Cuaca
mendung, angin bertiup kencang, televisi menyiarkan kabar berita yang
memperkirakan akan adanya badai dan hujan besar dan menyarankan kepada warga
agar tetap berada di rumah atau bagi yang sedang berada di jalanan agar
menghindari jalan yang rawan longsor dan menjalankan kendaraannya dengan kecepatan
minimum ketika hujan nanti untuk keselamatan bersama.
Janis
yang sedang mendengar berita itu menunggu kabar dari orangtuanya yang baru
beberapa menit yang lalu mengabarinya bahwa akan segera pulang dari acara
kemping kantornya.
Orangtuanya
yang juga turut mengundang orangtua Cindy dalam acara itu semakin membuat Janis
tidak tenang, karena bila memang terjadi apa-apa pada mereka tentulah Janis
tidak memiliki siapa-siapa lagi kecuali Cindy.
Sudah
tiga jam berlalu, tak ada kabar apapun dari orangtuanya selain kabar
keberangkatan dan kabar tentang cuaca yang sangat buruk disana yang sudah lebih
dulu dilanda hujan lebat dan angin kencang daripada cuaca di sekitar rumahnya.
Beberapa pohon di sana telah tumbang, itulah yang mengusir orangtuanya untuk
segera pergi dari sana.
Sebuah
pohon besar tumbang dan menutupi satu-satunya jalan pulang dan membuat mereka
terpaksa menunggu hingga datangnya pertolongan. Masing-masing orangtua itu
telah menghubungi bantuan dan memintanya agar segera dating tanpa ingin member
tau putrinya karena takut bila hal itu akan membuat putrinya menjadi susah
karena situasi mereka yang saat ini memang sangatlah mengkhawatirkan.
Seperti tengah dilanda gempa, mobil yang
sedang ditumpangi oleh keluarga Janis bergoyang kencang. Semua penumpang mobil
itu menjerit histeris tanpa mereka tau bahwa dalam hitungan detik mobil itu akan
terperosok jatuh ke dalam jurang yang curam tepat di samping badan jalan.
“Ini
kenapa, Pa?” Mamanya Janis panik luar biasa.
“Mungkin
gempa, atau…” belum sempat lagi Papa Janis menyelesaikan perkataaannya, mobil
mereka berhasil terperosok jatuh hingga ke dasar jurang terjal dan di dasarnya
ditemukan sungai yang penuh dengan bebatuan.
“Aaarght!”
teriak mereka yang terombang-ambing dari dalam mobilnya dengan histeris.
Janis
semakin gelisah, ia menghubungi Cindy yang ternyata juga merasakan kegelisahan
yang sama dengan sepupunya itu.
“Mami
juga ga bisa dihubungi, aku takut terjadi apa-apa sama mereka. Cuaca di luar
sangat buruk, Nis.” Ujar Cindy di ujung telepon sana.
“Aku
juga mikirin hal yang sama, Ndy. Aku ke rumah kamu ya? Aku takut sendirian di
rumah.”
“Tapi
cuacanya gak ngedukung, Janis. Aku gak mau kamu kenapa-napa. Bisa aja kan angin
kencang gini bikin pohon tumbang atau angin puting beliung. Kamu di rumah aja
ya. Segera telepon aku kalau ada apa-apa, oke?!”
“Iya.
Thanks, Cindy. Bye..”
Dua
hari berlalu, orangtua Janis dan Cindy masih belum bisa dihubungi dan itu
memaksa kedua gadis remaja itu melaporkan laporan kehilangan pada pihak yang
berwajib. Hari-hari mereka diisi dengan tangisan sendu. Cindy yang sangat
ketakutan terus menyalahkan Janis atas kejadian ini. Ia juga menyalahkan kedua
orangtua Janis yang mengajak orangtuanya untuk ikut bersama dengan orangtua
Janis.
Di
rumah Janis, di dekat perapian, Cindy mengamuk. Ia membuat rumah Janis
berantakan. Nyaris semua barang di ruangan itu ia buang ke dekat perapian dan
bahkan ada pula yang memang sudah masuk ke perapian sehingga membuat api
menjalar dan berhasil sudah dalam sekejap saja umah itu dilalap api.
Janis
menangis sejadi-jadinya tanpa menghiraukan Cindy yang kini berganti posisi
dengan Janis yang beberapa waktu yang lalu merasa bersalah. Cindy tak ragu
untuk berlutut dan terus meminta maaf pada Janis. Namun Janis masih saja merasa
begitu kesal pada Cindy yang mengakibatkan rumahnya terbakar.
Tak
berhenti berusaha, Cindy terus mencoba dan membujuk Janis untuk tinggal bersama
di rumahnya meski niatnya itu tidak setulus seperti apa yang terlihat. Cindy
lebih mencondongkan niatnya menolong Janis agar Janis tak mengusut kusus itu
kepada polisi. Dan tak sia-sia, atas bujukannya Janis memang akhirnya menerima
tawaran itu.
Dalam
hari-hari penuh ketidaktenangan, Janis dan Cindy begitu akrab. Mereka saling
menenangkan satu sama lainnya. Kini mereka memang benar-benar tinggal berdua
setelah seorang polisi mengabarkan kematian orangtuanya.
“Nona
Cindy Murders?” Tanya seorang polisi berpakaian bebas di depan pintu rumah
Cindy.
“Iya,
saya. Bapak mau mengabari tentang keberadaan orang tua saya?” Tanya Cindy
terburu-buru tanpa mempersilakan polisi yang seperti intel itu masuk ke dalam
rumahnya.
Di
belakang Cindy, Janis datang dengan terburu-buru. “Kabar Mama?” Tanyanya
memalingkan wajahnya pada Cindy lalu beralih kepada polisi yang berbicara tadi.
“Maaf, Nona, kami membawakan kabar buruk.
Menurut hasil indentifikasi kami, orang yang berada dalam mobil yang keluarga
anda tumpangi sudah tewas. Mobil
yang ditumpanginya hangus terbakar dan di sana tidak kami temukan apa-apa
selain bangkai mobil yang sudah tidak berbentuk lagi.”
Serentak
kedua gadis itu menangis histeris.
Mereka sama-sama menyesali dengan apa yang telah terjadi.
Polisi
berkulit putih itu tak ingin membuang waktunya untuk melihat dua saudara itu
menangis. Ia segera melanjutkan tugasnya. Ia menawarkan tawaran yang tentu
tidak akan ditolak oleh kedua gadis itu.
Mereka
mengikuti polisi yang menjanjikan ingin memperlihatkan sisa-sia kebakaran mobil
di jurang tempo hari yang diduga kuat bahwa itu adalah keluarga mereka.
Setelah
semuanya terbukti, Janis dan Cindy menerima kenyataan itu dengan pahit. Untuk
beberapa saat mereka saling berdiam diri tak menyapa bahkan tak saling
menenangkan seperti hari-hari sebelumnya, dalam hati Cindy, ia tetap saja
menyalahkan orangtua Janis atas kejadian ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar