Janis memasukkan
tangannya ke dalam sebuah kantong plastic dan kemudian mengikatnya erat.
Tangannya menjulur panjang mengambil sebuah jari yang tidak tergenggam dengan
kuat dari tangan seorang gadis yang sedaritadi masih belum menyadarkan diri.
Air mata mengalir dari
mata indah Janis karena sesungguhnya betapa ia pun geli dengan binatang kecil
hasil pembuahan lalat yang terbentuk menjadi lundi-lundi kecil berwarna kuning
atau putih, bahkan ada pula yang berwarna coklat, semuanya tergantung atas apa
yang dimakannya. Kali ini lundi-lundi kecil itu berwarna putih pucat, mungkin karena
kurangnya protein yang ia serap dari jari kecil itu.
Sambil terus menangis
Janis mengulurkan tangannya mengambil benda mungil itu dalu memasukannya ke
dalam sebuah kantong plastic yang sudah ia siapkan di tangan kirinya.
Lekas-lekas ia mencopot kantong plastic yang terikat di tangan kanannya yang
sudah disinggahi beberapa belatung yang menempel. Plastic itu juga ia selipkan
didalam kantong plastic satunya lagi yang sudah berisikan sepotong jari.
Berlalu, Janis mencari
sebuah benda berukuran kecil yang kira-kira ukurannya sama dengan sepotong jari
tadi untuk menyamarkan kejadian yang baru saja ia alami. Tak lupa, Janis juga
sembersihkan semua bukti-bukti yang kira-kira menjurus ke sana.
Di dalam laci meja
kerjanya, Janis menemukan sebuah plastisin berwarna kuninmg kecoklatan. Ia
merasa bersyukur karena ia tau bahwa benda lunak itu tentu bisa membantunya.
Gadis itu telah
sadarkan diri ketika Janis membauinya dengan minyak angin.
“Kamu baik-baik saja?”
Tanya Janis was-was.
Gadis itu bangkit
sambil memegang kepalanya lalu menjerit histeris. Tangannya melempar plastisin
itu jauh-jauh darinya
Janis hanya melihat
lambungan benda lunak itu.
“Hei, kamu kenapa?”
Tanya Janis lagi seolah ia tidah tau apa yang terjadi.
Gadis itu menangis.
“Apa kau juga akan membunuhkku?”
tanyanya sambil menangis tersedu.
“Aku? Membunuhmu?
Hahaha… kau gila.” Ujar Janis sambil mengacak rambut pirang gadis di depannya.
Gadis itu mendongkak.
Memelas.
“Kau kira aku ini
seorang pembunuh? Apa yang membuatmu berpikir demikian?”
“Jari itu…”
“Jari?”
“Ya, jari. Sepotong
jari yang baru saja aku buang tadi.”
Janis bangkit, berjalan
untuk mengambil ‘jari’ yang dimaksud oleh si gadis.
Di dekat ‘jari’ itu
Janis masih berjongkok. “Maksudmu ini?” Tanya Janis masih dalam posisi yang sama.
“Ini hanya sebuah
plastisin. Apakah benda ini benar.-benar menyerupai sebuah jari? Hmmm… maksudku
sepotong jari.” Janis melangkah, mendekat. Memberikan plastisin itu ke tangan
gadis yang kini di sampingnya.
Keningnya berkerut.
Matanya menyipit. Mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu namun lebih terlihat
seperti seorang yang terkejut.
“Tapi ini ga mungkin.
Tadi…”
“Tenanglah. Tunggu
sebentar, aku ambilkan minum untukmu.” Kata Janis setelah memotong kata-kata
gadis yang kini dilanda kebingungan.
Janis mengambil segelas
air di sudut lain ruangan yang berbentuk persegi itu. Ia memastikan pada
dirinya bahwa semua akan baik-baik saja hingga ia teringat sekantong plastic
berbelatung masih menunggunya di atas meja di depan sebuah sofa panjang nan
empuk yang sedang diduduki seorang gadis remaja.
Segera Janis berbalik
dengan terburu-buru.
“Maaf, ini bekas
pembalutku. Aku lupa membuangnya tadi.” Kata Janis menjelaskan tanpa didahului
sebuah pertanyaan dari seseorang di depannya.
Plastic itu disimpan di
dalam lemari kerjanya dan gerakan itu direkam oleh sepasanga mata lain di dalam
ruang kerja mewah itu.
“Kau menyimpannya
disana, sampah pembalut..”
Janis merasa telah
salah mengambil sikap bahkan langkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Kali ini entah apa lagi yang harus ia katakana untuk membohongi seorang di
ujung sana.
Pintu terbuka. Itu
menyelamatkan Janis dari situasi yang menegangkan.
“Kau sudah baikan?”
Tanya Cindy dari balik pintu ketika menemukan seorang yang tadi pingsan kini
tengah duduk manis meski masih di atas sofa yang sama.
“Ya, aku lebih baik.
Kau membawa tasku?”
“Ya. Aku membawakannya
untukmu. Aku terkejut saat kau pingsan tadi. Aku Cindy, sepupu Janis.” Cindy
menjulurkan tangannya.
“Sandra.” Gadis itu
menyambut tangan Cindy dengan baik. “Terima kasih sudah menolongku.”
Janis mendekat sambil
membawakan segelas air putih di tangannya lalu menyodorkannya pada Sandra dan
tak lupa mempersilahkannya untuk minum. Sandra tak lagi ragu pada gerak-gerik
Janis ketika Cindy sudah berada di sampingnya. Awalnya Sandra merasa bbegitu
takut bila harus satu ruangan bersama Janis.
“Aku begitu terkejut
ketika kau menjerit, ceritakan padaku apa yang terjadi.” Ujar Cindy yang
mengundang mata Janis menjadi sinis dan ketakutan.
Ada keraguan pada
Sandra untuk memulai cerita yang seperti mimpi itu, tapi itulah satu-satunya
cara agar ia tau apakah kejadian yang baru saja ia alami itu adalah mimpi
ataukah benar-benar nyata.
“Aku terkejut saat aku
menemukan sepotong jari sewaktu aku menggerogoh kantung kangguru…” Sandra
menarik napas panjang. “Aku tidak bermaksud membuat tokomu ini kembali pada
citra yang buruk, Janis. Maafkan aku.” Sandra menunduk.
Janis diam. Tentu saja
itu benar, toko milik Janis itu akan mengalami kematian ketika kabar yang mengerikan
ini terdengar oleh pengunjungnya, dan yang lebih parah lagi bila kabar ini di
dengar oleh polisi tentu saja polisi itu akan segera memenjarakan Janis karena pada
kasus sebelumnya Janis adalah tersangka, bahkan ia menjadi tahanan bebas karena
belum adanya bukti yang cukup.
“Lalu di mana jari
itu?” Tanya Cindy masih dalam keadaan tenang.
“Aku tidak tau, aku
juga bingung. Sepertinya tadi aku memberikan jari itu pada… Janis.”
“Hahaha…” Cindy tertawa
geli. “Sepertinya kau sedang bermimpi, Sayang. Bila jari itu kau berikan pada
Janis, kurasa ruh Janis sudah sejak tadi meninggalkan jasadnya. Hahaha..”
sambung Cindy menghancurkan kenyataan.
“Ya, kurasa kau
bermimpi.” Janis bersikap dingin.
“Atau mungkin kau
seorang pemakai, bila memang iya aku tidak akan heran bila kau mengigau sambil
berjalan. Bukankah seorang pemakaiterlalu banyak dihampiri khayalan yang tidak
masuk akal?” Cindy berharap Sandra termakan jebakannya.
“Tidak. Bukan. Aku
bukan seorang pemakai.” Sandra berkilah.
“Boleh aku periksa
tasmu?” Tanya Cindy, menang.
Sandra menyodorkan
tasnya. Ia begitu yakin tak aka nada barang apapun di sana kecuali alat-alat
make-up juga alat-alat tulis.
Cindy menggerogoh tas
kecil berwarna pastel itu dan menemukan obat-obatan yang dibungkus plastic
kecil yang baru saja ia dapatkan dari seorang teman barunya, seorang apoteker,
Romi.
“Kau tak bisa mengelak
lagi, Nona Kecil.” Ujar Cindy penuh kemenangan.
Tak hanya Sandra, Janis
pun ikut terkejut. Nnamun mereka hanya bisa diam tak berkutik. Mulut Sandra
menganga tak percaya.
“Tapi aku memang bukan
seorang pemakai!”
“Hmm.. tenanglah, kalau
ini memang bukan punyamu bisa jadi ini ulah temanmu. Aku tidak akan mengadukan
kejadian ini pada orangtuamu.” Ujar Cindy. Segaris senyum kecil tersungging di
bibir tipisnya. “Bila kau sudah agak baikan, pulanglah.” Kata Cindy lagi.
Meski masih dalam keadaan
bingung, Sandra tetap mengambil tasnya dari tangan Cindy kemudian keluar dari
ruangan yang dianggapnya bagai dunia fata morgana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar