Selasa, 20 Maret 2012

Store of Corpse - Part IV


Wajah Cindy muncul dari balik pintu dan menatap heran pada Janis.

“Apa yang terjadi?” tanyanya cemas.

Janis menarik Cindy masuk ke dalam ruangannya lalu langsung menutup pintu itu rapat-rapat seakan pintu itu renggang. Tak lupa Janis menguncinya.

“Ada apa?” Tanya Cindy lagi. Kali ini suara Cindy jelas menunjukan kekhawatirannya.

Janis meletakkan telunjuknya di depan bibirnya yang merah akibat lipstick yang di pakainya.

“Berjanjilah hanya kita yang tau.”

Cindy ragu menjawab ketika melihat seorang gadis terkapar di sofa yang terletak di sudut ruangan.

“Percaya padaku, ini tidak ada hubungannya dengan anak itu.” Janis berbisik pelan.

“Katakan, apa yang sebenarnya terjadi! Kau benar-benar membuat aku bingung, Janis.”

“Baiklah, tapi kau harus berjanji tidak akan membocorkan hal ini. Kumohon…”

“Ya, baiklah. Ada apa?”

Janis mengajak Cindy mendekati gadis yang masih pingsan itu dan di tangannya masih ada belatung yang menggeliat dengan ngeri dan menggelikan. Belatung-belatung itu sepertinya baru saja muncul dari dalam jari busuk yang entah siapa pemiliknya.

“Ya Tuhan, Janis. Apa yang sebenarnya terjadi? Jari siapa itu?”

“Entahlah, Cindy, aku juga bingung. Sekarang apaa yang harus aku lakukan untuk menutupi semua ini?”

Cindy menyoroti Janis dengan pandangan yang tak biasa. Ia benar-benar mencurigai Janis telah terlibat sesuatu sehingga mengakibatkan hal-hal seperti ini.

“Percayalah, Cindy, ini tidak seperti yang kamu kira. Aku sendiri juga tidak tau bagaimana ini semua bisa terjadi. Aku tidak ingin lagi dibawa ke kantor polisi dan diberi pertanyaan-pertanyaan aneh seperti waktu itu. Aku benar-benar tidak melakukan apapun, Cindy. Kumohon percayalah padaku.”

Wajah Janis pucat. Tangannya bergetar dan dingin meski AC di ruangannya tidak terhitung dalam derajad yang rendah.

Janis menangis.

Cindy mendekat. “Tenanglah, aku percaya paadamu. Aku akan segera membantumu. Kau tunggu di sini.”

Cindy meninggalkan ruangan itu dan tak sampai semenit, ia kembali.

“Bersihkanlah belatung-belatung beserta jari itu.”

Setelahnya Cindy pergi dengan tergesa-gesa. Ia menghidupkan mesin mobilnya namun sebelum itu ia berpesan pada pegawai di toko itu agar tak terlalu menghiraukan teriakan gadis tadi yang menurut mata-mata yang tadi mengawasi gadis itu berteriak tiba-tibba tanpa alasan.

Mobil Cindy melaju kencang. Tangan kirinya sibuk memencet tombol-tombol kecil blackberry-nya. Ia tengah berusaha mencari nama teman yang kira-kira dapat membantunya.

Blackberry itu ditempelkan di telinganya. Tak ada jawaban. Cindy semakin panic. Beberapa orang teman yang dihubunginya tidak menjawab teleponnya.

‘HUBUNGI AKU SEGERA, URGENT!!!’
Sending…

Cindy mengirimkan pesan itu kepada teman-temannya dan kini ia hanya harus menunggu mereka menghubunginya.

Mobil itu diparkirkan di depan sebuah apotek.

“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang apoteker pada Cindy.

Cindy mencondongkan kepalanya ke dekat sang apoteker.

“Ya, aku membutuhkan obat…” Cindy menyodorkan sejumlah uang yang jumlahnya besar, lalu melanjutkan kata-katanya, “untuk membuat seseorang amnesia.” Katanya lagi.

Apoteker muda itu tertawa geli. “Maaf, Nona, maksudmu kau ingin menyuapku dengan sejumlah uang ini? Hahaha… anda bergurau, Nona. Hahaha…”

Cindy menjadi salah tingkah dan malu karena seorang antrian dibelakangnya seperti ikut menertawai Cindy meski tampaknya ia tidak tau persis apa yang terjadi.

“Jangan tertawa. Aku hanya sedang galau. Lupakan saja.” Kata Cindy hendak berlalu pergi.

“Nona, aku bisa membantumu. Tunggulah sebentar.” Kata sang apoteker di balik meja kacanya.

Cindy menuruti permintaan si apoteker dan duduk di kursi besi di dekat pintu masuk, kursi yang sangat tidak pantas berada di ruangan ber-AC seperti ini.

Setelah ruangan itu hanya bersisakan dua anak manusia, -setelah berkenalan dengan Cindi- si apoteker yang ternyata bernama Romi  keluar dari balik meja kerjanya kemudian menghampiri Cindy.

“Katakan, apa yang membuatmu membutuhkan obat itu? Jujur.. aku sangat membutuhkan uang yang tadi kau sodorkan padaku.” Aku Romi dengan sebuah senyuman kecil di bibirnya pada Cindy.

Tak mungkin bila Cindy harus mengatakan yang sejujurnya pada Romi, itu akan sangat berbahaya. Cindy memikirkan hal-hal setidaknya masih pantas ia gunakan pada situasi seperti ini.

“Pacarku… tadi ia melihatku ketika aku berkencan dengan temannya. Aku sangat takut. Aku membutuhkan obat itu untuk mengelabuinya, kumohon, tolonglah…”

Lagi-lagi Romi tertawa. Kali ini tawanya lebih ke arah yang berbeda. Ia menertawai Cindy karena ia mengira kalau Cindy adalah orang yang sangat bodoh hingga Cindy bercerita tentang masalah pribadinya pada laki-laki itu, mungkin.

“Kau kira aku percaya pada ucapanmu, Nona?”

Deg!

Jantung Cindy berdetak tak karuan, ia takut Romi tak ingin bekerjasama dengannya dan malah akan menyerahkan Cindy pada polisi karena dianggap mencurigakan.
“Tenanglah… aku tau kau membutuhkan ini.” Romi menyelipkan sebungkus kecil plastic yang berisikan beberapa obat ke dalam tas Cindy yang sedari tadi ia pangku.

“Apa itu?” bisik Cindy di telinga Romi.

“Extacy.” Jawab Romi pula berbisik.

Cindy merasa dalam posisi yang agak aman meski sebenarnya Cindy jauh lebih was-was daripada sebelumnya. Bisa saja kalau sebenarnya Romi benar-benar bekerjasama dengan polisi.

“Kau bisa percaya padaku.” Romi meyakinkanku. “Aku membutuhkan imbalannya. Hahaha..” kata Romi lagi sambil ia melirik ke arah dalam tas Cindy, dan Cindy mengerti itu artinya Romi ingin agar Cindy segera membayarnya.

Sebuah bunyi ‘tut’ di blackberry milik Cindy memanggil untuk menyentuhnya. Ternyata ada pesan dari temannya yang bertanya untuk apa aku menghubunginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar