Selasa, 20 Maret 2012

Store of Corpse - Part V


Janis memasukkan tangannya ke dalam sebuah kantong plastic dan kemudian mengikatnya erat. Tangannya menjulur panjang mengambil sebuah jari yang tidak tergenggam dengan kuat dari tangan seorang gadis yang sedaritadi masih belum menyadarkan diri.

Air mata mengalir dari mata indah Janis karena sesungguhnya betapa ia pun geli dengan binatang kecil hasil pembuahan lalat yang terbentuk menjadi lundi-lundi kecil berwarna kuning atau putih, bahkan ada pula yang berwarna coklat, semuanya tergantung atas apa yang dimakannya. Kali ini lundi-lundi kecil itu berwarna putih pucat, mungkin karena kurangnya protein yang ia serap dari jari kecil itu.

Sambil terus menangis Janis mengulurkan tangannya mengambil benda mungil itu dalu memasukannya ke dalam sebuah kantong plastic yang sudah ia siapkan di tangan kirinya. Lekas-lekas ia mencopot kantong plastic yang terikat di tangan kanannya yang sudah disinggahi beberapa belatung yang menempel. Plastic itu juga ia selipkan didalam kantong plastic satunya lagi yang sudah berisikan sepotong jari.

Berlalu, Janis mencari sebuah benda berukuran kecil yang kira-kira ukurannya sama dengan sepotong jari tadi untuk menyamarkan kejadian yang baru saja ia alami. Tak lupa, Janis juga sembersihkan semua bukti-bukti yang kira-kira menjurus ke sana.

Di dalam laci meja kerjanya, Janis menemukan sebuah plastisin berwarna kuninmg kecoklatan. Ia merasa bersyukur karena ia tau bahwa benda lunak itu tentu bisa membantunya.

Gadis itu telah sadarkan diri ketika Janis membauinya dengan minyak angin.

“Kamu baik-baik saja?” Tanya Janis was-was.

Gadis itu bangkit sambil memegang kepalanya lalu menjerit histeris. Tangannya melempar plastisin itu jauh-jauh darinya
Janis hanya melihat lambungan benda lunak itu.

“Hei, kamu kenapa?” Tanya Janis lagi seolah ia tidah tau apa yang terjadi.

Gadis itu menangis.

“Apa kau juga akan membunuhkku?” tanyanya sambil menangis tersedu.

“Aku? Membunuhmu? Hahaha… kau gila.” Ujar Janis sambil mengacak rambut pirang gadis di depannya.

Gadis itu mendongkak. Memelas.

“Kau kira aku ini seorang pembunuh? Apa yang membuatmu berpikir demikian?”

“Jari itu…”

“Jari?”

“Ya, jari. Sepotong jari yang baru saja aku buang tadi.”

Janis bangkit, berjalan untuk mengambil ‘jari’ yang dimaksud oleh si gadis.

Di dekat ‘jari’ itu Janis masih berjongkok. “Maksudmu ini?” Tanya Janis masih dalam posisi yang sama.

“Ini hanya sebuah plastisin. Apakah benda ini benar.-benar menyerupai sebuah jari? Hmmm… maksudku sepotong jari.” Janis melangkah, mendekat. Memberikan plastisin itu ke tangan gadis yang kini di sampingnya.

Keningnya berkerut. Matanya menyipit. Mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu namun lebih terlihat seperti seorang yang terkejut.

“Tapi ini ga mungkin. Tadi…”

“Tenanglah. Tunggu sebentar, aku ambilkan minum untukmu.” Kata Janis setelah memotong kata-kata gadis yang kini dilanda kebingungan.

Janis mengambil segelas air di sudut lain ruangan yang berbentuk persegi itu. Ia memastikan pada dirinya bahwa semua akan baik-baik saja hingga ia teringat sekantong plastic berbelatung masih menunggunya di atas meja di depan sebuah sofa panjang nan empuk yang sedang diduduki seorang gadis remaja.

Segera Janis berbalik dengan terburu-buru.

“Maaf, ini bekas pembalutku. Aku lupa membuangnya tadi.” Kata Janis menjelaskan tanpa didahului sebuah pertanyaan dari seseorang di depannya.

Plastic itu disimpan di dalam lemari kerjanya dan gerakan itu direkam oleh sepasanga mata lain di dalam ruang kerja mewah itu.

“Kau menyimpannya disana, sampah pembalut..”

Janis merasa telah salah mengambil sikap bahkan langkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kali ini entah apa lagi yang harus ia katakana untuk membohongi seorang di ujung sana.

Pintu terbuka. Itu menyelamatkan Janis dari situasi yang menegangkan.

“Kau sudah baikan?” Tanya Cindy dari balik pintu ketika menemukan seorang yang tadi pingsan kini tengah duduk manis meski masih di atas sofa yang sama.
“Ya, aku lebih baik. Kau membawa tasku?”

“Ya. Aku membawakannya untukmu. Aku terkejut saat kau pingsan tadi. Aku Cindy, sepupu Janis.” Cindy menjulurkan tangannya.

“Sandra.” Gadis itu menyambut tangan Cindy dengan baik. “Terima kasih sudah menolongku.”

Janis mendekat sambil membawakan segelas air putih di tangannya lalu menyodorkannya pada Sandra dan tak lupa mempersilahkannya untuk minum. Sandra tak lagi ragu pada gerak-gerik Janis ketika Cindy sudah berada di sampingnya. Awalnya Sandra merasa bbegitu takut bila harus satu ruangan bersama Janis.

“Aku begitu terkejut ketika kau menjerit, ceritakan padaku apa yang terjadi.” Ujar Cindy yang mengundang mata Janis menjadi sinis dan ketakutan.

Ada keraguan pada Sandra untuk memulai cerita yang seperti mimpi itu, tapi itulah satu-satunya cara agar ia tau apakah kejadian yang baru saja ia alami itu adalah mimpi ataukah benar-benar nyata.

“Aku terkejut saat aku menemukan sepotong jari sewaktu aku menggerogoh kantung kangguru…” Sandra menarik napas panjang. “Aku tidak bermaksud membuat tokomu ini kembali pada citra yang buruk, Janis. Maafkan aku.” Sandra menunduk.

Janis diam. Tentu saja itu benar, toko milik Janis itu akan mengalami kematian ketika kabar yang mengerikan ini terdengar oleh pengunjungnya, dan yang lebih parah lagi bila kabar ini di dengar oleh polisi tentu saja polisi itu akan segera memenjarakan Janis karena pada kasus sebelumnya Janis adalah tersangka, bahkan ia menjadi tahanan bebas karena belum adanya bukti yang cukup.

“Lalu di mana jari itu?” Tanya Cindy masih dalam keadaan tenang.
“Aku tidak tau, aku juga bingung. Sepertinya tadi aku memberikan jari itu pada… Janis.”

“Hahaha…” Cindy tertawa geli. “Sepertinya kau sedang bermimpi, Sayang. Bila jari itu kau berikan pada Janis, kurasa ruh Janis sudah sejak tadi meninggalkan jasadnya. Hahaha..” sambung Cindy menghancurkan kenyataan.

“Ya, kurasa kau bermimpi.” Janis bersikap dingin.

“Atau mungkin kau seorang pemakai, bila memang iya aku tidak akan heran bila kau mengigau sambil berjalan. Bukankah seorang pemakaiterlalu banyak dihampiri khayalan yang tidak masuk akal?” Cindy berharap Sandra termakan jebakannya.

“Tidak. Bukan. Aku bukan seorang pemakai.” Sandra berkilah.

“Boleh aku periksa tasmu?” Tanya Cindy, menang.

Sandra menyodorkan tasnya. Ia begitu yakin tak aka nada barang apapun di sana kecuali alat-alat make-up juga alat-alat tulis.

Cindy menggerogoh tas kecil berwarna pastel itu dan menemukan obat-obatan yang dibungkus plastic kecil yang baru saja ia dapatkan dari seorang teman barunya, seorang apoteker, Romi.

“Kau tak bisa mengelak lagi, Nona Kecil.” Ujar Cindy penuh kemenangan.

Tak hanya Sandra, Janis pun ikut terkejut. Nnamun mereka hanya bisa diam tak berkutik. Mulut Sandra menganga tak percaya.

“Tapi aku memang bukan seorang pemakai!”
“Hmm.. tenanglah, kalau ini memang bukan punyamu bisa jadi ini ulah temanmu. Aku tidak akan mengadukan kejadian ini pada orangtuamu.” Ujar Cindy. Segaris senyum kecil tersungging di bibir tipisnya. “Bila kau sudah agak baikan, pulanglah.” Kata Cindy lagi.

Meski masih dalam keadaan bingung, Sandra tetap mengambil tasnya dari tangan Cindy kemudian keluar dari ruangan yang dianggapnya bagai dunia fata morgana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar