Sabtu, 24 Maret 2012

Store of Corpse - Part VI



Enam

“Ketika Sandra berteriak histeris, Janis membawanya ke lantai dua dan tak lama Cindy mengikutinya, mereka masuk ke dalam ruangan yang mungkin kedap suara. Aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka, sama sekali. Dan tak lama setelah itu aku melihat Cindy keluar dengan tergesa-gesa, ia menuju sebuah apotik untuk membeli extacy yang akhirnya ia selipkan ke dalam tas Sandra. Dengan begitu, mereka menuduh Sandra sebagai pemakai dan tak heran bila Sandra berhalusinasi. Ide yang sangat cemerlang bukan?!” seorang intel berbicara dengan yakinnya.

“Lalu bagaimana hasil tes DNA Sandra?”

“Negatif.”

“Kau punya bukti lain untuk memperkuat dugaan kita terhadap keluarga Murders?”

“Ya… aku rasa rekaman CCTV pada apotik milik Romi lumayan kuat untuk dijadikan barang bukti.”

“Ada yang lebih akurat?”

“Aku akan segera menemukannya.” Ujar intel itu seraya berlalu. “Oh, ya, kau akan terkejut ketika melihat dalang dari semua itu, aku yakin kau akan terpuruk ketika melihat mantan kekasihmu mendekam di penjara. Hahaha…” katanya lagi seraya berlalu.

***

Selasa, 20 Maret 2012

Store of Corpse - Part V


Janis memasukkan tangannya ke dalam sebuah kantong plastic dan kemudian mengikatnya erat. Tangannya menjulur panjang mengambil sebuah jari yang tidak tergenggam dengan kuat dari tangan seorang gadis yang sedaritadi masih belum menyadarkan diri.

Air mata mengalir dari mata indah Janis karena sesungguhnya betapa ia pun geli dengan binatang kecil hasil pembuahan lalat yang terbentuk menjadi lundi-lundi kecil berwarna kuning atau putih, bahkan ada pula yang berwarna coklat, semuanya tergantung atas apa yang dimakannya. Kali ini lundi-lundi kecil itu berwarna putih pucat, mungkin karena kurangnya protein yang ia serap dari jari kecil itu.

Sambil terus menangis Janis mengulurkan tangannya mengambil benda mungil itu dalu memasukannya ke dalam sebuah kantong plastic yang sudah ia siapkan di tangan kirinya. Lekas-lekas ia mencopot kantong plastic yang terikat di tangan kanannya yang sudah disinggahi beberapa belatung yang menempel. Plastic itu juga ia selipkan didalam kantong plastic satunya lagi yang sudah berisikan sepotong jari.

Berlalu, Janis mencari sebuah benda berukuran kecil yang kira-kira ukurannya sama dengan sepotong jari tadi untuk menyamarkan kejadian yang baru saja ia alami. Tak lupa, Janis juga sembersihkan semua bukti-bukti yang kira-kira menjurus ke sana.

Di dalam laci meja kerjanya, Janis menemukan sebuah plastisin berwarna kuninmg kecoklatan. Ia merasa bersyukur karena ia tau bahwa benda lunak itu tentu bisa membantunya.

Gadis itu telah sadarkan diri ketika Janis membauinya dengan minyak angin.

“Kamu baik-baik saja?” Tanya Janis was-was.

Gadis itu bangkit sambil memegang kepalanya lalu menjerit histeris. Tangannya melempar plastisin itu jauh-jauh darinya
Janis hanya melihat lambungan benda lunak itu.

“Hei, kamu kenapa?” Tanya Janis lagi seolah ia tidah tau apa yang terjadi.

Gadis itu menangis.

“Apa kau juga akan membunuhkku?” tanyanya sambil menangis tersedu.

“Aku? Membunuhmu? Hahaha… kau gila.” Ujar Janis sambil mengacak rambut pirang gadis di depannya.

Gadis itu mendongkak. Memelas.

“Kau kira aku ini seorang pembunuh? Apa yang membuatmu berpikir demikian?”

“Jari itu…”

“Jari?”

“Ya, jari. Sepotong jari yang baru saja aku buang tadi.”

Janis bangkit, berjalan untuk mengambil ‘jari’ yang dimaksud oleh si gadis.

Di dekat ‘jari’ itu Janis masih berjongkok. “Maksudmu ini?” Tanya Janis masih dalam posisi yang sama.

“Ini hanya sebuah plastisin. Apakah benda ini benar.-benar menyerupai sebuah jari? Hmmm… maksudku sepotong jari.” Janis melangkah, mendekat. Memberikan plastisin itu ke tangan gadis yang kini di sampingnya.

Keningnya berkerut. Matanya menyipit. Mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu namun lebih terlihat seperti seorang yang terkejut.

“Tapi ini ga mungkin. Tadi…”

“Tenanglah. Tunggu sebentar, aku ambilkan minum untukmu.” Kata Janis setelah memotong kata-kata gadis yang kini dilanda kebingungan.

Janis mengambil segelas air di sudut lain ruangan yang berbentuk persegi itu. Ia memastikan pada dirinya bahwa semua akan baik-baik saja hingga ia teringat sekantong plastic berbelatung masih menunggunya di atas meja di depan sebuah sofa panjang nan empuk yang sedang diduduki seorang gadis remaja.

Segera Janis berbalik dengan terburu-buru.

“Maaf, ini bekas pembalutku. Aku lupa membuangnya tadi.” Kata Janis menjelaskan tanpa didahului sebuah pertanyaan dari seseorang di depannya.

Plastic itu disimpan di dalam lemari kerjanya dan gerakan itu direkam oleh sepasanga mata lain di dalam ruang kerja mewah itu.

“Kau menyimpannya disana, sampah pembalut..”

Janis merasa telah salah mengambil sikap bahkan langkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kali ini entah apa lagi yang harus ia katakana untuk membohongi seorang di ujung sana.

Pintu terbuka. Itu menyelamatkan Janis dari situasi yang menegangkan.

“Kau sudah baikan?” Tanya Cindy dari balik pintu ketika menemukan seorang yang tadi pingsan kini tengah duduk manis meski masih di atas sofa yang sama.
“Ya, aku lebih baik. Kau membawa tasku?”

“Ya. Aku membawakannya untukmu. Aku terkejut saat kau pingsan tadi. Aku Cindy, sepupu Janis.” Cindy menjulurkan tangannya.

“Sandra.” Gadis itu menyambut tangan Cindy dengan baik. “Terima kasih sudah menolongku.”

Janis mendekat sambil membawakan segelas air putih di tangannya lalu menyodorkannya pada Sandra dan tak lupa mempersilahkannya untuk minum. Sandra tak lagi ragu pada gerak-gerik Janis ketika Cindy sudah berada di sampingnya. Awalnya Sandra merasa bbegitu takut bila harus satu ruangan bersama Janis.

“Aku begitu terkejut ketika kau menjerit, ceritakan padaku apa yang terjadi.” Ujar Cindy yang mengundang mata Janis menjadi sinis dan ketakutan.

Ada keraguan pada Sandra untuk memulai cerita yang seperti mimpi itu, tapi itulah satu-satunya cara agar ia tau apakah kejadian yang baru saja ia alami itu adalah mimpi ataukah benar-benar nyata.

“Aku terkejut saat aku menemukan sepotong jari sewaktu aku menggerogoh kantung kangguru…” Sandra menarik napas panjang. “Aku tidak bermaksud membuat tokomu ini kembali pada citra yang buruk, Janis. Maafkan aku.” Sandra menunduk.

Janis diam. Tentu saja itu benar, toko milik Janis itu akan mengalami kematian ketika kabar yang mengerikan ini terdengar oleh pengunjungnya, dan yang lebih parah lagi bila kabar ini di dengar oleh polisi tentu saja polisi itu akan segera memenjarakan Janis karena pada kasus sebelumnya Janis adalah tersangka, bahkan ia menjadi tahanan bebas karena belum adanya bukti yang cukup.

“Lalu di mana jari itu?” Tanya Cindy masih dalam keadaan tenang.
“Aku tidak tau, aku juga bingung. Sepertinya tadi aku memberikan jari itu pada… Janis.”

“Hahaha…” Cindy tertawa geli. “Sepertinya kau sedang bermimpi, Sayang. Bila jari itu kau berikan pada Janis, kurasa ruh Janis sudah sejak tadi meninggalkan jasadnya. Hahaha..” sambung Cindy menghancurkan kenyataan.

“Ya, kurasa kau bermimpi.” Janis bersikap dingin.

“Atau mungkin kau seorang pemakai, bila memang iya aku tidak akan heran bila kau mengigau sambil berjalan. Bukankah seorang pemakaiterlalu banyak dihampiri khayalan yang tidak masuk akal?” Cindy berharap Sandra termakan jebakannya.

“Tidak. Bukan. Aku bukan seorang pemakai.” Sandra berkilah.

“Boleh aku periksa tasmu?” Tanya Cindy, menang.

Sandra menyodorkan tasnya. Ia begitu yakin tak aka nada barang apapun di sana kecuali alat-alat make-up juga alat-alat tulis.

Cindy menggerogoh tas kecil berwarna pastel itu dan menemukan obat-obatan yang dibungkus plastic kecil yang baru saja ia dapatkan dari seorang teman barunya, seorang apoteker, Romi.

“Kau tak bisa mengelak lagi, Nona Kecil.” Ujar Cindy penuh kemenangan.

Tak hanya Sandra, Janis pun ikut terkejut. Nnamun mereka hanya bisa diam tak berkutik. Mulut Sandra menganga tak percaya.

“Tapi aku memang bukan seorang pemakai!”
“Hmm.. tenanglah, kalau ini memang bukan punyamu bisa jadi ini ulah temanmu. Aku tidak akan mengadukan kejadian ini pada orangtuamu.” Ujar Cindy. Segaris senyum kecil tersungging di bibir tipisnya. “Bila kau sudah agak baikan, pulanglah.” Kata Cindy lagi.

Meski masih dalam keadaan bingung, Sandra tetap mengambil tasnya dari tangan Cindy kemudian keluar dari ruangan yang dianggapnya bagai dunia fata morgana.

Store of Corpse - Part IV


Wajah Cindy muncul dari balik pintu dan menatap heran pada Janis.

“Apa yang terjadi?” tanyanya cemas.

Janis menarik Cindy masuk ke dalam ruangannya lalu langsung menutup pintu itu rapat-rapat seakan pintu itu renggang. Tak lupa Janis menguncinya.

“Ada apa?” Tanya Cindy lagi. Kali ini suara Cindy jelas menunjukan kekhawatirannya.

Janis meletakkan telunjuknya di depan bibirnya yang merah akibat lipstick yang di pakainya.

“Berjanjilah hanya kita yang tau.”

Cindy ragu menjawab ketika melihat seorang gadis terkapar di sofa yang terletak di sudut ruangan.

“Percaya padaku, ini tidak ada hubungannya dengan anak itu.” Janis berbisik pelan.

“Katakan, apa yang sebenarnya terjadi! Kau benar-benar membuat aku bingung, Janis.”

“Baiklah, tapi kau harus berjanji tidak akan membocorkan hal ini. Kumohon…”

“Ya, baiklah. Ada apa?”

Janis mengajak Cindy mendekati gadis yang masih pingsan itu dan di tangannya masih ada belatung yang menggeliat dengan ngeri dan menggelikan. Belatung-belatung itu sepertinya baru saja muncul dari dalam jari busuk yang entah siapa pemiliknya.

“Ya Tuhan, Janis. Apa yang sebenarnya terjadi? Jari siapa itu?”

“Entahlah, Cindy, aku juga bingung. Sekarang apaa yang harus aku lakukan untuk menutupi semua ini?”

Cindy menyoroti Janis dengan pandangan yang tak biasa. Ia benar-benar mencurigai Janis telah terlibat sesuatu sehingga mengakibatkan hal-hal seperti ini.

“Percayalah, Cindy, ini tidak seperti yang kamu kira. Aku sendiri juga tidak tau bagaimana ini semua bisa terjadi. Aku tidak ingin lagi dibawa ke kantor polisi dan diberi pertanyaan-pertanyaan aneh seperti waktu itu. Aku benar-benar tidak melakukan apapun, Cindy. Kumohon percayalah padaku.”

Wajah Janis pucat. Tangannya bergetar dan dingin meski AC di ruangannya tidak terhitung dalam derajad yang rendah.

Janis menangis.

Cindy mendekat. “Tenanglah, aku percaya paadamu. Aku akan segera membantumu. Kau tunggu di sini.”

Cindy meninggalkan ruangan itu dan tak sampai semenit, ia kembali.

“Bersihkanlah belatung-belatung beserta jari itu.”

Setelahnya Cindy pergi dengan tergesa-gesa. Ia menghidupkan mesin mobilnya namun sebelum itu ia berpesan pada pegawai di toko itu agar tak terlalu menghiraukan teriakan gadis tadi yang menurut mata-mata yang tadi mengawasi gadis itu berteriak tiba-tibba tanpa alasan.

Mobil Cindy melaju kencang. Tangan kirinya sibuk memencet tombol-tombol kecil blackberry-nya. Ia tengah berusaha mencari nama teman yang kira-kira dapat membantunya.

Blackberry itu ditempelkan di telinganya. Tak ada jawaban. Cindy semakin panic. Beberapa orang teman yang dihubunginya tidak menjawab teleponnya.

‘HUBUNGI AKU SEGERA, URGENT!!!’
Sending…

Cindy mengirimkan pesan itu kepada teman-temannya dan kini ia hanya harus menunggu mereka menghubunginya.

Mobil itu diparkirkan di depan sebuah apotek.

“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang apoteker pada Cindy.

Cindy mencondongkan kepalanya ke dekat sang apoteker.

“Ya, aku membutuhkan obat…” Cindy menyodorkan sejumlah uang yang jumlahnya besar, lalu melanjutkan kata-katanya, “untuk membuat seseorang amnesia.” Katanya lagi.

Apoteker muda itu tertawa geli. “Maaf, Nona, maksudmu kau ingin menyuapku dengan sejumlah uang ini? Hahaha… anda bergurau, Nona. Hahaha…”

Cindy menjadi salah tingkah dan malu karena seorang antrian dibelakangnya seperti ikut menertawai Cindy meski tampaknya ia tidak tau persis apa yang terjadi.

“Jangan tertawa. Aku hanya sedang galau. Lupakan saja.” Kata Cindy hendak berlalu pergi.

“Nona, aku bisa membantumu. Tunggulah sebentar.” Kata sang apoteker di balik meja kacanya.

Cindy menuruti permintaan si apoteker dan duduk di kursi besi di dekat pintu masuk, kursi yang sangat tidak pantas berada di ruangan ber-AC seperti ini.

Setelah ruangan itu hanya bersisakan dua anak manusia, -setelah berkenalan dengan Cindi- si apoteker yang ternyata bernama Romi  keluar dari balik meja kerjanya kemudian menghampiri Cindy.

“Katakan, apa yang membuatmu membutuhkan obat itu? Jujur.. aku sangat membutuhkan uang yang tadi kau sodorkan padaku.” Aku Romi dengan sebuah senyuman kecil di bibirnya pada Cindy.

Tak mungkin bila Cindy harus mengatakan yang sejujurnya pada Romi, itu akan sangat berbahaya. Cindy memikirkan hal-hal setidaknya masih pantas ia gunakan pada situasi seperti ini.

“Pacarku… tadi ia melihatku ketika aku berkencan dengan temannya. Aku sangat takut. Aku membutuhkan obat itu untuk mengelabuinya, kumohon, tolonglah…”

Lagi-lagi Romi tertawa. Kali ini tawanya lebih ke arah yang berbeda. Ia menertawai Cindy karena ia mengira kalau Cindy adalah orang yang sangat bodoh hingga Cindy bercerita tentang masalah pribadinya pada laki-laki itu, mungkin.

“Kau kira aku percaya pada ucapanmu, Nona?”

Deg!

Jantung Cindy berdetak tak karuan, ia takut Romi tak ingin bekerjasama dengannya dan malah akan menyerahkan Cindy pada polisi karena dianggap mencurigakan.
“Tenanglah… aku tau kau membutuhkan ini.” Romi menyelipkan sebungkus kecil plastic yang berisikan beberapa obat ke dalam tas Cindy yang sedari tadi ia pangku.

“Apa itu?” bisik Cindy di telinga Romi.

“Extacy.” Jawab Romi pula berbisik.

Cindy merasa dalam posisi yang agak aman meski sebenarnya Cindy jauh lebih was-was daripada sebelumnya. Bisa saja kalau sebenarnya Romi benar-benar bekerjasama dengan polisi.

“Kau bisa percaya padaku.” Romi meyakinkanku. “Aku membutuhkan imbalannya. Hahaha..” kata Romi lagi sambil ia melirik ke arah dalam tas Cindy, dan Cindy mengerti itu artinya Romi ingin agar Cindy segera membayarnya.

Sebuah bunyi ‘tut’ di blackberry milik Cindy memanggil untuk menyentuhnya. Ternyata ada pesan dari temannya yang bertanya untuk apa aku menghubunginya.

Store of Corpse - Part III


Sejak hari itu toko milik Janis ramai dengan wartawan dan pengunjung lainnya untuk melihat-lihat keadaan yang ada. Sedangkan Janis sepertinya sangat tidak menikmati hal itu. Omset pendapatannya juga menurun drastis. Ini seperti sebuah olokan yang menjijikan buat Janis. Semua orang yang berkunjung tak lagi membeli barang-barang yang dijualnya dengan berbagi macam alasan. Ada yang mengatakan bahwa mereka takut akan memakai pakaian bekas mayat, ada pula yang takut bila mereka akan mati dan dijadikan seperti menakin yang ternyata adalah mayat seperti tempo hari. Itu benar-benar membuat Janis jengah.

“Aku butuh hiburan. Bantu aku nyari orang yang ingin menyewa setengah dari toko ini.” Ujar Janis lesu. Wajahnya memelas tak bersemangat. Tatapannya kosong menerawang dari meja kasir.

“Aku turut prihatin ya, Nis.. tapi apa kamu benar-benar mau nyewain setengah dari toko ini? Coba kamu pikir-pikir lagi, mungkin ini hanya pikiran sesaat yang terlintas karena kamu sedang galau.”

Janis menggeleng. “Toko ini juga ga akan ngasih penghasilan lagi. Mungkin aku akan mencari pekerjaan baru.” Katanya lagi dengan pasrah atas semua yang terjadi.

“Udah, sabar aja. Nanti biar aku cari orang yang mau nyewa toko ini.” Ujar Cindy masih setia pada Janis yang kini hidup semata wayang.

“Sebenernya bukan itu masalahnya, Ndy. Ada hal lain yang lebih penting dari itu yang aku pikirin. Tapi it’s ok, biarin gue berpikir sendirian.” Janis beranjak dari duduknya dan meninggalkan Cindy yang masih berdiri dengan tangan yang menopang di depan meja kasir.

Cindy menghela napas panjang.

***

Ternyata tak begitu membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan situasi yang mencekam itu kembali seperti semula. Rumor tentang toko Janis tak lagi beredar dan kini telah kembali dipenuhi pembeli. Janis kembali bersemangat dengan situasi seperti ini. Di belakangnya, Cindy terus mendukung pergerakan toko Janis.

Sesuai usulan Cindy, toko Janis tak lagi dipenuhi oleh banyak menakin. Hanya beberapa saja, dan Janis memilih untuk menggunakan tiga belas menakin untuk tokonya yang kini sudah berubah warna dan berubah citra. Janis mengubah tokonya menjadi terkesan lebih misteri. Dinding-dinding toko itu dibuat sedemikian menyeramkan seperti rumah hantu, tapi justru itu yang membuat toko itu kembali diramaikan oleh banyak mengunjung. Toko itu juga menjual benda-benda aneh dan unik seperti baju yang didesign dengan animasi 3D sepenggal jari tak bertuan, tangan puntung, atau organ-organ tubuh lainnya yang tidak sempurnya yang sebenarnya lebih terlihat menjijikan daripada menarik. Tapi itu memang unik. Cindy memang ahli dalam membuat design-design unik yang dapat menarik minat pengunjung.

“Aaargh!” seorang remaja berteriak kemudian melompat-lompat sambil terus menangis histeris ketakutan menarik perhatian setiap mata pengunjung.

Janis melompat dari belakang meja kasirnya dan langsung mendekat remaja putrid itu.

“Ada apa?”

Gadis itu menangis kemudian memeluk Janis, erat.

“Ikut aku.”

Janis menarik tangan gadis itu dan membawanya ke lantai dua, tepatnya di ruang kerja Janis.

“Katakan padaku, ada apa?” Tanya Janis dengan nada sinis. “Kau tau tokoku ini pernah bermasalah dengan adanya mayat yang menyerupai patung-patung bodoh itu ‘kan?! Teriakanmu tadi itu bisa saja kembali menghancurkan karirku. Kau mengerti?” Janis tak menurunkan suaranya. Ia tak perduli dengan wajah pucat dan suara tangaisan histeris gadis di depannya yang bahkan tak mampu untuk duduk meski Janis telah mendorongnya ke sofa.

“Katakan, ada apa?” Janis mengguncang tubuh gadois itu. Ada kekhawatiran yang besar yang membuat Janis tak tenang melihat sikap gadis di depannya yang tak juga membuka suara.

“Argh… aku takut… ta.. kut…”

Gadis itu pingsan dan kemudian jatuh pada sofa di belakangnya.
Janis panic dan semakin panic ketika mendapatkan sepotong jari tengah dan dikerumuni oleh belatung di tangan gadis yang tengah pingsan itu.

Janis menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia begitu terkejut. Ia melangkah mundur, punggungnya menabrak pintu yang baru saja dibuka oleh seseorang.

Store of Corpse - Part II


Cuaca mendung, angin bertiup kencang, televisi menyiarkan kabar berita yang memperkirakan akan adanya badai dan hujan besar dan menyarankan kepada warga agar tetap berada di rumah atau bagi yang sedang berada di jalanan agar menghindari jalan yang rawan longsor dan menjalankan kendaraannya dengan kecepatan minimum ketika hujan nanti untuk keselamatan bersama.

Janis yang sedang mendengar berita itu menunggu kabar dari orangtuanya yang baru beberapa menit yang lalu mengabarinya bahwa akan segera pulang dari acara kemping kantornya.

Orangtuanya yang juga turut mengundang orangtua Cindy dalam acara itu semakin membuat Janis tidak tenang, karena bila memang terjadi apa-apa pada mereka tentulah Janis tidak memiliki siapa-siapa lagi kecuali Cindy.

Sudah tiga jam berlalu, tak ada kabar apapun dari orangtuanya selain kabar keberangkatan dan kabar tentang cuaca yang sangat buruk disana yang sudah lebih dulu dilanda hujan lebat dan angin kencang daripada cuaca di sekitar rumahnya. Beberapa pohon di sana telah tumbang, itulah yang mengusir orangtuanya untuk segera pergi dari sana.

Sebuah pohon besar tumbang dan menutupi satu-satunya jalan pulang dan membuat mereka terpaksa menunggu hingga datangnya pertolongan. Masing-masing orangtua itu telah menghubungi bantuan dan memintanya agar segera dating tanpa ingin member tau putrinya karena takut bila hal itu akan membuat putrinya menjadi susah karena situasi mereka yang saat ini memang sangatlah mengkhawatirkan.
 Seperti tengah dilanda gempa, mobil yang sedang ditumpangi oleh keluarga Janis bergoyang kencang. Semua penumpang mobil itu menjerit histeris tanpa mereka tau bahwa dalam hitungan detik mobil itu akan terperosok jatuh ke dalam jurang yang curam tepat di samping badan jalan.

“Ini kenapa, Pa?” Mamanya Janis panik luar biasa.

“Mungkin gempa, atau…” belum sempat lagi Papa Janis menyelesaikan perkataaannya, mobil mereka berhasil terperosok jatuh hingga ke dasar jurang terjal dan di dasarnya ditemukan sungai yang penuh dengan bebatuan.

“Aaarght!” teriak mereka yang terombang-ambing dari dalam mobilnya dengan histeris.

Janis semakin gelisah, ia menghubungi Cindy yang ternyata juga merasakan kegelisahan yang sama dengan sepupunya itu.

“Mami juga ga bisa dihubungi, aku takut terjadi apa-apa sama mereka. Cuaca di luar sangat buruk, Nis.” Ujar Cindy di ujung telepon sana.

“Aku juga mikirin hal yang sama, Ndy. Aku ke rumah kamu ya? Aku takut sendirian di rumah.”

“Tapi cuacanya gak ngedukung, Janis. Aku gak mau kamu kenapa-napa. Bisa aja kan angin kencang gini bikin pohon tumbang atau angin puting beliung. Kamu di rumah aja ya. Segera telepon aku kalau ada apa-apa, oke?!”

“Iya. Thanks, Cindy. Bye..”

Dua hari berlalu, orangtua Janis dan Cindy masih belum bisa dihubungi dan itu memaksa kedua gadis remaja itu melaporkan laporan kehilangan pada pihak yang berwajib. Hari-hari mereka diisi dengan tangisan sendu. Cindy yang sangat ketakutan terus menyalahkan Janis atas kejadian ini. Ia juga menyalahkan kedua orangtua Janis yang mengajak orangtuanya untuk ikut bersama dengan orangtua Janis.

Di rumah Janis, di dekat perapian, Cindy mengamuk. Ia membuat rumah Janis berantakan. Nyaris semua barang di ruangan itu ia buang ke dekat perapian dan bahkan ada pula yang memang sudah masuk ke perapian sehingga membuat api menjalar dan berhasil sudah dalam sekejap saja umah itu dilalap api.

Janis menangis sejadi-jadinya tanpa menghiraukan Cindy yang kini berganti posisi dengan Janis yang beberapa waktu yang lalu merasa bersalah. Cindy tak ragu untuk berlutut dan terus meminta maaf pada Janis. Namun Janis masih saja merasa begitu kesal pada Cindy yang mengakibatkan rumahnya terbakar.

Tak berhenti berusaha, Cindy terus mencoba dan membujuk Janis untuk tinggal bersama di rumahnya meski niatnya itu tidak setulus seperti apa yang terlihat. Cindy lebih mencondongkan niatnya menolong Janis agar Janis tak mengusut kusus itu kepada polisi. Dan tak sia-sia, atas bujukannya Janis memang akhirnya menerima tawaran itu.
Dalam hari-hari penuh ketidaktenangan, Janis dan Cindy begitu akrab. Mereka saling menenangkan satu sama lainnya. Kini mereka memang benar-benar tinggal berdua setelah seorang polisi mengabarkan kematian orangtuanya.

“Nona Cindy Murders?” Tanya seorang polisi berpakaian bebas di depan pintu rumah Cindy.

“Iya, saya. Bapak mau mengabari tentang keberadaan orang tua saya?” Tanya Cindy terburu-buru tanpa mempersilakan polisi yang seperti intel itu masuk ke dalam rumahnya.

Di belakang Cindy, Janis datang dengan terburu-buru. “Kabar Mama?” Tanyanya memalingkan wajahnya pada Cindy lalu beralih kepada polisi yang berbicara tadi.

Maaf, Nona, kami membawakan kabar buruk. Menurut hasil indentifikasi kami, orang yang berada dalam mobil yang keluarga anda tumpangi sudah tewas. Mobil yang ditumpanginya hangus terbakar dan di sana tidak kami temukan apa-apa selain bangkai mobil yang sudah tidak berbentuk lagi.”

Serentak kedua gadis itu menangis  histeris. Mereka sama-sama menyesali dengan apa yang telah terjadi.

Polisi berkulit putih itu tak ingin membuang waktunya untuk melihat dua saudara itu menangis. Ia segera melanjutkan tugasnya. Ia menawarkan tawaran yang tentu tidak akan ditolak oleh kedua gadis itu.
Mereka mengikuti polisi yang menjanjikan ingin memperlihatkan sisa-sia kebakaran mobil di jurang tempo hari yang diduga kuat bahwa itu adalah keluarga mereka.

Setelah semuanya terbukti, Janis dan Cindy menerima kenyataan itu dengan pahit. Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri tak menyapa bahkan tak saling menenangkan seperti hari-hari sebelumnya, dalam hati Cindy, ia tetap saja menyalahkan orangtua Janis atas kejadian ini.

***

Store of Corpse - Part I


Manekin-manekin utuh dipajang berjajar di depan toko bercat ungu terang dengan les hitam sangat menarik perhatian. Manekin itu terawat dengan rapi seakan tak ada debu di sana. Mereka dibuat sedemikian mirip dengan peragawan dan pramuniaga toko. Jumlah manekin di toko itu selalu bertambah setiap bulannya karena nyaris setiap bulan toko itu melahirkan model-model busana terbaru.

Tidak ada yang menyangka bila ternyata sebuah mayat laki-laki telah lama mematung di toko milik Janis. Mayat yang dipikir manekin itu mengenakan kemeja biru dengan motif tengkorak di bagian dadanya, juga memakai topi yang sebagian menutupi wajahnya sehingga tiada yang mengira bahwa patung yang berdiri dengan posisi agak membungkuk layaknya pramuniaga yang tengah mempersilahkan para tamu masuk itu adalah sebuah mayat! Mayat itu masih tetap utuh dan tidak mengeluarkan bebauan sama sekali. Kulitnya juga masih sangat kencang, seakan tubuh kaku itu baru saja menjadi mayat.

Pada jari telunjuk tangan kanan mayat itu sudah tergantung sebuah tanda pengenal yang sepertinya memang milik mayat tersebut ketika ia masih hidup. Photo yang tertempel pada mayat itu sama seperti wajah sang mayat. Polisi tengah menyelidiki kasus ini meski tanpa petunjuk sama sekali. Tak ada satu sidik jari pun yang dapat mereka temukan pada tubuh mayat itu. Juga pada kartu tanda pengenal yang ternyata telah di ubah alamat dan nomor serinya sehingga sangat sulit untuk dilacak.

Berjarak beberapa senti dari patung itu telah dilingkari oleh kertas kuning bertuliskan ‘police line’ yang berarti melarang siapapun untuk mengganggu wilayah itu karena sedang dalam kasus. Tak hanya itu, toko milik Janis pun ikut diberi tanda itu dan tentu saja itu semua membuat Janis tidak bisa mengoperasikan lagi tokonya.

Setelah tokonya di segel dan mayat dibawa oleh polisi, ternyata Janis juga harus ikut bersama polisi-polisi itu untuk dimintai keterangan. Tentu saja Janis tidak dapat menolak surat penggilan itu. Bahkan Janis menjadi tersangka atas kasus itu.

“Aku akan mengutuk manusia yang telah menyelipkan mayat busuk itu di tokoku!” umpat Janis penuh amarah.

“Aku merasa beruntung karena status kamu adalah tahanan bebas. Setidaknya kamu masih bisa nemenin aku setelah kedua orangtua kita meninggal. Di dunia ini, aku cuma punya kamu dan kamu cuma punya aku.” Ungkap Cindy tanpa senyum, tentu itu membuat Janis merasa Cindy tengah berpura-pura merasa beruntung dengan keadaan ini.

Janis mengambil tasnya dan segera pergi dari ruang penuh pertanyaan di kantor polisi itu. Ia merasa begitu jengkel dengan keadaan ini.

Janis masuk ke dalam mobil Cindy yang diparkir di seberang jalan di depan kantor polisi, entah apa yang membuat Cindy begitu bodoh dengan memarkirkan mobilnya di sana tanpa takut meninggalkan mobil itu meski mobil itu tidak terkunci.

Janis duduk di samping jok kemudi dan pandangannya nanar ke depan.

Cindy masuk ke dalam mobilnya tanpa ingin menghidupkan mobilnya terlebih dahulu karena melihat mimic wajah Janis masih tak tenang.

“Kamu tau, aku juga bersumpah bila nanti aku tau siapa yang menaruh mayat sialan itu di tokoku, aku akan segera menghabisinya tanpa ampun!” Umpat Janis bersungguh-sungguh.

“Sudahlah, jangan terus mengumpat, berdo’a aja semoga pelakunya segera tertangkap.” Cindy mencoba menenangkan situasi yang tegang itu.

Cindy menstarter mobil matic-nya sesuai dengan perintah Janis kemudian berjalan pelan melintasi jalanan yang sudah gelap. Langit di atas sana mendung. Awan hitam menutupi langit yang tak kalah hitam sehingga dunia seakan mati.

Mobil Cindy melewati taman kota, hanya di sanalah yang terlihat benar-benar ada kehidupan. Taman yang dipenuhi dengan penerangan dan dipenuhi muda-mudi yang lebih tepatnya wanita-wanita pemuas nafsu bersama pasangannya. Ada pula pasangan kekasih yang entah lupa waktu atau mungkin terlalu buta oleh cinta sehingga tak berniat pulang dan malah menghabiskan malamnya di sana meski cuaca sedemikian dinginnya.

Berjarak ±100 meter dari taman kota, mobil bewarna merah cerah itu berbelok masuk ke dalam gapura bertuliskan ‘Perumahan Elitte I’ dan tibalah mereka pada perhentiannya.

Janis keluar dari mobil dengan terburu-buru langsung meninggalkan Cindy tanpa ingin sekedar berbasa-basi lagi. Langkahnya dibuka lebar seakan ingin segera lenyap dari hadapan Cindy. Seorang pembantu yang belum tidur karena menunggu kepulangan majikannya segera membuka lebar pintu utama dengan kepala yang menunduk.

Janis berhenti tepat di depan Fiet dan menelanjangi tubuh tambun itu dengan ekor matanya. Tak lama, masih dalam hitunggan detik, Janis meninggalkan Fiet untuk segera menghamburkan amarah di kamarnya.

Pintu dihujam keras dengan suatu benda lunak. Suara teriakan kesal terdengar dari kamar Janis dan hal itu sudah sangat familiar di telinga Cindy ketika Janis tengah bermasalah dengan apapun, kapanpun, siapapun, tetapi tidak dimanapun. Ia hanya melakukannya disini, di rumah Cindy.

Kemudian masih seperti biasa, Janis menerawang ke atas. Pikirannya kembali pada masa lalunya yang sangat ia benci.

***

Burong Tujoh


Tadi, baru saja hujan turun dengan derasnya, kemudian rintik itu berganti menjadi gerimis. Langit masih tampak begitu gelap tak bersahabat. Aku melirik jam dinding di atas pintu depan rumah Kay. Jarum penddeknya seakan tak bergerak menunjukkan angka enam dan jarum panjang yang besar bergetar-getar ingin segera menyentuh angka tujuh sedangkan jarum kecil yang juga tak kalah panjang begitu bergeriliya berjalan santai dan seakan menampakkan kesombongannya bahwa ia-lah yang terhebat dan tercepat bila dibandingkan dengan dua jarum yang tertinggal di belakangnya.
Karin yang duduk di sampingku sudah mulai terlihat gusar. Sesekali ia melihat mobilnya yang diperkir di depan rumah Kay, dari gelagatnya aku tau ia ingin aku segera mengajaknya pulang. Dan benar saja, Karin langsung mengangguk ketika akku mengajaknya pulang tapi Kay memohon agar aku tetap tinggal, wajahnya memelas, ia memohon dengan sungguh-sungguh tapi aku benar-benar tidak bisa menemaninya karena beberapa alasan dan alasan yang paling kuat adalah karena tidak mungkin aku membiarkan Karin pulang sendirian dengan mobil x-over silver miliknya.
Aku memberikan pengertian pada Kay agar ia tak lagi berat hati melepasku, karena masih ada hari esok yang mungkin bisa membawaku kembali ke sini tanpa harus menunggunya jatuh sakit.
Entah ada apa dengan Karin, sejak tadi kami tiba di rumah Kay, ia tidak mengeluarkan sepatah katapun. Aku berpikir ia marah padaku karena membiarkannya melihat aku dan Kay bermesra-mesraan di depannya.
Ku coba berbasa-bai padanya namun Karin menjawab kata-katku hanya dengan berdehem sekenanya.
Aku melihat Karin yang tengah menyetir. Pandangannya lurus, seakan ia menyetir dengan tatapan kosong. Bibirnya tertutup rapat dan garis wajahnya mencerminkan ada yang lain dari dirinya.
Tercium aroma busuk di dalam mobil yang padahal sudah tertutup rapat oleh kaca-kaca jendela.
“Ih, bau busuk!” kataku mengeluh. “Kecium ga, Rin?” tanyaku seperti berbasa-basi.
Karin diam tak menyaut. Reaksinya masih sama.
Aku curiga sesuatu telah terjadi padanya. Aku sedikit membungkukkan tubuhku condong ke depan untuk melihat wajah Karin tampak depan.
Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada Karin? Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar. Bahkan dari sudut bibir kanannya telah mengalir darah hingga menetes di bajunya.
“Karin! Kamu kenapa?” tanyaku panic.
Mata Karin melotot, nyaris keluar dari kelopak matanya.
“Karin, berhentiin dulu mobilnya. Ayo kepinggirin!” aku member perintah layaknya seorang bos namun Karin acuh.
“Jangan main-main, Karin.”
Hiiiiiittt..
Mobil berhenti secara mendadak, untunglah jalan di sini agak sepi, jalan dari perumahan ujung bate ke kota memang kurang banyak dilalui penduduk apalagi pada saat magrib seperti ini.
“Kamu kenapa, Karin? Mobilnya dipinggirin dulu lah…” kataku mencoba tenang.
“Aku bukan Karin!” ujarnya untuk pertama kali membuka suara setelah daritadi bertingkah aneh.
Ia juga memperlihatkan mulutnya yyang penuh dengan darah. Ia menggigit giginya sendiri dengan cara menekan antara gigi atasnya dengan gigi bawah. Ia seakan tengah geram pada sesuatu.
“Karin, kamu baik baik aja ‘kan?!”
“Hahaha.. kamu takut ya?” tanyanya seraya mendekatkan wajahnya padaku dengan mata yang masih sama seperti tadi, melotot.
Aku membawa badanku mundur dan menyandar pada pintu.
Adzan berkumandang, bibirkupun tak berhenti menyebut-nyebut nama Allah. Aku terus membaca do’a yang aku bisa. Aku yakin setan telah merasuki tubuh Karin.
“Stop! Stop! Cukup!” katanya berteriak. “Jangan baca lagi.. aku panas.” Sambungnya sambil menutup telinganya dengan kedua tangannya. Anehnya tiba-tiba saja sosok yang merasuki tubuh Karin berubah menjadi sosok yang manis.
“Aku cuma mau numpang sebentar. Nanti kalau udah sampai tujuan, aku pasti turun dan gak ganggu kalian lagi. Janji.” Katanya lagi meyakinkanku.
Awalnya aku tidak percaya, tapi wajah itu memohon, aku tidak tega untuk menolaknya dan setauku terkadang mereka memang suka begitu, hanya menumpang, lalu menghilang setelah mereka tiba di tempat tujannya.
Aku mencoba tenang saat sang setan mengemudi mobil secara kebut-kebutan sambil tertawa melengking. Aku lebih suka ia tertawa seperti itu daripada ia menyakiti tubuh temanku dengan caranya yang seperti tadi.
“Kau takut sama aku, hah?” tanyanya lagi sambil melotot padaku.
“Nggak. Aku Cuma takut sama Tuhan, Allah!” kataku pasti.
“Hei, lancing sekali mulutmu. Kau tau siapa aku? Aku, Burong Tujoh! Hahaha…” katanya dengan suara yang agak ia tebalkan dan ada suara serak pula seiring dengan ucapannya itu.
Aku tau Karin sudah dirasuki setan yang amat mengerikan. Sekarang aku benar-benar merasa takut karena ia terus membawa mobil Karin secara ugal-ugalan.
“Kau tau, tidak ada yang lebih hebat daripada aku! Kau takut padaku?” tanyanya lagi.
“Tidak!”
Kecepatan mobil semakin tinggi dan sengaja ia tabrakkan mobil itu pada bundaran kota, di tugu simpang lima. Mobil berhenti. Aku turun dan berteriak-teriak memohon pertolongan. Banyak orang mengerumuniku. Aku menceritakan apa yang terjadi. Seorang yang mengeku bisa mengatasi hal ini membawa aku dan tubuh Karin ke sebuah kafe yang kira-kira hanya berjarak lima meter dari tempat kejadian. Sedangkan mobil yang tersangkut di bundaran itu sedang menunggu mobil lain untuk menggereknya.
“Iya.. iya, aku akan keluar. Biar aku keluar sendiri dari tubuh ini.” Ujar sosok dalam tubuh Karin.
Orang yang sedari tadi memegang jempol kaki Karin berhenti membaca hafalan surat Al-Qur’an.
Karin membuka matanya lemah, pelan.
“Aya, ada apa ini?” Tanya Karin begitu sadar.
“Alhamdulillah, Karin, akhirnya kamu sadar juga. tadi kamu…”
Belum sempat lagi aku menghabiskan kata-kataku, Karin kembali berteriak-teriak, tubuhnya meronta akibat kakinya kembali disentuh oleh orang tadi.
“Ampuuun.. aampuuunn.. sakit.” Teriak Karin.
“Jangan berpura-pura lagi atau akan kuhanguskan kau!” ujar seorang lelaki agak botak yang nyatanya memang mampu mengobati Karin.
“Iya, iya, aku keluar tapi aku mau rokok..”
“Tidak. Keluar sekarang atau mati?”
“Iya, aku keluar sendiri.” Karin menyelipkan tangannya antara leher dan bahunya. Ia mencekik lehernya sendiri. Lidahnya menjulur keluar.
“Pegang tangannya. Cepat!” perintah orang tadi.
Aku beserta orang-orang disekitarku memegang tangan Karin yang ternyata mempunyai tenaga ekstra kuat.
Tiba-tiba tenaga itu hilang dengan sendirinya. Karin pingsan. Aku dan beberapa orang membawanya ke rumah sakit terdekat. Aku bersyukur semua telah berakhir.