Wajah Cindy muncul dari
balik pintu dan menatap heran pada Janis.
“Apa yang terjadi?”
tanyanya cemas.
Janis menarik Cindy
masuk ke dalam ruangannya lalu langsung menutup pintu itu rapat-rapat seakan
pintu itu renggang. Tak lupa Janis menguncinya.
“Ada apa?” Tanya Cindy
lagi. Kali ini suara Cindy jelas menunjukan kekhawatirannya.
Janis meletakkan
telunjuknya di depan bibirnya yang merah akibat lipstick yang di pakainya.
“Berjanjilah hanya kita
yang tau.”
Cindy ragu menjawab
ketika melihat seorang gadis terkapar di sofa yang terletak di sudut ruangan.
“Percaya padaku, ini
tidak ada hubungannya dengan anak itu.” Janis berbisik pelan.
“Katakan, apa yang
sebenarnya terjadi! Kau benar-benar membuat aku bingung, Janis.”
“Baiklah, tapi kau
harus berjanji tidak akan membocorkan hal ini. Kumohon…”
“Ya, baiklah. Ada apa?”
Janis mengajak Cindy
mendekati gadis yang masih pingsan itu dan di tangannya masih ada belatung yang
menggeliat dengan ngeri dan menggelikan. Belatung-belatung itu sepertinya baru
saja muncul dari dalam jari busuk yang entah siapa pemiliknya.
“Ya Tuhan, Janis. Apa
yang sebenarnya terjadi? Jari siapa itu?”
“Entahlah, Cindy, aku
juga bingung. Sekarang apaa yang harus aku lakukan untuk menutupi semua ini?”
Cindy menyoroti Janis
dengan pandangan yang tak biasa. Ia benar-benar mencurigai Janis telah terlibat
sesuatu sehingga mengakibatkan hal-hal seperti ini.
“Percayalah, Cindy, ini
tidak seperti yang kamu kira. Aku sendiri juga tidak tau bagaimana ini semua
bisa terjadi. Aku tidak ingin lagi dibawa ke kantor polisi dan diberi
pertanyaan-pertanyaan aneh seperti waktu itu. Aku benar-benar tidak melakukan
apapun, Cindy. Kumohon percayalah padaku.”
Wajah Janis pucat.
Tangannya bergetar dan dingin meski AC di ruangannya tidak terhitung dalam
derajad yang rendah.
Janis menangis.
Cindy mendekat.
“Tenanglah, aku percaya paadamu. Aku akan segera membantumu. Kau tunggu di
sini.”
Cindy meninggalkan
ruangan itu dan tak sampai semenit, ia kembali.
“Bersihkanlah
belatung-belatung beserta jari itu.”
Setelahnya Cindy pergi
dengan tergesa-gesa. Ia menghidupkan mesin mobilnya namun sebelum itu ia
berpesan pada pegawai di toko itu agar tak terlalu menghiraukan teriakan gadis
tadi yang menurut mata-mata yang tadi mengawasi gadis itu berteriak tiba-tibba
tanpa alasan.
Mobil Cindy melaju
kencang. Tangan kirinya sibuk memencet tombol-tombol kecil blackberry-nya. Ia
tengah berusaha mencari nama teman yang kira-kira dapat membantunya.
Blackberry itu
ditempelkan di telinganya. Tak ada jawaban. Cindy semakin panic. Beberapa orang
teman yang dihubunginya tidak menjawab teleponnya.
‘HUBUNGI AKU SEGERA,
URGENT!!!’
Sending…
Cindy mengirimkan pesan
itu kepada teman-temannya dan kini ia hanya harus menunggu mereka
menghubunginya.
Mobil itu diparkirkan
di depan sebuah apotek.
“Ada yang bisa saya
bantu?” Tanya seorang apoteker pada Cindy.
Cindy mencondongkan
kepalanya ke dekat sang apoteker.
“Ya, aku membutuhkan
obat…” Cindy menyodorkan sejumlah uang yang jumlahnya besar, lalu melanjutkan
kata-katanya, “untuk membuat seseorang amnesia.” Katanya lagi.
Apoteker muda itu
tertawa geli. “Maaf, Nona, maksudmu kau ingin menyuapku dengan sejumlah uang
ini? Hahaha… anda bergurau, Nona. Hahaha…”
Cindy menjadi salah
tingkah dan malu karena seorang antrian dibelakangnya seperti ikut menertawai
Cindy meski tampaknya ia tidak tau persis apa yang terjadi.
“Jangan tertawa. Aku
hanya sedang galau. Lupakan saja.” Kata Cindy hendak berlalu pergi.
“Nona, aku bisa
membantumu. Tunggulah sebentar.” Kata sang apoteker di balik meja kacanya.
Cindy menuruti
permintaan si apoteker dan duduk di kursi besi di dekat pintu masuk, kursi yang
sangat tidak pantas berada di ruangan ber-AC seperti ini.
Setelah ruangan itu
hanya bersisakan dua anak manusia, -setelah berkenalan dengan Cindi- si
apoteker yang ternyata bernama Romi
keluar dari balik meja kerjanya kemudian menghampiri Cindy.
“Katakan, apa yang
membuatmu membutuhkan obat itu? Jujur.. aku sangat membutuhkan uang yang tadi
kau sodorkan padaku.” Aku Romi dengan sebuah senyuman kecil di bibirnya pada Cindy.
Tak mungkin bila Cindy
harus mengatakan yang sejujurnya pada Romi, itu akan sangat berbahaya. Cindy
memikirkan hal-hal setidaknya masih pantas ia gunakan pada situasi seperti ini.
“Pacarku… tadi ia
melihatku ketika aku berkencan dengan temannya. Aku sangat takut. Aku
membutuhkan obat itu untuk mengelabuinya, kumohon, tolonglah…”
Lagi-lagi Romi tertawa.
Kali ini tawanya lebih ke arah yang berbeda. Ia menertawai Cindy karena ia
mengira kalau Cindy adalah orang yang sangat bodoh hingga Cindy bercerita
tentang masalah pribadinya pada laki-laki itu, mungkin.
“Kau kira aku percaya
pada ucapanmu, Nona?”
Deg!
Jantung Cindy berdetak
tak karuan, ia takut Romi tak ingin bekerjasama dengannya dan malah akan
menyerahkan Cindy pada polisi karena dianggap mencurigakan.
“Tenanglah… aku tau kau
membutuhkan ini.” Romi menyelipkan sebungkus kecil plastic yang berisikan
beberapa obat ke dalam tas Cindy yang sedari tadi ia pangku.
“Apa itu?” bisik Cindy
di telinga Romi.
“Extacy.” Jawab Romi
pula berbisik.
Cindy merasa dalam
posisi yang agak aman meski sebenarnya Cindy jauh lebih was-was daripada
sebelumnya. Bisa saja kalau sebenarnya Romi benar-benar bekerjasama dengan
polisi.
“Kau bisa percaya
padaku.” Romi meyakinkanku. “Aku membutuhkan imbalannya. Hahaha..” kata Romi
lagi sambil ia melirik ke arah dalam tas Cindy, dan Cindy mengerti itu artinya
Romi ingin agar Cindy segera membayarnya.
Sebuah bunyi ‘tut’ di
blackberry milik Cindy memanggil untuk menyentuhnya. Ternyata ada pesan dari
temannya yang bertanya untuk apa aku menghubunginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar