Senin, 27 Juni 2011

Ending - untitled

Sashi berdiri dari duduknya. Ia mendekatkan dirip ada Roni yang menatap mata Saship reakan ingin tau apa yang tengah di rasakan oleh temannya itu.
"Aku tau semuanya, Ron." ujar Sashi dengan lembut.
"Tau? Tau apa?"
Sashi mengambil tangan Divin lalu menyatukannya dengan tangan Roni.
Roni mengangkat alisnya menandakan bahwa ia bingung.
"Apa-apaan sih kamu, Shi. Jangan aneh deh!" Divin cemberut tak senang dengan perlakuan Sashi.
"Aku ikhlas kok." Sashi tersenyum polos kepada Divin, sahabatnya dan Roni, lelaki yang ia cintai.
Spontan Divin menjitak kepala Sashi, "Ga nyangka deh, ternyata ada manusia yang geblek banget kaya' kamu. Ngeselin!"
"Kenapa?"
"Kenapa.. Kenapa.. Kamu tuh jangan kepinteran ngambil kesimpulan deh. Kamu pikir cewek yang udah bikin Roni tergila-gila itu aku 'kan?! Mustahil tau, ga?"
"Lha.. Terus? Bukannya waktu di pesta tadi..."
"Hei, tadi aku manggil Divin karena dia adalah sahabat dari orang yang aku maksud. Orang yang ingin aku kenalin ke semua orang." Roni yang bersungguh-sungguh membuat Sashi terperangah kaget beserta senang yang begitu membuncah di dadanya.
"Jadi..."
"Jadi pikiran bodoh kamu itu salah besar tau!" sambung Divin mengetuk-ngetuk dahi Sashi.
Tak dapat menahan rasa bahagiannya, Sashi langsung mendekap erat tubuh Roni yang sudah merentangkan tangannya pertanda ia siap untuk dipeluk. Pelukan itu diiringi dengan tepuk tangan Divin yang turut bahagia.
"Permisiii.." suara Anya mengagetkan tiga orang yang ada di ruangan kecil yang tak rapi itu.
Pelukan mesra Roni dan Sashi pun terlepas.
"Anya! Kalo mau masuk tuh ketuk pintu dulu donk! Serasa rumah sendiri ya?" kata-kata ketus keluar lancar dari mulut Sashi membuat Roni tertarik melihat sang pembantu bersuara lembut itu.
Seketika itu pula wajah Roni terlihat begitu tegang. Matanya seakan membundar sempurna.
"Ibe?" kata Roni mengucapkan sesuatu yang aneh. Apa itu?
"Bebe?" jawab Anya yang merasa dipanggil sambil meletakkan minuman yang dibawanya tadi di atas meja komputer milik Sashi.
Seperti kesetanan, Roni berlari menuju Anya dan kemudian memeluknya begitu erat. Jauh lebih erat dan mesra daripada pelukannya kepada Sashi tadi. Sesekali Roni mengecup dahi Anya dengan penuh perasaan cinta.
"Ibe, kamu kemana aja? Aku.." Roni menangis haru sambil terus mendekap Sashi tanpa bisa meneruskan kata-katanya, begitu juga Anya. Ia hanya menangis tersedu. Air matanya membasahi kemeja Roni.
"Anya!" bentak Sashi yang cemburu sambil melepaskan pelukan Anya dan Roni.
Anya hanya diam menunduk tapi terus menangis.
"Roni, tolong jelasin apa maksud semua ini?" tanya Sashi penuh amarah.
Roni mendekat sambil menggandeng lengan Anya yang terlihat enggan mengikuti langkah Roni.
"Aku minta maaf.." Roni memperlihatkan genggaman tangannya pada tangan Anya kepada Sashi untuk menjelaskan apa yang terjadi.
"Jadi dia yang selama ini bikin kamu nutup hati kamu? Bukannya tadi kamu bilang.."
Belum sempat lagi berkata apa-apa, Roni memotong kata-kata Sashi. "Maaf.. Tadinya aku kira aku bisa, tapi maaf.."
Roni menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian kembali menunduk pasrah.
'Plak!'
Sebuah tamparan mendarat di pipi Roni.
Roni tersenyum.
"Tampar aku lagi kalau itu bisa buat kamu senang dan jauh lebih tenang. Maki aku! Caci! Tapi maaf, aku terlalu cinta sama Anya. Dia adalah cewek yang slama ini bikin aku gila, bahkan aku ga nyangka dia bisa jadi pembantu kamu, Shi, entah gimana ceritanya dia bisa kayak gini tapi..ah!"
Sunyi. Ruangan itu menjadi begitu sunyi. Hanya napas-napas kosong yang berbicara.
"Fine, it's over! Semua udah jelas. Tinggalin aku sendiri di sini!" lirih suara Sashi mengantar pandangan padanya.
"Non..."
"Ssstt! Pergilah, aku gapapa kok. Aku cuma butuh waktu buat tenangin diri,"
Tak ingin mempersulit pikiran Sashi yang tengah dilanda rasa sedih, Divin mengangak Roni dan Anya keluar dari kamar.
Mereka mengikuti.
Kembali lagi, Sashi menangis sejadi-jadinya. Tak ingin lagi ia mengenal cinta, yang ia tau adalah cinta itu begitu menyakitkan. Tidak akan ada yang lebih menyakitkan daripada itu.

Minggu, 05 Juni 2011

Part Two - Untitled

"SASHI, APA-APAAN INI???" Bu Nessa terperangah kaget ketika melihat kamar putri bungsunya. Seketika itu wajahnya langsung memerah akibat menahan amarah.

Sashi diam dan berusaha menyengir untuk menurunkan emosi mamanya.

"Kamu ini sudah gila ya?" tiba-tiba Betsy, kakaknya berkata nyolot sambil bertopang pinggang di belakang Bu Nessa.

"Anu, mbak.. HP-ku... Ilang... Eh.. Anu..."

"Ilang gimana? Barusan Mba denger suara HP kamu ah!" kening Betsy mengerenyit seolah dua alisnya telah menyatu.

"Justru itu, mestinya ada. Dari tadi aku nyariin asal suaranya tapi sampe sekarang belum ketemu juga,"

"Lha gimana mau ketemu. Liat aja ini kamar kamu kayak kapal pecah gini," Betsy terus menyemprot adiknya dengan kata-kata tanpa ampun.

'BRAAAKKK!'
Lagi-lagi radio mewah itu terjatuh. Kali ini bukan karena senggolan Sashi akan tetapi karena posisi radio itu kurang seimbang.

"Eh..."

'BRUK!'

Bu Nessa jatuh pingsan sebelum sempat berkata apa-apa lagi.

"Mama!!!" spontan kedua putrinya berteriak dan menghampiri Bu Nessa.

"Minggir kamu!" sergah Betsy menepis tangan Sashi yang hendak merengkuh mamanya.

Wajah Sashi merasa begitu bersalah. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

"Mba Betsy, Non Sashi, ibu kenapa, Mba?" Anya, pembantu mereka yang baik hati, seumuran dengan Sashi dan sama sekali tidak terlihat seperti pembantu itu datang dengan wajah panik.

Tanpa menunggu perintah, Anya langsung membantu Betsy menggotong tubuh Bu Nessa yang langsing karena pintar menjaga badan. Anya merawat Bu Nessa layaknya merawat ibu kandungnya sendiri, mungkin itu adalah caranya untuk membalas kebaikan Bu Nessa yang telah majikannya sejak tiga tahun silam. Ketika ia datang ke rumah ini dengan lingangan air mata dan memohon dengan sangat untuk di beri pekerjaan, meskipun harus menjadi pembantu di usia remajanya.

Kamar Sashi kembali sunyi. Yang tersisa hanyalah rasa sesal di dalam hati Sashi. Wajahnya masih menunduk di depan pintu dengan kaki yang terlipat ke belakang.

Ia berdiri kemudian melangkah gontai menuju tempat tidurnya. Sashi merebahkan badannya yang telah terlalu lelah menghadapi cobaan hari ini. Dari sudut matanya yang sembab kembali meneteskan air mata. Air mata itu mengalir melewati celah telinganya yang tertempel di tempat tidurnya.

'Tonet..'
Kembali terdengar suara HP yang akan padam. Suara HP itu terdengar jelas di telinga Sashi.

"Jangan-jangan..." Sashi melompat dari tempat tidurnya dan langsung menyenter kolong tempat tidur dengan matanya. Ya! Sebuah cahaya petak terlihat dari sana. Itu adalah HP milik Sashi.

"Arh, kenapa ga bilang dari tadi. Kalo aku tau dari tadi mungkin kejadiannya ga kaya' gini!!!" Sashi mengomel pada HP-nya yang baru saja di raih.

Sashi langsung membuka tiolet yang tadi ikut di acak-acakinya untuk mengambil chas HP yang tergulung rapi.

Charge..

17 miss calls.

Lihat. 13 dari Divin dan 4 laginya adalah panggilan dari Roni.

Mulut Sashi mengerucut. Lagi-lagi ia terbayang kejadian di pesta tadi.

"Tega-teganya Divin motong langgahku. Tiga tahun ngegebet Roni, eh... Tau-taunya sahabat sendiri yang makan. Ugh, kesel!" kata Sashi menangis tersedu menatap layar HP.

Dering Moonlight Sonata dari HP Sashi menandakan ada SMS yang masuk.

'1 message from Divin'

-Shi, keluar donk. Gw di depan pintu nih!-

"Ng?" Sashi melirik jam di dindingnya yang bercat ungu muda. "Masih jam 9 kok udah pada bubar ya?" gumamnya.

Reply.

-Langsung masuk aja. Gw di kamar-

send...

Sashi menyeka air matanya dengan sprei yang dari tadi di gunakan untuk mengelap air mata dan ingusnya. Dandanannya sudah berartakan, begitu pula dengan rambut yang tadi di beri pengeras kini sudah acak-acakan seperti rambut singa jantan.

"Sashi??? Lo ga papa?" dari depan pintu kamar Sashi, Divin berlari langsung memeluk sahabatnya yang terlihat seperti orang gila tak terawat yang biasa mereka temui di jalanan. "Lo kenapa sih, Shi? Liat deh dandanan lo udah ancur gini..." ujarnya mengangkat wajah sembab Sashi dengan tangan menempel di pipi chuby kanan dan kiri sahabatnya itu.

Sashi masih tak berkutik sampai sebuah suara mengejutkannya. "Dia ga papa?"

Mata Sashi tertarik untuk melihat ke arah asal suara itu.

Roni! Ya, suara cool itu adalah milik Roni. 'Kok dia bisa ada di sini?' pikir Sashi heran.

"Ga tau. Sashi, lo ga kenapa-kenapa 'kan?" Divin meyakinkan hatinya. "Sashi, please deh.. Kalo ada apa-apa tuh cerita. Trus tadi kenapa coba lo lari tergesa-gesa gitu dari pesta? Pake acara jatuh pulaaa.. Lo ga ingin dengar ya siapa orang yang berhasil bikin Roni ngelupain cinta pertamanya yang ga jelas itu? Lo.."

"Gue udah tau!" jawab Sashi pasti memotong ocehan Divin.

Roni mengerutkan dahinya.

"Trus, kenapa lo pergi?" Divin bingung.

"Ga papa. Gue ... Cuma aja gue ..."

"Ya.. Kamu kenapa, Shi?" tanya Roni penasaran menunggu jawaban super lamban dari Sashi.

=== BERSAMBUNG ===

Sabtu, 04 Juni 2011

Part One === Untitled

'Pletak!'
Terdengar suara sepatu hak tinggi milik Sashi menghujam keras di dinding kamarnya. Sashi kembali teringat kejadian di pesta kecil-kecilan yang diadakan oleh Roni tadi.

***

"Malam ini gue bakal umumin sama teman-teman sekalian siapa cewek yang akhirnya bisa menggelitik hati gue," ujar Roni di tenggah kerumunan teman-temannya. "Pesta malam ini adalah pesta khusus untuk gue dan do'i. Dan malam ini gue bakal ngelamar dia di hadapan kalian semua," ujarnya lagi di sambut tepuk tangan yang meriah dari kerabatnya.

Roni melambaikan tangannya pada Divin, sahabat Sashi. Divin mendekat. Sekarang, semua mata tertuju pada dua insan tersebut. Hati Sashi mulai panas, ia terbakar api cemburu. Sashi melangkah cepat ingin segera meninggalkan pesta itu. Dari sudut matanya keluar air bening penuh kesedihan.

'Bruk!'

Sashi terjatuh. Gaun yang dipakainya terinjak oleh kakinya sendiri yang kurang seimbang memakai sepatu hak tinggi. Serentak semua mata tertuju padanya dan semua tertawa terkekeh melihat pertunjukan itu.

Sashi malu. Wajahnya memerah nyaris menyaingi gaun pestanya. Ia segera bangkit seperti Cinderella, gaun pestanya diangkat setinggi lutut dan berusaha berjalan meskipun rasa nyeri di lututnya membuat Sashi melangkah setengah pincang.

***

Kini air mata itu kembali mengalir dari sudut matanya yang terpejam.

"Sepatu sialan!" Caci Sashi dari atas tempat tidurnya.

Sejenak ia memandang sepatu yang baru saja lemparnya lalu melirik sisi bawah gaunnya.
"Robek.." mulutnya manyun mengasihani dirinya sendiri.

Ring tone Gwen Stephani di hp-nya membuat Shasi bangkit dari duduknya.

"Ah! Aduuuuuhhh.." Sashi meringis kesakitan ketika ia baru saja ingin melangkahkan kakinya.

Sashi yang manja mengurungkan niatnya untuk menggambil hp-nya.

"Palingan juga itu telepon dari Divin." katanya setengah menggerutu.

Suara Gwen Stephani dari hp-nya kini sudah berhenti.

"Tapi dimana hp-ku???" Sashi mengitari pandangannya tapi tidak menemukan hp-nya. Ia menggerogoh tas pestanya, juga tidak ada.

Meski Sashi mengaduh kesakitan tapi hasratnya untuk mencari hp-nya yang kembali berbunyi.

Sashi mengobrak-abrik meja komputernya. Tapi tidak ada hp-nya di sana. Di lemarinya. Juga tidak ada. Meja rias. Bahkan rasanya tak ada tempat yang luput dari gerakan stresnya itu.

Hp itu terus berdering. Sekarang Shasi mencari di atas tempat tidurnya. Bantal, guling, boneka, sprai dan bed cover yang tadinya tertata rapi di tempat tidur kini berserakan di lantai. Dan jelas sekarang kamar itu persis seperti baru saja terkenang bom atom yang meledak.

'Tonet..' suara hp Shasi menandakan bahwa keadaannya sudah mulai drop. Hp itu akan segera padam karena kehabisan batrainya.

"Ya Tuhan.. Hp-ku di mana? Jangan biarin tu hp mati sebelum aku ketemuin donk!" Sashi yang panik berbicara sendiri sambil terus mengacak-acak kamarnya.

Sashi mulai stres. Terlalu banyak yang ia pikirkan. Roni, Divin, hp-a, dan sekarang kamarnya.

"Kalo mama ngeliat ini kamar pasti mama bakal pingsan," ujar Sashi setengah merengek sambil mengusap ingusnya dengan seprai yang tengah di dudukinya.

Tak lama kemudian hp itu kembali berdering seakan mengejek Sashi yang merasa sudah setengah mati mencari hp-a.

"Suaranya ada di dekat sini, tapi di mana?" tanyanya lagi pada saksi bisu di kamarnya dengan intonasi yang masih sama dengan yang tadi.

'BRAAAKK!!!'

Pinggul Sashi yang seksi menabrak sesuatu yang tak lain adalah radio super canggih dan baru dua hari yang lalu di belikan oleh mamanya karena Sashi berhasil menangis hingga membanjiri rumahnya.

Radio yang tadinya di lengkapi dengan dua speaker di kanan dan kirinya kini terbagi menjadi tiga bagian.

"Sashi! Suara apa itu?" terdengar teriakan Bu Nessa, mamanya Sashi dari lantai dasar.

Sashi bertambah panik. Sebisa mungkin ia mengembalikan radio itu ke bentuknya yang semula.

Suara langkah Bu Nessa menaiki anak tangga semakin dekat. Tangan Sashipun berusaha semakin cepat menyatukan dua speaker yang tergeletak di lantai ke badan radio.

"Semoga gak ketahuan." bisik Sashi pada radio yang sudah kembali di letakkan di atas meja.

Pintu terbuka lebar. Wajah Bu Nessa muncul dari sana.

*** BERSAMBUNG ***