Senin, 20 Februari 2012

Sketsaku...


Kehidupan Jiwa


Hidup adalah drama dunia
Yang dipenuhi laci-laci penuh rahasia
Ada cinta juga benci
Ada amarah, ada pula bahagia

Hidup ini seperti drama
Tak ada yang tau siapa yang tengah menjadi wayang
Siapa yang menjadi dalang
Semua seakan tengah berlakon

Hidup ini penuh sandiwara
Ada air mata buaya
Ada senyum yang menusuk
Dan semuanya buta untuk melihat

Dan kita..
Adalah jiwa yang tersakiti
Jiwa yang menyakiti
Jiwa yang berperan…

Siklus Dunia


Bundar 
Bulat 
Lingkaran.. 

Tak berpenghujung 
Masing-masing sisi terus mengitari 
Terkadang lelah bila terus tertekan di bawah 
Terkadang kedinginan di sisi kanan 
Atau merasa gerah di sisi kiri 
Dan kadang sisi atas tergelincir jatuh ke bawah 

Terus berjalan 
Berputar
Mengitari
Mencari ujung untuk bertepi 
Adakah?

Ocehan Rakyat


Mereka lupa
Mungkin sengaja
Hanya berpura-pura
Seperti tidak tau apa-apa

Rakyat menangis
Mengalami nasib tragis
Hati teriris
Gambaran yang tak layak dilukis

Mereka senang
Merasa menang
Atas kehidupan rakyat yang tak tenang
Dan air mata yang berlinang

Mama, Lihat Aku!


Di depan jendela kamarnya, Citra melamun sedih. Ia menatap purnama dengan kegalauan. Hari ini tak ada segaris senyuman pun yang tergambar di wajahnya.
"Ehem..." suara yang berdehem itu adalah milik Papanya Citra.
Citra menoleh ke belakang sekedar menyapa Papanya dengan tatapan sedih.
"Kamu marah sama Papa?"
"Kecewa aja. Papa gak bisa tepati janji."
"Hmmm... Papa minta maaf. Mungkin belum waktunya, Ta.."
"Belum waktunya? Terus kapan dong waktunya? Sampe kapan Citra harus nunggu?"
"Citra, dewasalah!"
"Yang harus dewasa itu Mama, Pa! Mau sampe kapan Mama nganggap Citra ini gak ada? Sampe Citra mati?" Citra meninggikan suaranya.
Citra merasa begitu kecewa dengan sikap kedua orangtuanya, dengan sikap Mamanya yang demikian tidak pernah menganggap akan kehadiran Citra di dunia dan sikap Papanya yang tidak pernah berusaha tegas untuk memaksa Mama menerima kenyataan.
"Sebenarnya apa sih, Pa, yang buat mama ga pernah nganggap Citra ada? Kesalahan apa yang udah Citra buat?" Tanya Citra penasaran dengan nada tinggi.
"Pelankan suara kamu, Citra! Sudah berkali-kali Papa bilang, sabar, sabar, sabar! Suatu saat nanti semuanya pasti akan terungkap dan kamu bakal tau semua, tapi bukan sekarang."
"Selalu gitu. Pa, Citra udah besar, Pa. Hari ini Citra udah berhasil nginjak umur 17 tahun, dan selama itu Citra ga pernah ngerasain kasih sayang dari Mama, dan..." Citra tidak menyambung kalimatnya ketika mendengar suara dari balik tubuh Papanya.
"Heh!" suara yang besar dan penuh rasa benci itu keluar dari mulut Mama. Dengan tatapan sinis ia menampar wajah manis Citra yang juga sudah diselimuti emosi. "Anak gak tau diuntung! Harusnya kamu bersyukur karena kamu ga mati! Masih berani kamu bentak suamiku?" katanya dengan mata melotot dan berkacak pinggang.
"Mama.."
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Najis! Dasar anak Haram!"
"Tasya! Jaga ucapan kamu!" ujar Papa ikut emosi.
"Kamu liat? Sekarang suamiku ini berani membentak aku. Ini semua gara-gara kamu. Dasar anak haram! Pergi kau dari sini!"
"Tasya, Citra ini anak kita."
"Anak kita? Enak saja! Mas, untuk apa Mas terlalu perduli sama dia? Bapaknya aja ga pernah mau tau tentangnya."
"Tasya, aku menikahi kamu demi menyelamatkan harga diri kamu dan agar Citra tetap mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtuanya. Kalau Roy ga mau bertanggung, bukankah sudah ada aku yang menggantikan?!"
"Walau bagaimanapun, aku dan Roy gak pernah mengharapkan keberadaan anak haram ini, Mas.."
"Citra bukan anak haram! Tapi kalianlah yang melakukan perbuatan yang haram!" Papa semakin geram dan tentu saja bahasanya mulai tidak terkontrol.
Mendengar perdebatan yang seru itu Citra mulai mengerti mengapa Mama sangat membencinya, bahkan tidak pernah melihatnya. Citra adalah anak hasil hubungan di luar pernikahan dan laki-laki yang menghamili Mama Citra tidak melakukan pertanggung jawaban apapun sehingga Papa yang juga sahabat Mama tidak tega melihat kesulitan yang dihadapi oleh mama mengambil alih tanggung jawab Papa.
Citra berlari menghambur keluar kamar dan mengambil kunci motor yang digantung pada gantungan kunci di gudang rumahnya.
Dari dalam rumahnya terdengar Papa terus memanggilnya dengan nada gusar, ia tau akan sangat berbahaya bila seseorang mengemudi dalam keadaan stres. Apalagi sekarang ini sudah malam.
Setibanya Papa di garasi, ia menyadari keterlambatannya. Citra sudah lebih dulu pergi melaju kencang dengan motornya.
Setengah jam kemudian telepon rumah Citra berdering, dengan sigap Papa menyambar gagang teleponnya karena memang Papa tengah menunggu Citra mengubunginya.
"Halo?"
"Halo, benar ini kediaman Bapak Rafi?"
"Iya, benar. Ini dengan siapa?"
Betapa kagetnya Papa mendengar kabar dari ujung telepon sana, apa yang ia khawatirkan kini menjadi kenyataan. Ia segera berlari hendak masuk ke dalam mobilnya, hingga tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat Mama membawa koper berjalan menuju dirinya.
Papa tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya saja pandangannya cukup membuat Mama bisa mengerti ada pertanyaan 'Mau kemana kamu?' di sana.
"Aku mau pergi. Aku udah gak tahan dengan semua ini. Malam ini juga kita bercerai."
"Tasya, sekarang Citra kritis di rumah sakit. Ada baiknya permasalahan ini kita akhiri dulu. Ayo, masuklah!" Papa mencoba untuk tenang.
"Untuk apa ke sana? Lebih baik aku gali kuburan."
"Tasya! Kamu.."
"Mas pergi aja, anak haram itu pasti mati. Aku nunggu kamu pulang dengan mayatnya di sini." ujar Mama menyeringai tidak perduli dengan anaknya kemudian berbalik masuk ke dalam rumahnya.
Papa tak lagi membuang waktunya untuk Mama. Ia segera meluncur ke rumah sakit. Di sana ia terus berdoa sambil menangis.
Perasaan Papa mulai tenang ketika dokter mempersilahkan Papa masuk ke ruang UGD dangan wajah penuh kepasrahan.
"Citra.. kamu baik-baik aja kan?!" tanya Papa yang tidak yakin bahwa Citra akan baik-baik saja setelah kecelakaan hebat yang baru saja dialami putri angkatnya.
Dilihatnya tubuh Citra yang dipenuhi darah dan penuh luka sobekan sangat membuatnya tidak tenang.
"Pa.. pa,... Ma.. ma.... man.. na?" suara Citra berbisik pelan dan tertahan. Tentu saja saat itu Citra tengah menahan rasa sakit.
"Mama... Mama... Mama ada di luar kok, Sayang.." jawab Papa gugup mencoba berbohong.
Citra menggeleng pelan. Ia tau bahwa Papanya tengah berbohong.
"Te.. le.. pon... Mam... ma......"
Tak berpikir panjang, Papa langsung menghubungi Mama dengan telepon genggamnya. Ia tau bahwa Citra tengah sekarat, mungkin nyawanya tidak akan tertolong lagi, itu semua terpikir dalam benak Papa ketika melihat reaksi dokter.
Papa mengaktifkan loudspeker hanphone-nya agar Citra tak perlu bersusah-susah menanyakan apa yang dibicarakan oleh Mamanya.
Namun, belum sempat lagi Papa mengeluarkan suara, Citra menghentikan reaksi mulut papa.
"Ssst..." bisik Citra sambil menutup bibirnya yang pecah akibat benturan dengan jari telunjuknya yang sobek.
Dari seberang telepon sana Mama terus memanggil Papa.
"Ka.. sih... i.. bu... ke.. pada.... be... ta... tak.. terhingga.. se.. panjang.. masa........"
Belum selesai Citra menyanyikan bait lagunya, ia mengalami kejang-kejang. Darah terus keuar dari mulutnya.
Papa begitu takut, ia berlari ke luar UGD untuk memanggil dokter.
Sedangkan mama terus berteriak-teriak memanggil suami dan anaknya. Kali ini ia benar-benar khawatir.
Mama segera mencari nama Citra di rumah sakit terdekat dan langsung menemukan suaminya yang tengah menangis di depan ruang UGD.
"Papa, mana Citra?" tanya Mama sambil menangis begitu bertemu dengan Papa di rumah sakit. Ada perasaan sakit yang begitu mendalam di dadanya.
Papa menggeleng sambil menangis.
Mama menyimpulkan arti gelengan Papa bahwa Citra telah meninggal dunia. MAma tidak percaya dengan hal itu. Ia berlarri masuk ke ruang UGD. Di sana putrinya tengah di mandikan oleh para perawat.
Mama menangis sejadi-jadinya. Ia merasa sangat menyesal dengan apa yang telah terjadi. Putri satu-satunya yang belum pernah ia tetesi dengan sentuhan kasih sayang kini telah pergi meninggalkannya.

I HateYou




'Pletak!'
Terdengar suara sepatu hak tinggi milik Sashi menghujam keras di dinding kamarnya. Sashi kembali teringat kejadian di pesta kecil-kecilan yang diadakan oleh Roni tadi.

***

"Malam ini gue bakal umumin sama teman-teman sekalian siapa cewek yang akhirnya bisa menggelitik hati gue," ujar Roni di tenggah kerumunan teman-temannya."Pesta malam ini adalah pesta khusus untuk gue dan do'i. Dan malam ini gue bakal ngelamar dia di hadapan kalian semua," ujarnya lagi di sambut tepuk tangan yang meriah dari kerabatnya.

Roni melambaikan tangannya pada Divin, sahabat Sashi. Divin mendekat. Sekarang semua mata tertuju pada dua insan tersebut. Hati Sashi mulai panas, ia terbakar api cemburu. Sashi melangkah cepat ingin segera meninggalkan pesta itu. Dari sudut matanya keluar air bening penuh kesedihan.

'Bruk!'

Sashi terjatuh. Gaun yang dipakainya terinjak oleh kakinya sendiri yang kurang seimbang memakai sepatu hak tinggi. Serentak semua mata tertuju padanya dan semua tertawa terkekeh melihat pertunjukan itu.

Sashi malu. Wajahnya memerah nyaris menyaingi gaun pestanya. Ia segera bangkit seperti Cinderella, gaun pestanya diangkat setinggi lutut dan berusaha berjalan meskipun rasa nyeri di lututnya membuat Sashi melangkah setengah pincang.

***

Kini air mata itu kembali mengalir dari sudut matanya yang terpejam.

"Sepatu sialan!" Caci Sashi dari atas tempat tidurnya.

Sejenak ia memandang sepatu yang baru saja lemparnya lalu melirik sisi bawah gaunnya.
"Robek.." Mulutnya manyun mengasihani dirinya sendiri.

Ring tone Gwen Stephani di hp-nya membuat Shasi bangkit dari duduknya.

"Ah! Aduuuuuhhh.." Sashi meringis kesakitan ketika ia baru saja ingin melangkahkan kakinya.

Sashi yang manja mengurungkan niatnya untuk menggambil hp-nya.

"Palingan juga itu telepon dari Divin." Katanya setengah menggerutu.

Suara Gwen Stephani dari hp-nya kini sudah berhenti.

"Tapi dimana hp-ku???" Sashi mengitari pandangannya tapi tidak menemukan hp-nya. Ia menggerogoh tas pesta di sampingnya, juga tidak ada.

Meski Sashi mengaduh kesakitan tapi hasrat untuk mencari hp-nya jauh lebih besar.
HP itu kembali berbunyi.
Sashi mengobrak-abrik meja komputernya. Tapi tidak ada hp-nya di sana. Di lemarinya. Juga tidak ada. Meja rias. Bahkan rasanya tak ada tempat yang luput dari gerakan stresnya itu.
Hp itu terus berdering. Sekarang Shasi mencari di atas tempat tidurnya. Bantal, guling, boneka, sprai dan bed cover yang tadinya tertata rapi di tempat tidur kini berserakan di lantai. Dan jelas sekarang kamar itu persis seperti baru saja terkenang bom atom yang meledak.

'Tonet..' suara hp Shasi menandakan bahwa keadaannya sudah mulai drop. Hp itu akan segera padam karena kehabisan batrai.

"Ya Tuhan..Hp-ku di mana? Jangan biarin tuh hp mati sebelum aku ketemuin dong!" Sashi yang panik berbicara sendiri sambil terus mengacak-acak kamarnya.
Sashi mulai stres. Terlalu banyak yang ia pikirkan. Roni, Divin, hp, dan sekarang kamarnya.
"Kalo mama ngeliat ini kamar pasti Mama bakal pingsan," ujar Sashi setengah merengek sambil mengusap ingusnya dengan seprai yang tengah di dudukinya.
Tak lama kemudian hp itu kembali berdering seakan mengejek Sashi yang merasa sudah setengah mati mencarinya.
"Suaranya ada di dekat sini, tapi di mana?" tanyanya lagi pada saksi bisu di kamarnya dengan intonasi yang masih sama dengan yang tadi.
'BRAAAKK!!!'
Pinggul Sashi yang seksi menabrak sesuatu yang tak lain adalah radio super canggih dan baru dua hari yang lalu di belikan oleh Mamanya karena Sashi sangat menginginkannya dan tensu saja itu semua ia dapatkan setelah ia berhasil menangis hingga membanjiri rumahnya.
Radio yang tadinya di lengkapi dengan dua speaker di kanan dan kirinya kini terbagi menjadi tiga bagian.
"Sashi! Suara apa itu?" terdengar teriakan Bu Nessa, Mamanya Sashi dari lantai dasar.
Sashi bertambah panik. Sebisa mungkin ia mengembalikan radio itu ke bentuknya yang semula.
Suara langkah Bu Nessa menaiki anak tangga semakin dekat. Tangan Sashipun berusaha semakin cepat menyatukan dua speaker yang tergeletak di lantai ke badan radio.
"Semoga gak ketahuan." bisik Sashi pada radio yang sudah kembali di letakkan di atas meja.
Pintu terbuka lebar. Wajah Bu Nessa muncul dari sana.
"SASHI, APA-APAAN INI???" Bu Nessa terperangah kaget ketika melihat kamar putri bungsunya. Seketika itu wajahnya langsung memerah akibat menahan amarah.
Sashi diam dan berusaha menyengir untuk menurunkan emosi Mamanya.
"Kamu ini sudah gila ya?" tiba-tiba Betsy, kakaknya berkata nyolot sambil bertopang pinggang di belakang Bu Nessa.
"Anu, Mbak.. HP-ku... Ilang... Eh.. Anu..."

"Ilang gimana? Barusan Mbak denger suara HP kamu." Kening Betsy mengerenyit seolah dua alisnya telah menyatu.
"Justru itu, mestinya ada. Dari tadi aku nyariin asal suaranya tapi sampe sekarang belum ketemu juga,"
"Lha gimana mau ketemu. Liat aja ini kamar kamu kayak kapal pecah gini," Betsy terus menyemprot adiknya dengan kata-kata tanpa ampun.
'BRAAAKKK!'
Lagi-lagi radio mewah itu terjatuh. Kali ini bukan karena senggolan Sashi akan tetapi karena posisi radio itu kurang seimbang.
"Eh..."
'BRUK!'
Bu Nessa jatuh pingsan sebelum sempat berkata apa-apa lagi.
"Mama!!!" spontan kedua putrinya berteriak dan menghampiri Bu Nessa.
"Minggir kamu!" sergah Betsy menepis tangan Sashi yang hendak merengkuh Mamanya.
Wajah Sashi merasa begitu bersalah. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
"Mbak Betsy, Non Sashi, ibu kenapa, Mbak?" Anya, pembantu mereka yang baik hati, seumuran dengan Sashi dan sama sekali tidak terlihat seperti pembantu itu datang dengan wajah panik.
Tanpa menunggu perintah, Anya langsung membantu Betsy menggotong tubuh Bu Nessa yang langsing karena pintar menjaga badan. Anya merawat Bu Nessa layaknya merawat ibu kandungnya sendiri, mungkin itu adalah caranya untuk membalas kebaikan Bu Nessa yang juga majikannya sejak tiga tahun silam. Ketika ia datang ke rumah ini dengan lingangan air mata dan memohon dengan sangat untuk di beri pekerjaan, meskipun harus menjadi pembantu di usia remajanya.
Kamar Sashi kembali sunyi. Yang tersisa hanyalah rasa sesal di dalam hati Sashi. Wajahnya masih menunduk di depan pintu dengan kaki yang terlipat ke belakang.
Ia berdiri kemudian melangkah gontai menuju tempat tidurnya. Sashi merebahkan badannya yang telah terlalu lelah menghadapi cobaan hari ini. Dari sudut matanya yang sembab kembali meneteskan air mata. Air mata itu mengalir melewati celah telinganya yang tertempel di tempat tidurnya.

'Tonet..'
Kembali terdengar suara HP yang akan padam. Suara HP itu terdengar jelas di telinga Sashi.
"Jangan-jangan..." Sashi melompat dari tempat tidurnya dan langsung menyenter kolong tempat tidur dengan matanya. Ya! Sebuah cahaya petak terlihat dari sana. Itu adalah HP milik Sashi.
"Arh, kenapa ga bilang dari tadi. Kalo aku tau dari tadi mungkin kejadiannya ga kaya' gini!!!" Sashi mengomel pada HP-nya yang baru saja di raih.
Sashi langsung membuka tiolet yang tadi ikut di acak-acakinya untuk mengambil chas HP yang tergulung rapi.
Charge..
17 miss calls.
Lihat. 13 dari Divin dan 4 laginya adalah panggilan dari Roni.
Mulut Sashi mengerucut. Lagi-lagi ia terbayang kejadian di pesta tadi.
"Tega-teganya Divin motong langgahku. Tiga tahun ngegebet Roni, eh... Tau-taunya sahabat sendiri yang makan.Ugh, kesel!" kata Sashi menangis tersedu menatap layar HP.
Dering Moonlight Sonata dari HP Sashi menandakan ada SMS yang masuk.
'1 message from Divin'
-Shi, keluar donk. Gw di depan pintu nih!-
"Ng?" Sashi melirik jam di dindingnya yang bercat ungu muda. "Masih jam 9 kok udah pada bubar ya?" gumamnya.
Reply.
-Langsung masuk aja. Gw di kamar-
Send...
Sashi menyeka air matanya dengan sprei yang dari tadi di gunakan untuk mengelap air mata dan ingusnya. Dandanannya sudah berartakan, begitu pula dengan rambut yang tadi di beri pengeras kini sudah acak-acakan seperti rambut singa jantan.
"Sashi??? Lo gak papa?" dari depan pintu kamar Sashi, Divin berlari langsung memeluk sahabatnya yang terlihat seperti orang gila tak terawat yang biasa mereka temui di jalanan. "Lo kenapa sih, Shi? Liat deh dandanan lo udah ancur gini..." ujarnya mengangkat wajah sembab Sashi dengan tangan menempel di pipi chuby kanan dan kiri sahabatnya itu.
Sashi masih tak berkutik sampai sebuah suara mengejutkannya."Dia ga papa?"
Mata Sashi tertarik untuk melihat ke arah asal suara itu.
Roni! Ya, suara cool itu adalah milik Roni. 'Kok dia bisa ada di sini?' pikir Sashi heran.
"Ga tau. Sashi, lo ga kenapa-kenapa 'kan?" Divin meyakinkan hatinya. "Sashi, please deh..Kalo ada apa-apa tuh cerita. Trus tadi kenapa coba lo lari tergesa-gesa gitu dari pesta? Pake acara jatuh pulaaa.. Lo ga ingin dengar ya siapa orang yang berhasil bikin Roni ngelupain cinta pertamanya yang ga jelas itu? Lo.."
"Gue udah tau!" jawab Sashi pasti memotong ocehan Divin.
Roni mengerutkan dahinya.
"Trus, kenapa lo pergi?" Divin bingung.
"Ga papa. Gue ... Cuma aja gue ..."
"Ya.. Kamu kenapa, Shi?" tanya Roni penasaran menunggu jawaban super lamban dari Sashi.
Sashi berdiri dari duduknya.Ia mendekatkan dirip ada Roni yang menatap mata Saship seakan ingin tau apa yang tengah di rasakan oleh temannya itu.
"Aku tau semuanya, Ron." ujar Sashi dengan lembut.
"Tau? Tau apa?"
Sashi mengambil tangan Divin lalu menyatukannya dengan tangan Roni.
Roni mengangkat alisnya menandakan bahwa ia bingung.
"Apa-apaan sih kamu, Shi. Jangan aneh deh!" Divin cemberut tak senang dengan perlakuan Sashi.
"Aku ikhlas kok." Sashi tersenyum polos kepada Divin, sahabatnya dan Roni, lelaki yang ia cintai.
Spontan Divin menjitak kepala Sashi, "Ga nyangka deh, ternyata ada manusia yang geblek banget kaya' kamu. Ngeselin!"
"Kenapa?"
"Kenapa.. Kenapa..Kamu tuh jangan kepinteran ngambil kesimpulan deh. Kamu pikir cewek yang udah bikin Roni tergila-gila itu aku 'kan?! Mustahil tau, ga?"
"Lha..Terus? Bukannya waktu di pesta tadi..."
"Hei, tadi aku manggil Divin karena dia adalah sahabat dari orang yang aku maksud. Orang yang ingin aku kenalin ke semua orang." Roni yang bersungguh-sungguh membuat Sashi terperangah kaget beserta senang yang begitu membuncah di dadanya.
"Jadi..."
"Jadi pikiran bodoh kamu itu salah besar tau!" sambung Divin mengetuk-ngetuk dahi Sashi.
Tak dapat menahan rasa bahagiannya, Sashi langsung mendekap erat tubuh Roni yang sudah merentangkan tangannya pertanda ia siap untuk dipeluk. Pelukan itu diiringi dengan tepuk tangan Divin yang turut bahagia.
"Permisiii.." suara Anya mengagetkan tiga orang yang ada di ruangan kecil yang tak rapi itu.
Pelukan mesra Roni dan Sashi pun terlepas.
"Anya! Kalo mau masuk tuh ketuk pintu dulu donk! Serasa rumah sendiri ya?" kata-kata ketus keluar lancar dari mulut Sashi membuat Roni tertarik melihat sang pembantu bersuara lembut itu.
Seketika itu pula wajah Roni terlihat begitu tegang. Matanya seakan membundar sempurna.
"Ibe?" kata Roni mengucapkan sesuatu yang aneh.
Apa itu?
"Bebe?" jawab Anya yang merasa dipanggil sambil meletakkan minuman yang dibawanya tadi di atas meja komputer milik Sashi.
Seperti kesetanan, Roni berlari menuju Anya dan kemudian memeluknya begitu erat. Jauh lebih erat dan mesra daripada pelukannya kepada Sashi tadi. Sesekali Roni mengecup dahi Anya dengan penuh perasaan cinta.
"Ibe, kamu kemana aja? Aku.." Roni menangis haru sambil terus mendekap Anya tanpa bisa meneruskan kata-katanya, begitu juga Anya. Ia hanya menangis tersedu. Air matanya membasahi kemeja Roni.
"Anya!" bentak Sashi yang cemburu sambil melepaskan pelukan Anya dan Roni.
Anya hanya diam menunduk tapi terus menangis.
"Roni, tolong jelasin apa maksud semua ini?" tanya Sashi penuh amarah.
Roni mendekat sambil menggandeng lengan Anya yang terlihat enggan mengikuti langkah Roni.
"Aku minta maaf.." Roni memperlihatkan genggaman tangannya pada tangan Anya kepada Sashi untuk menjelaskan apa yang terjadi.
"Jadi dia yang selama ini bikin kamu nutup hati kamu? Bukannya tadi kamu bilang.."
Belum sempat lagi berkata apa-apa, Roni memotong kata-kata Sashi. "Maaf.. Tadinya aku kira aku bisa, tapi maaf.."
Roni menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian kembali menunduk pasrah.
'Plak!'
Sebuah tamparan mendarat di pipi Roni.
Roni tersenyum.
"Tampar aku lagi kalau itu bisa buat kamu senang dan jauh lebih tenang. Maki aku! Caci! Tapi maaf, aku terlalu cinta sama Anya. Dia adalah cewek yang slama ini bikin aku gila, bahkan aku ga nyangka dia bisa jadi pembantu kamu, Shi, entah gimana ceritanya dia bisa kayak gini tapi..ah!"
Sunyi.Ruangan itu menjadi begitu sunyi. Hanya napas-napas kosong yang berbicara.
"Fine, it's over! Semua udah jelas. Tinggalin aku sendiri di sini!" lirih suara Sashi mengantar pandangan padanya.
"Non..."
"Ssstt! Pergilah, aku gapapa kok. Aku cuma butuh waktu buat tenangin diri,"
Tak ingin mempersulit pikiran Sashi yang tengah dilanda rasa sedih, Divin mengajak Roni dan Anya keluar dari kamar.
Mereka mengikuti.
Kembali lagi, Sashi menangis sejadi-jadinya. Tak ingin lagi ia mengenal cinta, yang ia tau adalah cinta itu begitu menyakitkan. Tidak akan ada yang lebih menyakitkan daripada itu.

Jumat, 17 Februari 2012

Iblis Betina


Tak mampu kau selipkan kebusukanmu
Yang mampu mencemarkan nama baikmu
Wanita dengan dengki berdiri angkuh
Dengan sayap iblis yang mengembang
Ia terbang mengapai kehancuran
Wanita berselimut putih dibalik dinding suci
Ia tak dapat menyembunyikan api amarahnya yang berkobar
Membakar hati yang terjebak dalam permainannya
Wanita yang mengumbar aibnya
Ia masih berdiri angkuh
Meski malaikat jibril di sampingnya
Wahai iblis betina yang menjelma menjadi wanita
Jatuhkanlah pedang-pedang permusuhan
Hentikanlah kegaduhan yang kau cipta!

Kecamuk Hati


Terlalu banyak tangisan disini
Mungkin karena luka
Dan akuk sudah biasa melihat air mata
Hingga hatiku kelu untuk kembali merasakan duka

Aku bingung pada mereka
Menangisi sesuatu yang telah pergi
Yang direnggut oleh saudaranya sendiri
Sayang, saudara mereka tak perduli dengan ir mata itu

Akibat perbuatannya
Istri menjadi janda
Anak menjadi yatim
Suami menjadi duda

Ah, tega!
Mereka yang merenggut nyawa sok menjadi Tuhan!
Mereka yang membunuh adalah manusia yang sombong!
Yang tak berhati

Wahai saudaraku
Sudahkanlah air mata itu
Tuhan akan memberikan yang terbaik
Cukup panjatkan saja do’a pada-Nya…

Dua Sisi Susi

http://nessakartika.blogspot.com/2011/06/buku-dua-sisi-susi.html


[BUKU] DUA SISI SUSI

 
 
[17] DUA SISI SUSI


"DUA SISI SUSI" ...


Perjalanan merangkai Kumcer DUA SISI SUSI memang penuh dengan mozaik kisah-kisah yang tak masuk akal. Berikut ini adalah beberapa kisah nyata yang dialami oleh beberapa penulis yang meskipun gagal membukukan kisahnya, tapi menyimpan kisah misteri yang tak kalah aneh dan seram yang tak mudah untuk dilupakan .....

34 SAKSI HOROR SUSI

Inilah Cendolers yang Flash Fictions-nya tertulis dengan tinta gelap di DUA SISI SUSI :

Mpok Mercy Sitanggang, Casting Director/Talent Koordinator RCTI, Jakarta
Nayotama Bekti Cakradhara, Karyawan Indosat, Jakarta
Lucya Chriz, Penulis, Medan
Itnayivon Ikzir, Karyawan Swasta, Banda Aceh
Princess Shakilaraya, Mahasiswa, Cirebon
Wina K DN, Sekretaris, Surabaya
Nimas Aksan, Penulis, Cirebon
Sabil Ananda, Mahasiswa, Jakarta
Kus Calvin, Karyawan, Samarinda
Prima Sagita, Guru Bimbel, Jakarta Timur
Dedek Fidelis Sidabutar, Mahasiswa, Tangerang
Taufik Ahmad, Karyawan Swasta, Bekasi
Widi Astuti, Mahasiswa, Bogor
Nessa Metakartika, Penulis/BMI, Singapore.
Agus Linduaji, Pekerja Seni, Jakarta
Nisrina Afra, Pelajar SMA, Ciamis
Kaspul Darmawi, Dosen, Banjarmasin
Nisa Salwa, Mahasiswa, Bekasi
Dinar Atfa Cholifah, Pelajar, Surabaya
Yessica E. Daryanto, Penulis/Mahasiswa, Depok
Desiana Siregar, Pegawai Pemko Batam, Batam – KEPRI
End W Cy, Mahasiswa, Palembang
Cahya Darmayanti, Ibu Rumah Tangga, Bekasi
Sekar Illalang, Pelajar SMA, Wonogiri
Titie Surya, Praktisi Medis, Surabaya
Gurita Sahzou, Pelajar, Magelang
Reiikha Reiiyanthii’, Pelajar SMP, Denpasar
Dyani T. Wardhyni, Apoteker, Bekasi Utara
Ocuz Wina Syifa, BMI, Hong Kong
Si Jadoel, Mahasiswa, Jakarta
Pilo Poly, Warnet Art, Banda Aceh
Zinar Aza, Guru dan Jurnalis, Jogyakarta
Princess KriestaJrs, Pelajar SMK, Malang
Kimmy Chan, Penulis, Tangerang Selatan

Duta Pariwisata Perwakilan Aceh Besar

http://www.acehkita.com/berita/inilah-calon-duta-pariwisata-aceh/


Inilah Calon Duta Pariwisata Aceh

OLEH: HUSAINI - 05/10/2011 - 08:23 WIB
BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Sejak Senin (3/10) sore, sebanyak 42 calon Duta Pariwisata Aceh 2011 mulai dikarantina di Hotel Grand Aceh, Banda Aceh. Ke-42 calon tersebut merupakan gabungan dari 21 pasangan Agam-Inong perwakilan kabupaten/kota di Aceh.
Berikut nama-nama 21 pasangan Agam-Inong dari masing-masing kabupaten/kota yang sedang mengikuti serangkaian proses seleksi untuk menjadi Duta Pariwisata Aceh 2011:
1. Sabang: M Iqbal Rizki Ananda dan Sukma Nurhikmah
2. Banda Aceh: Ichwan dan Shella Natasya
3. Aceh Besar: Zulfikar dan Rizky Noviyanti
4. Pidie: Muhyuddin M Nur dan Jasmi
5. Pidie Jaya: Alfajar dan Aminah Ilyyin
6  Bireuen: Dais dan Ria Zulzannah
7. Lhokseumawe: Musrafi dan Tasya Meisheilla Aditya
8. Aceh Utara: Herry Agam Prakoso dan Nur Huriyah
9. Aceh Tengah: Mukhlis Muhdan Bintang dan Dewi Sumita B
10. Bener Meriah: Juanto dan Ismi Niara Bina
11. Langsa: M Ridha Ahyat dan Syarifah Farah Reviana
12. Aceh Tamiang: Teuku Vika Azhar dan Citra Al Humaira
13. Aceh Timur: Teuku Ighfar dan Ayu Aidilla Putri
14. Gayo Lues: Tannyron Putra D dan Dessy Wahyuni
15. Aceh Barat: Reza Prasetya Putra dan Melivia Herliani
16. Simeulue: Pandu Satria dan Nurul Hildayanti
17. Aceh Barat Daya: Heryanto Marzuki dan hardianti Anhar
18. Aceh Selatan: Raiyan Fairozi dan Oktafani
19. Aceh Singkil: Rajoki dan Irmayati Manik
20. Nagan Raya: Oka Mahendra dan Rovia Fadilla
21. Subulussalam: M Prana Astaman dan Ayu Agnetha
Dari ke-42 calon tersebut, menurut informasi yang diperoleh acehkita.com dari Mirjawal sebagai salah seorang panitia dari Event Organizer Dimensi Entertainment, akan dipilih satu Agam dan Inong sebagai pasangan Duta Pariwisata Aceh 2011.
“Di sini yang dinilai secara personal masing-masing, bukan atas nama pasangan Agam-Inong satu daerah. Bisa jadi Agamnya terpilih dari kabupaten ini, dan Inongnya terpilih dari kabupaten lain,” ujar dia.
Kegiatan di karantina akan berakhir hingga malam penobatan pada malam ini (Rabu, 5/10) yang akan digelar di Taman Budaya. Duta Pariwisata Aceh 2011 yang terpilih nantinya berhak mewakili Provinsi Aceh ke pemilihan duta pariwisata tingkat nasional. []

Cerita Si Miskin


Beratapkan daun rumbia, berbilik bambo dan beralas tanah merah basah, seorang gadis kecil duduk meringkuk kedinginan karena di luar sana hujan turun dengan derasnya. Atap rumbia tah mampu membendung air hujan yang tak henti-hentinya menghujam gubuk kecil itu. Tetesan air merembes membasahi tubuh kecil Dinda, itulah nama gadis kecil itu. Tubuhnya bergetar. Wajahnya pucat. Perutnya kosong kelaparan menanti ibunya yang sudah dua hari ini tidak kunjung pulang. Biasanya si Ibu selalu membawa pulang sedikit makanan, setidaknya ia dapat memakan sebuah ubi dengan potongan kecil yang dicuri ibunya dari pasar.
“Kamu kira mencuri itu gampang, hah? Kalau ibu ketauan mencuri, ibu bisa dipukuli habis-habisan makanya ibu hanya bisa mengambil ubi yang paling kecil agar tidak ketauan.” Ujar ibunya emosi ketika Dinda bertanya mengapa hanya membawa sepotong ubi kecil untuknya sedangkan perutnya sudah sangat kelaparan.
Dinda jadi terpikir akan perkataan ibunya waktu itu. “…Kalau ibu ketauan mencuri, ibu bisa dipukuli habis-habisan…”
“Ibu…” gumamnya mendongkakkan kepala.
Dinda langsung berpikir ada hal yang buruk yang terjadi pada ibunya karena sudah dua hari ini tak kunjung pulang. Meski tubuh kecil itu kedinginan, Dinda memaksakan dirinya untuk mencari ibunya di luar sana.
Pertama-tama Dinda berjalan menuju sebuah kebun ubi, tempat di mana dulu ibunya ketahuan mencuri dan dipukuli oleh orang-orang sekampung.
“Ibu kamu? Mana saya tau? Kalaupun saya melihat ibu kamu itu tentu saya akan segera memukulinya lagi. Atau jangan-jangan kamu ke sini juga untuk mencuri seperti ibumu ya?” Tanya pemilik kebun itu dengan kasarnya.
Dinda berusaha menjelaskan namun usahanya hanyalah sia-sia.
Dinda kembali berjalan menyusuri jalan setapak menuju kota, mencari pasar langganan tempat ibunya beraksi.
“Pak, liat ibu saya gak?” Tanya Dinda dengan lugunya.
“Ah, pura-pura nanya ibu padahal kamu kesini mau mencuri ya? Sana pergi! Atau kamu mau saya teriakin maling ya?” pria hitam bertubuh tambun itu mengusir Dinda juga dengan kasarnya, sama seperti pemilik kebun ubi tadi.
Dinda menangis. Bukan hanya karena ia dihina dan kehilangan ibunya, namun ia juga merasakan sakit erut yang teramat sangat.
Dinda terus menyusuri jalanan dipasar itu tanpa beralaskan sandal dan tanpa diatapi payung meski hujan belum berhenti namun langkahnya tak goyah.
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahu Dinda. Tubuh Dinda berbalik.
“Ibu?” katanya lirih. Bibirnya bergetar.
Dilihat ibunya yang kini sangat mempesona. Tubuhnya dibalut oleh jas hujan dan kepalanya dipayungi oleh payung bening yang cantik. Tangan ibunya memegang tas kecil berwarna merah, seragam dengan gaun yang dikenakannya.
Dinda begitu senang melihat ibunya kini telah ada di depan matanya sebelum ibunya berbisik panjang.
“Nak, ambillah tas ibu lalu kamu lari dengan cepat. Nanti ibu akan meneriakimu copet, orang-orang akan mengejarmu lalu membawamu kesuatu tempat untuk diintrogasi. Nanti kamu bilang kalau kamu hidup sebatang kara. Mereka akan mengasihanimu dan akan mengangkatmu sebagai anak. Lihat ibu, ibu juga mengalami hal yang sama, Nak. Kamu jangan takut. Ibu akan menolongmu bila terjadi apa-apa.” Bisik ibunya begitu yakin di telinga anaknya.
Dinda menggelengkan kepalanya namun ibunya memaksa.
Setelah berpikir, Dinda mengikuti ajaran ibunya. Ia berlari namun tidak dapat berlari kencang karena perutnya yang sakit. Justru langkahnya tertatih, sedangkan ibunya telah meneriaki Dinda dengan sebutan ‘copet’.
Sekerumunan orang-orang mengejar Dinda. Dinda ketakutan. Ia berlari sambil terus melihat kebelakang sehingga ia tidak dapat berkonsentrasi. Tanpa sadar Dinda telah masuk ke jalan raya dan ia berlari menyebrangi jalan itu namun sebuah truk melintas dengan kecepatan tinggi menabrak tubuh mungil Dinda.
Waktu seakan terhenti. Dari kepala Dinda mengalir darah segar yang langsung dibersihkan oleh hujan. Tubuhnya menggelepar dengan tangan yang masih memegang erat dompet ibunya.
Mata ibunya terbuka lebar. Mulutnya menganga tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya tau apa yang telah ia ajarkan pada putinya adalah suatu kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan.
Nasi sudah menjadi bubur. Semua hanya dapat menjadi pelajaran.