aku tau semuanya,
Ron." ujar Sashi dengan lembut.
"Tau? Tau
apa?"
Sashi mengambil tangan
Divin lalu menyatukannya dengan tangan Roni.
Roni mengangkat alisnya
menandakan bahwa ia bingung.
"Apa-apaan sih
kamu, Shi. Jangan aneh deh!" Divin cemberut tak senang dengan perlakuan
Sashi.
"Aku ikhlas
kok." Sashi tersenyum polos kepada Divin, sahabatnya dan Roni, lelaki yang
ia cintai.
Spontan Divin menjitak
kepala Sashi, "Ga nyangka deh, ternyata ada manusia yang geblek banget
kaya' kamu. Ngeselin!"
"Kenapa?"
"Kenapa..
Kenapa..Kamu tuh jangan kepinteran ngambil kesimpulan deh. Kamu pikir cewek
yang udah bikin Roni tergila-gila itu aku 'kan?! Mustahil tau, ga?"
"Lha..Terus?
Bukannya waktu di pesta tadi..."
"Hei, tadi aku
manggil Divin karena dia adalah sahabat dari orang yang aku maksud. Orang yang
ingin aku kenalin ke semua orang." Roni yang bersungguh-sungguh membuat
Sashi terperangah kaget beserta senang yang begitu membuncah di dadanya.
"Jadi..."
"Jadi pikiran
bodoh kamu itu salah besar tau!" sambung Divin mengetuk-ngetuk dahi Sashi.
Tak dapat menahan rasa
bahagiannya, Sashi langsung mendekap erat tubuh Roni yang sudah merentangkan
tangannya pertanda ia siap untuk dipeluk. Pelukan itu diiringi dengan tepuk
tangan Divin yang turut bahagia.
"Permisiii.."
suara Anya mengagetkan tiga orang yang ada di ruangan kecil yang tak rapi itu.
Pelukan mesra Roni dan
Sashi pun terlepas.
"Anya! Kalo mau
masuk tuh ketuk pintu dulu donk! Serasa rumah sendiri ya?" kata-kata ketus
keluar lancar dari mulut Sashi membuat Roni tertarik melihat sang pembantu
bersuara lembut itu.
Seketika itu pula wajah
Roni terlihat begitu tegang. Matanya seakan membundar sempurna.
"Ibe?" kata
Roni mengucapkan sesuatu yang aneh.
Apa itu?
"Bebe?" jawab
Anya yang merasa dipanggil sambil meletakkan minuman yang dibawanya tadi di
atas meja komputer milik Sashi.
Seperti kesetanan, Roni
berlari menuju Anya dan kemudian memeluknya begitu erat. Jauh lebih erat dan
mesra daripada pelukannya kepada Sashi tadi. Sesekali Roni mengecup dahi Anya
dengan penuh perasaan cinta.
"Ibe, kamu kemana
aja? Aku.." Roni menangis haru sambil terus mendekap Anya tanpa bisa
meneruskan kata-katanya, begitu juga Anya. Ia hanya menangis tersedu. Air
matanya membasahi kemeja Roni.
"Anya!"
bentak Sashi yang cemburu sambil melepaskan pelukan Anya dan Roni.
Anya hanya diam menunduk
tapi terus menangis.
"Roni, tolong
jelasin apa maksud semua ini?" tanya Sashi penuh amarah.
Roni mendekat sambil
menggandeng lengan Anya yang terlihat enggan mengikuti langkah Roni.
"Aku minta
maaf.." Roni memperlihatkan genggaman tangannya pada tangan Anya kepada
Sashi untuk menjelaskan apa yang terjadi.
"Jadi dia yang
selama ini bikin kamu nutup hati kamu? Bukannya tadi kamu bilang.."
Belum sempat lagi
berkata apa-apa, Roni memotong kata-kata Sashi. "Maaf.. Tadinya aku kira
aku bisa, tapi maaf.."
Roni
menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian kembali menunduk pasrah.
'Plak!'
Sebuah tamparan
mendarat di pipi Roni.
Roni tersenyum.
"Tampar aku lagi
kalau itu bisa buat kamu senang dan jauh lebih tenang. Maki aku! Caci! Tapi
maaf, aku terlalu cinta sama Anya. Dia adalah cewek yang slama ini bikin aku
gila, bahkan aku ga nyangka dia bisa jadi pembantu kamu, Shi, entah gimana
ceritanya dia bisa kayak gini tapi..ah!"
Sunyi.Ruangan itu
menjadi begitu sunyi. Hanya napas-napas kosong yang berbicara.
"Fine,
it's over! Semua udah jelas. Tinggalin aku sendiri di
sini!" lirih suara Sashi mengantar pandangan padanya.
"Non..."
"Ssstt! Pergilah,
aku gapapa kok. Aku cuma butuh waktu buat tenangin diri,"
Tak ingin mempersulit
pikiran Sashi yang tengah dilanda rasa sedih, Divin mengajak Roni dan Anya
keluar dari kamar.
Mereka mengikuti.
Kembali lagi, Sashi
menangis sejadi-jadinya. Tak ingin lagi ia mengenal cinta, yang ia tau adalah
cinta itu begitu menyakitkan. Tidak akan ada yang lebih
menyakitkan daripada itu.
Jumat, 17 Februari 2012
Iblis Betina
Tak mampu kau selipkan kebusukanmu
Yang mampu mencemarkan nama baikmu
Wanita dengan dengki berdiri angkuh
Dengan sayap iblis yang mengembang
Ia terbang mengapai kehancuran
Wanita berselimut putih dibalik dinding
suci
Ia tak dapat menyembunyikan api
amarahnya yang berkobar
Membakar hati yang terjebak dalam permainannya
Wanita yang mengumbar aibnya
Ia masih berdiri angkuh
Meski malaikat jibril di sampingnya
Wahai iblis betina yang menjelma menjadi
wanita
Jatuhkanlah pedang-pedang permusuhan
Hentikanlah kegaduhan yang kau cipta!
Kecamuk Hati
Terlalu banyak tangisan disini
Mungkin karena luka
Dan akuk sudah biasa melihat air mata
Hingga hatiku kelu untuk kembali merasakan duka
Aku bingung pada mereka
Menangisi sesuatu yang telah pergi
Yang direnggut oleh saudaranya sendiri
Sayang, saudara mereka tak perduli dengan ir mata itu
Akibat perbuatannya
Istri menjadi janda
Anak menjadi yatim
Suami menjadi duda
Ah, tega!
Mereka yang merenggut nyawa sok menjadi Tuhan!
Mereka yang membunuh adalah manusia yang sombong!
Yang tak berhati
Wahai saudaraku
Sudahkanlah air mata itu
Tuhan akan memberikan yang terbaik
Cukup panjatkan saja do’a pada-Nya…
Dua Sisi Susi
http://nessakartika.blogspot.com/2011/06/buku-dua-sisi-susi.html
[BUKU] DUA SISI SUSI
Posted by Nessa MetaKartika at 7:49 PM
Duta Pariwisata Perwakilan Aceh Besar
http://www.acehkita.com/berita/inilah-calon-duta-pariwisata-aceh/
Inilah Calon Duta Pariwisata Aceh
OLEH: HUSAINI - 05/10/2011 - 08:23 WIB
BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Sejak Senin (3/10) sore, sebanyak 42 calon Duta Pariwisata Aceh 2011 mulai dikarantina di Hotel Grand Aceh, Banda Aceh. Ke-42 calon tersebut merupakan gabungan dari 21 pasangan Agam-Inong perwakilan kabupaten/kota di Aceh.
Berikut nama-nama 21 pasangan Agam-Inong dari masing-masing kabupaten/kota yang sedang mengikuti serangkaian proses seleksi untuk menjadi Duta Pariwisata Aceh 2011:
1. Sabang: M Iqbal Rizki Ananda dan Sukma Nurhikmah
2. Banda Aceh: Ichwan dan Shella Natasya
3. Aceh Besar: Zulfikar dan Rizky Noviyanti
4. Pidie: Muhyuddin M Nur dan Jasmi
5. Pidie Jaya: Alfajar dan Aminah Ilyyin
6 Bireuen: Dais dan Ria Zulzannah
7. Lhokseumawe: Musrafi dan Tasya Meisheilla Aditya
8. Aceh Utara: Herry Agam Prakoso dan Nur Huriyah
9. Aceh Tengah: Mukhlis Muhdan Bintang dan Dewi Sumita B
10. Bener Meriah: Juanto dan Ismi Niara Bina
11. Langsa: M Ridha Ahyat dan Syarifah Farah Reviana
12. Aceh Tamiang: Teuku Vika Azhar dan Citra Al Humaira
13. Aceh Timur: Teuku Ighfar dan Ayu Aidilla Putri
14. Gayo Lues: Tannyron Putra D dan Dessy Wahyuni
15. Aceh Barat: Reza Prasetya Putra dan Melivia Herliani
16. Simeulue: Pandu Satria dan Nurul Hildayanti
17. Aceh Barat Daya: Heryanto Marzuki dan hardianti Anhar
18. Aceh Selatan: Raiyan Fairozi dan Oktafani
19. Aceh Singkil: Rajoki dan Irmayati Manik
20. Nagan Raya: Oka Mahendra dan Rovia Fadilla
21. Subulussalam: M Prana Astaman dan Ayu Agnetha
Dari ke-42 calon tersebut, menurut informasi yang diperoleh acehkita.com dari Mirjawal sebagai salah seorang panitia dari Event Organizer Dimensi Entertainment, akan dipilih satu Agam dan Inong sebagai pasangan Duta Pariwisata Aceh 2011.
“Di sini yang dinilai secara personal masing-masing, bukan atas nama pasangan Agam-Inong satu daerah. Bisa jadi Agamnya terpilih dari kabupaten ini, dan Inongnya terpilih dari kabupaten lain,” ujar dia.
Kegiatan di karantina akan berakhir hingga malam penobatan pada malam ini (Rabu, 5/10) yang akan digelar di Taman Budaya. Duta Pariwisata Aceh 2011 yang terpilih nantinya berhak mewakili Provinsi Aceh ke pemilihan duta pariwisata tingkat nasional. []
Cerita Si Miskin
Beratapkan
daun rumbia, berbilik bambo dan beralas tanah merah basah, seorang gadis kecil
duduk meringkuk kedinginan karena di luar sana hujan turun dengan derasnya. Atap
rumbia tah mampu membendung air hujan yang tak henti-hentinya menghujam gubuk
kecil itu. Tetesan air merembes membasahi tubuh kecil Dinda, itulah nama gadis
kecil itu. Tubuhnya bergetar. Wajahnya pucat. Perutnya kosong kelaparan menanti
ibunya yang sudah dua hari ini tidak kunjung pulang. Biasanya si Ibu selalu
membawa pulang sedikit makanan, setidaknya ia dapat memakan sebuah ubi dengan
potongan kecil yang dicuri ibunya dari pasar.
“Kamu
kira mencuri itu gampang, hah? Kalau ibu ketauan mencuri, ibu bisa dipukuli
habis-habisan makanya ibu hanya bisa mengambil ubi yang paling kecil agar tidak
ketauan.” Ujar ibunya emosi ketika Dinda bertanya mengapa hanya membawa
sepotong ubi kecil untuknya sedangkan perutnya sudah sangat kelaparan.
Dinda
jadi terpikir akan perkataan ibunya waktu itu. “…Kalau ibu ketauan mencuri, ibu
bisa dipukuli habis-habisan…”
“Ibu…”
gumamnya mendongkakkan kepala.
Dinda
langsung berpikir ada hal yang buruk yang terjadi pada ibunya karena sudah dua
hari ini tak kunjung pulang. Meski tubuh kecil itu kedinginan, Dinda memaksakan
dirinya untuk mencari ibunya di luar sana.
Pertama-tama
Dinda berjalan menuju sebuah kebun ubi, tempat di mana dulu ibunya ketahuan
mencuri dan dipukuli oleh orang-orang sekampung.
“Ibu
kamu? Mana saya tau? Kalaupun saya melihat ibu kamu itu tentu saya akan segera
memukulinya lagi. Atau jangan-jangan kamu ke sini juga untuk mencuri seperti
ibumu ya?” Tanya pemilik kebun itu dengan kasarnya.
Dinda
berusaha menjelaskan namun usahanya hanyalah sia-sia.
Dinda
kembali berjalan menyusuri jalan setapak menuju kota, mencari pasar langganan
tempat ibunya beraksi.
“Pak,
liat ibu saya gak?” Tanya Dinda dengan lugunya.
“Ah,
pura-pura nanya ibu padahal kamu kesini mau mencuri ya? Sana pergi! Atau kamu
mau saya teriakin maling ya?” pria hitam bertubuh tambun itu mengusir Dinda
juga dengan kasarnya, sama seperti pemilik kebun ubi tadi.
Dinda
menangis. Bukan hanya karena ia dihina dan kehilangan ibunya, namun ia juga
merasakan sakit erut yang teramat sangat.
Dinda
terus menyusuri jalanan dipasar itu tanpa beralaskan sandal dan tanpa diatapi
payung meski hujan belum berhenti namun langkahnya tak goyah.
Tiba-tiba
sebuah tangan menyentuh bahu Dinda. Tubuh Dinda berbalik.
“Ibu?”
katanya lirih. Bibirnya bergetar.
Dilihat
ibunya yang kini sangat mempesona. Tubuhnya dibalut oleh jas hujan dan
kepalanya dipayungi oleh payung bening yang cantik. Tangan ibunya memegang tas
kecil berwarna merah, seragam dengan gaun yang dikenakannya.
Dinda
begitu senang melihat ibunya kini telah ada di depan matanya sebelum ibunya
berbisik panjang.
“Nak,
ambillah tas ibu lalu kamu lari dengan cepat. Nanti ibu akan meneriakimu copet,
orang-orang akan mengejarmu lalu membawamu kesuatu tempat untuk diintrogasi.
Nanti kamu bilang kalau kamu hidup sebatang kara. Mereka akan mengasihanimu dan
akan mengangkatmu sebagai anak. Lihat ibu, ibu juga mengalami hal yang sama,
Nak. Kamu jangan takut. Ibu akan menolongmu bila terjadi apa-apa.” Bisik ibunya
begitu yakin di telinga anaknya.
Dinda
menggelengkan kepalanya namun ibunya memaksa.
Setelah
berpikir, Dinda mengikuti ajaran ibunya. Ia berlari namun tidak dapat berlari
kencang karena perutnya yang sakit. Justru langkahnya tertatih, sedangkan
ibunya telah meneriaki Dinda dengan sebutan ‘copet’.
Sekerumunan
orang-orang mengejar Dinda. Dinda ketakutan. Ia berlari sambil terus melihat
kebelakang sehingga ia tidak dapat berkonsentrasi. Tanpa sadar Dinda telah
masuk ke jalan raya dan ia berlari menyebrangi jalan itu namun sebuah truk
melintas dengan kecepatan tinggi menabrak tubuh mungil Dinda.
Waktu
seakan terhenti. Dari kepala Dinda mengalir darah segar yang langsung
dibersihkan oleh hujan. Tubuhnya menggelepar dengan tangan yang masih memegang
erat dompet ibunya.
Mata
ibunya terbuka lebar. Mulutnya menganga tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya tau
apa yang telah ia ajarkan pada putinya adalah suatu kesalahan terbesar yang
pernah ia lakukan.
Nasi
sudah menjadi bubur. Semua hanya dapat menjadi pelajaran.
Langganan:
Postingan (Atom)