Selasa, 20 Maret 2012

Store of Corpse - Part II


Cuaca mendung, angin bertiup kencang, televisi menyiarkan kabar berita yang memperkirakan akan adanya badai dan hujan besar dan menyarankan kepada warga agar tetap berada di rumah atau bagi yang sedang berada di jalanan agar menghindari jalan yang rawan longsor dan menjalankan kendaraannya dengan kecepatan minimum ketika hujan nanti untuk keselamatan bersama.

Janis yang sedang mendengar berita itu menunggu kabar dari orangtuanya yang baru beberapa menit yang lalu mengabarinya bahwa akan segera pulang dari acara kemping kantornya.

Orangtuanya yang juga turut mengundang orangtua Cindy dalam acara itu semakin membuat Janis tidak tenang, karena bila memang terjadi apa-apa pada mereka tentulah Janis tidak memiliki siapa-siapa lagi kecuali Cindy.

Sudah tiga jam berlalu, tak ada kabar apapun dari orangtuanya selain kabar keberangkatan dan kabar tentang cuaca yang sangat buruk disana yang sudah lebih dulu dilanda hujan lebat dan angin kencang daripada cuaca di sekitar rumahnya. Beberapa pohon di sana telah tumbang, itulah yang mengusir orangtuanya untuk segera pergi dari sana.

Sebuah pohon besar tumbang dan menutupi satu-satunya jalan pulang dan membuat mereka terpaksa menunggu hingga datangnya pertolongan. Masing-masing orangtua itu telah menghubungi bantuan dan memintanya agar segera dating tanpa ingin member tau putrinya karena takut bila hal itu akan membuat putrinya menjadi susah karena situasi mereka yang saat ini memang sangatlah mengkhawatirkan.
 Seperti tengah dilanda gempa, mobil yang sedang ditumpangi oleh keluarga Janis bergoyang kencang. Semua penumpang mobil itu menjerit histeris tanpa mereka tau bahwa dalam hitungan detik mobil itu akan terperosok jatuh ke dalam jurang yang curam tepat di samping badan jalan.

“Ini kenapa, Pa?” Mamanya Janis panik luar biasa.

“Mungkin gempa, atau…” belum sempat lagi Papa Janis menyelesaikan perkataaannya, mobil mereka berhasil terperosok jatuh hingga ke dasar jurang terjal dan di dasarnya ditemukan sungai yang penuh dengan bebatuan.

“Aaarght!” teriak mereka yang terombang-ambing dari dalam mobilnya dengan histeris.

Janis semakin gelisah, ia menghubungi Cindy yang ternyata juga merasakan kegelisahan yang sama dengan sepupunya itu.

“Mami juga ga bisa dihubungi, aku takut terjadi apa-apa sama mereka. Cuaca di luar sangat buruk, Nis.” Ujar Cindy di ujung telepon sana.

“Aku juga mikirin hal yang sama, Ndy. Aku ke rumah kamu ya? Aku takut sendirian di rumah.”

“Tapi cuacanya gak ngedukung, Janis. Aku gak mau kamu kenapa-napa. Bisa aja kan angin kencang gini bikin pohon tumbang atau angin puting beliung. Kamu di rumah aja ya. Segera telepon aku kalau ada apa-apa, oke?!”

“Iya. Thanks, Cindy. Bye..”

Dua hari berlalu, orangtua Janis dan Cindy masih belum bisa dihubungi dan itu memaksa kedua gadis remaja itu melaporkan laporan kehilangan pada pihak yang berwajib. Hari-hari mereka diisi dengan tangisan sendu. Cindy yang sangat ketakutan terus menyalahkan Janis atas kejadian ini. Ia juga menyalahkan kedua orangtua Janis yang mengajak orangtuanya untuk ikut bersama dengan orangtua Janis.

Di rumah Janis, di dekat perapian, Cindy mengamuk. Ia membuat rumah Janis berantakan. Nyaris semua barang di ruangan itu ia buang ke dekat perapian dan bahkan ada pula yang memang sudah masuk ke perapian sehingga membuat api menjalar dan berhasil sudah dalam sekejap saja umah itu dilalap api.

Janis menangis sejadi-jadinya tanpa menghiraukan Cindy yang kini berganti posisi dengan Janis yang beberapa waktu yang lalu merasa bersalah. Cindy tak ragu untuk berlutut dan terus meminta maaf pada Janis. Namun Janis masih saja merasa begitu kesal pada Cindy yang mengakibatkan rumahnya terbakar.

Tak berhenti berusaha, Cindy terus mencoba dan membujuk Janis untuk tinggal bersama di rumahnya meski niatnya itu tidak setulus seperti apa yang terlihat. Cindy lebih mencondongkan niatnya menolong Janis agar Janis tak mengusut kusus itu kepada polisi. Dan tak sia-sia, atas bujukannya Janis memang akhirnya menerima tawaran itu.
Dalam hari-hari penuh ketidaktenangan, Janis dan Cindy begitu akrab. Mereka saling menenangkan satu sama lainnya. Kini mereka memang benar-benar tinggal berdua setelah seorang polisi mengabarkan kematian orangtuanya.

“Nona Cindy Murders?” Tanya seorang polisi berpakaian bebas di depan pintu rumah Cindy.

“Iya, saya. Bapak mau mengabari tentang keberadaan orang tua saya?” Tanya Cindy terburu-buru tanpa mempersilakan polisi yang seperti intel itu masuk ke dalam rumahnya.

Di belakang Cindy, Janis datang dengan terburu-buru. “Kabar Mama?” Tanyanya memalingkan wajahnya pada Cindy lalu beralih kepada polisi yang berbicara tadi.

Maaf, Nona, kami membawakan kabar buruk. Menurut hasil indentifikasi kami, orang yang berada dalam mobil yang keluarga anda tumpangi sudah tewas. Mobil yang ditumpanginya hangus terbakar dan di sana tidak kami temukan apa-apa selain bangkai mobil yang sudah tidak berbentuk lagi.”

Serentak kedua gadis itu menangis  histeris. Mereka sama-sama menyesali dengan apa yang telah terjadi.

Polisi berkulit putih itu tak ingin membuang waktunya untuk melihat dua saudara itu menangis. Ia segera melanjutkan tugasnya. Ia menawarkan tawaran yang tentu tidak akan ditolak oleh kedua gadis itu.
Mereka mengikuti polisi yang menjanjikan ingin memperlihatkan sisa-sia kebakaran mobil di jurang tempo hari yang diduga kuat bahwa itu adalah keluarga mereka.

Setelah semuanya terbukti, Janis dan Cindy menerima kenyataan itu dengan pahit. Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri tak menyapa bahkan tak saling menenangkan seperti hari-hari sebelumnya, dalam hati Cindy, ia tetap saja menyalahkan orangtua Janis atas kejadian ini.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar