Sejak
hari itu toko milik Janis ramai dengan wartawan dan pengunjung lainnya untuk
melihat-lihat keadaan yang ada. Sedangkan Janis sepertinya sangat tidak
menikmati hal itu. Omset pendapatannya juga menurun drastis. Ini seperti sebuah
olokan yang menjijikan buat Janis. Semua orang yang berkunjung tak lagi membeli
barang-barang yang dijualnya dengan berbagi macam alasan. Ada yang mengatakan
bahwa mereka takut akan memakai pakaian bekas mayat, ada pula yang takut bila
mereka akan mati dan dijadikan seperti menakin yang ternyata adalah mayat
seperti tempo hari. Itu benar-benar membuat Janis jengah.
“Aku
butuh hiburan. Bantu aku nyari orang yang ingin menyewa setengah dari toko
ini.” Ujar Janis lesu. Wajahnya memelas tak bersemangat. Tatapannya kosong
menerawang dari meja kasir.
“Aku
turut prihatin ya, Nis.. tapi apa kamu benar-benar mau nyewain setengah dari
toko ini? Coba kamu pikir-pikir lagi, mungkin ini hanya pikiran sesaat yang
terlintas karena kamu sedang galau.”
Janis
menggeleng. “Toko ini juga ga akan ngasih penghasilan lagi. Mungkin aku akan
mencari pekerjaan baru.” Katanya lagi dengan pasrah atas semua yang terjadi.
“Udah,
sabar aja. Nanti biar aku cari orang yang mau nyewa toko ini.” Ujar Cindy masih
setia pada Janis yang kini hidup semata wayang.
“Sebenernya
bukan itu masalahnya, Ndy. Ada hal lain yang lebih penting dari itu yang aku
pikirin. Tapi it’s ok, biarin gue
berpikir sendirian.” Janis beranjak dari duduknya dan meninggalkan Cindy yang
masih berdiri dengan tangan yang menopang di depan meja kasir.
Cindy
menghela napas panjang.
***
Ternyata
tak begitu membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan situasi yang
mencekam itu kembali seperti semula. Rumor tentang toko Janis tak lagi beredar
dan kini telah kembali dipenuhi pembeli. Janis kembali bersemangat dengan
situasi seperti ini. Di belakangnya, Cindy terus mendukung pergerakan toko
Janis.
Sesuai
usulan Cindy, toko Janis tak lagi dipenuhi oleh banyak menakin. Hanya beberapa
saja, dan Janis memilih untuk menggunakan tiga belas menakin untuk tokonya yang
kini sudah berubah warna dan berubah citra. Janis mengubah tokonya menjadi
terkesan lebih misteri. Dinding-dinding toko itu dibuat sedemikian menyeramkan
seperti rumah hantu, tapi justru itu yang membuat toko itu kembali diramaikan
oleh banyak mengunjung. Toko itu juga menjual benda-benda aneh dan unik seperti
baju yang didesign dengan animasi 3D sepenggal jari tak bertuan, tangan
puntung, atau organ-organ tubuh lainnya yang tidak sempurnya yang sebenarnya
lebih terlihat menjijikan daripada menarik. Tapi itu memang unik. Cindy memang
ahli dalam membuat design-design unik yang dapat menarik minat pengunjung.
“Aaargh!”
seorang remaja berteriak kemudian melompat-lompat sambil terus menangis
histeris ketakutan menarik perhatian setiap mata pengunjung.
Janis
melompat dari belakang meja kasirnya dan langsung mendekat remaja putrid itu.
“Ada
apa?”
Gadis
itu menangis kemudian memeluk Janis, erat.
“Ikut
aku.”
Janis
menarik tangan gadis itu dan membawanya ke lantai dua, tepatnya di ruang kerja
Janis.
“Katakan
padaku, ada apa?” Tanya Janis dengan nada sinis. “Kau tau tokoku ini pernah
bermasalah dengan adanya mayat yang menyerupai patung-patung bodoh itu ‘kan?!
Teriakanmu tadi itu bisa saja kembali menghancurkan karirku. Kau mengerti?”
Janis tak menurunkan suaranya. Ia tak perduli dengan wajah pucat dan suara
tangaisan histeris gadis di depannya yang bahkan tak mampu untuk duduk meski
Janis telah mendorongnya ke sofa.
“Katakan,
ada apa?” Janis mengguncang tubuh gadois itu. Ada kekhawatiran yang besar yang
membuat Janis tak tenang melihat sikap gadis di depannya yang tak juga membuka
suara.
“Argh…
aku takut… ta.. kut…”
Gadis
itu pingsan dan kemudian jatuh pada sofa di belakangnya.
Janis
panic dan semakin panic ketika mendapatkan sepotong jari tengah dan dikerumuni
oleh belatung di tangan gadis yang tengah pingsan itu.
Janis
menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia begitu terkejut. Ia melangkah
mundur, punggungnya menabrak pintu yang baru saja dibuka oleh seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar